Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) ungkap biang kerok penyebab industri keramik mengalami penurunan produksi, hingga tujuh perusahaan tidak mampu bertahan alias gulung tikar.

Pejabat Fungsional Pembina Industri pada Direktorat Industri Semen, Keramik dan Pengolahan Bahan Galian Nonlogam Kementerian Perindustrian Ashady Hanafie mengungkapkan awal mula daya saing keramik dalam negeri turun karena kenaikan harga gas yang terjadi pada 2015 silam.

“Ubin keramik cukup lama memiliki permasalahan berat. Jadi mulai parahnya kenapa industri keramik kita turun itu, karena ada kenaikan harga gas. Jadi sebelum tahun 2015 itu kita jaya, daya saing kita tinggi,” ucapnya katanya dalam diskusi Indef, di Jakarta, Selasa, 16 Juli.

Ashady mengatakan bahwa biaya gas menyumbang 20 persen pada produksi keramik. Karena itu, ketika harga gas tinggi maka daya saing produk akan menurun.

“Kalau di keramik komponen yang besar itu kan juga energi untuk pembuatan keramiknya. Jadi kalau (gas) harganya tinggi, otomatis dia akan turun daya saingnya dan kalau sudah mahal kan jarang yang beli. Apalagi kondisi ekonomi kita juga tidak lagi bagus-bagus amat,” jelasnya.

“Karena produk-produk kami ini bukan barang primer. Jadi semua itu kalau masyarakat sudah terpenuhi kebutuhan primernya, barulah mereka akan memikirkan yang berikutnya jadi salah satunya rumah, keramik,” sambungnya.

Kondisi tersebut, sambung Ashady, diperparah dengan masuknya produk impor ke dalam negeri. Alhasil, produk keramik dalam negeri pun tidak lagi mampu melawan produk impor dari sisi harga.

Sementara, sambung Ashady, produk-produk impor ini justru semakin diminati lantaran harganya jauh lebih murah.

“Kita kalah bersaing, diperparah dengan impor masuk. Karena kan kalau impor kalau memang murah pasti masuk, karena di Indonesia masih sampai saat ini konsen konsumennya untuk harga,” jelasnya.

Dalam catatan Ashady, sebelum tahun 2015 utilisasi kapasitas produksi industri keramik berada di level 90 persen. Setelah harga gas meningkat dan bajir impor dengan harga murah tingkat produktivitas industri keramik dalam negeri menurun ke level 69 persen.

Ashady juga mengungkapkan data volume impor ubin keramik yang terus meningkat sejak tahun 2019 sebanyak 75,6 juta meter persegi hingga tahun 2023 sebesae 93,4 juta meter persegi.

Akibat lonjakan impor tersebut, sebanyak tujuh perusahaan industri keramik terhenti produktivitasnya alias gulung tikar. Rinciannya, PT Indopenta Sakti Teguh; PT Indoagung Multiceramics Industry; PT Keramik Indonesia Asosiasi-Cileungsi; PT KIA Serpih Mas-Cileungsi; PT Ika Maestro Industri; PT Industri Keramik Kemenangan Jaya; dan PT Maha Keramindo Perkasa.

Untuk menyelamatkan industrri keramik, sambung Ashady, Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) pun merekomendasikan penerapkan bea masuk anti dumping (BMAD) kepada produk ubin keramik dari perusahaan asal China.

“Di akhir Juli (2024) itu keluar laporan akhir yang merekomen dikasikan atau mengusulkan untuk pengenaan biaya BMAD selama lima tahun besaran tarif antara 100,12 persen sampai 109,88 persen. Jadi dengan itu kita akan mengajukan atau melanjutkan proses untuk BMAD seperti itu,” katanya.