Pemerintah Mau Impor Beras 1 Juta Ton, Faisal Basri: Pecat Saja Menteri-Menteri yang Kegandrungan Mengimpor
Ekonom senior Indef, Faisal Basri. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Langkah pemerintah yang berencana mengimpor 1 juta ton berasa, dikritik keras oleh Ekonom Senior Faisal Basri. Menurut ekonom dari Indef itu, produksi beras dalam negeri masih mencukupi sehingga tidak dibutuhkan kebijakan mengimpor beras.

Sebelumnya diketahui, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan rencana impor beras 1 juta ton dilakukan demi terkendalinya harga bahan pangan tersebut. Rinciannya, impor 500 ribu ton untuk Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dan 500 ribu ton sesuai dengan kebutuhan Perum Bulog.

Faisal Basri sendiri mencatat, ada dua alasan mengapa produksi beras dalam negeri masih mencukupi. Yang pertama adalah, menurut data BPS, sektor pertanian masih bisa mencatatkan pertumbuhan positif, di mana subsektor tanaman pangan tumbuh positif 3,54 persen.

Kedua, kata Faisal, BPS mengumumkan bahwa potensi produksi beras Januari-April tahun ini mencapai 14,54 juta ton, meningkat sebanyak 3,08 juta ton. Itu meningkat 26,84 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

"Belum lagi, petani akan mengalami panen raya pada April-Mei mendatang. Peningkatan produksi yang cukup tajam, khususnya pada April-Mei. Itu sudah di depan mata. Masih ada waktu yang cukup pula untuk mengamankan peningkatan produksi sampai akhir tahun ini," ujarnya melalui tulisan di blog Faisal Basri yang berjudul "Mau Impor Beras Besar-besaran Lagi: Pemburuan Rente Lagi, Rente Lagi", dikutip Senin 15 Maret.

Selain itu, harga beras di Indonesia relatif stabil. Berdasarkan data BPS, harga beras stabil di posisi Rp14.112 per kilogram (Kg) sejak 2019 lalu.

Stabilnya harga beras juga terjadi di tingkat penggilingan maupun harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani. Menurut Faisal, harga beras di Indonesia juga lebih stabil dari harga beras di pasar internasional yang mengacu pada harga beras Thailand maupun Vietnam.

Faisal mengingatkan, kebijakan impor beras berpotensi membuat kesalahan pada 2018 lalu. Saat itu, lonjakan impor sepanjang 2018 mengakibatkan stok yang dikuasai oleh pemerintah untuk Cadangan Beras Pemerintah (CBP) naik hampir 4 juta ton.

Namun penyalurannya anjlok dari 2,7 juta ton menjadi 1,9 juta ton. Akibatnya, stok beras melonjak lebih dua kali lipat dari 0,9 juta ton pada akhir 2017 menjadi 2 juta ton pada akhir 2018.

Kondisi tersebut juga turut membebani Perum Bulog sebagai pengelola cadangan beras pemerintah (CBP). Kualitas beras pun menjadi sangat kurang pada saat itu.

"Bulog dibuatnya kewalahan mengelola stok sebanyak itu. Kualitas beras yang dikelolanya merosot, bahkan ada yang menjadi tidak layak konsumsi. Ongkos 'uang mati' pun tentu saja meningkat. Yang lebih mendasar lagi, kemampuan Bulog menyerap beras dari petani menjadi terbatas," tuturnya.

Karena itu, Faisal meminta kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar menindak tegas menteri yang mudah mengeluarkan kebijakan impor. Kebijakan impor yang tidak tepat, menurutnya, justru hanya menguntungkan segelintir orang.

"Bapak presiden, ganti saja segera menteri-menteri bapak yang gandrung mengimpor. Mereka mau gampangnya saja, dan lebih mengedepankan value extraction alias percaloan yang menguntungkan segelintir orang ketimbang value creation dengan kebijakan kreatif dan inovatif yang menaburkan maslahat bagi banyak orang," tutur Faisal.