JAKARTA - Kebijakan impor beras satu juta ton pada 2021 ramai-ramai ditolak banyak pihak. Keran impor kabarnya akan dibuka bertepatan dengan panen raya dan stok beras nasional dalam keadaan surplus. Ada yang bilang, kebijakan yang dianggap bisa menghancurkan petani ini terjadi akibat ulah para pemburu rente. Apa itu? Bila begitu, pertanyaannya mengapa masalah klasik pemburu rente masih bisa terjadi?
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menjelaskan impor beras dilakukan karena stok cadangan beras pemerintah (CBP) di Perum Bulog kurang. Ia mengingatkan saat ini stok riil di Perum Bulog hanya tersisa 500 ribu ton. Idealnya menurut Lutfi kita perlu menambah 1 juta ton lagi.
"Hitung-hitungan saya stok Bulog itu tidak mencapai 500 ribu. Ini merupakan stok paling rendah dalam sejarah Bulog," kata Lutfi dalam konferensi pers virtual Jumat 19 Maret.
Namun di sisi lain Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo seperti dikutip CNBCIndonesia mengklaim ada tambahan stok dari panen raya medio Maret hingga April ini. Perkiraan produksi dalam negeri pada panen raya ini mencapai 17.511.596 ton.
Sehingga jumlah stok beras sampai akhir Mei mencapai hampir 25 juta ton. Jumlah tersebut lebih dari cukup karena estimasi kebutuhan mencapai 12.336.041 ton. Ia hakul yakin stok beras akan surplus. Praktis rencana kebijakan impor beras menuai banyak kritik.
Penolakan
Dari Jawa Timur misalnya, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menyebut stok beras di Jatim cukup dan aman bahkan surplus sampai akhir Mei. Untuk itu ia menyebut pemerintah pusat tak perlu suplai impor beras.
"Jawa Timur tidak perlu suplai beras impor. Kita bisa mencukupi kebutuhan pangan dan mampu menjaga kestabilan harga gabah di tingkat petani," kata Khofifah, di Surabaya, Senin, 22 Maret.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jatim, stok beras di wilayah setempat akan surplus hingga akhir Mei 2021. Surplus beras di Jatim ini akan terjadi karena sampai semester satu luas panen Jatim, dihitung asumsi sampai dengan April sebesar 974.189 hektar dengan asumsi produksi beras 3.053.994 ton.
Sedangkan di Jawa Barat Gubernur Ridwan Kamil juga menyuarakan hal yang sama. Ia mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk menunda impor beras karena menurutnya impor berpotensi membuat harga beras lokal turun, sehingga mengancam kesejahteraan petani, apalagi dalam waktu dekat akan ada panen raya.
"Usul Jabar ke pemerintah pusat lebih baik menunda impor beras," kata Emil, sapaan Ridwan Kamil usai menyerap aspirasi perwakilan petani di 27 kabupaten/kota secara virtual di Gedung Sate, Kota Bandung, dikutip dari Antara, Rabu 17 Maret.
Emil menuturkan, impor dapat dilakukan ketika stok beras dalam negeri defisit. Namun, saat ini, stok beras masih melimpah, terutama di Jabar yang kini dalam kondisi surplus. "Kalau posisinya kita krisis beras, saya kira impor masuk akal, tapi kami surplus."
Menurut Emil, dirinya tidak ingin kebijakan impor beras mengancam kesejahteraan petani. Oleh karena itu, diperlukan manajemen waktu yang lebih matang terkait impor beras.
Selain di Jawa, produksi beras juga kabarnya surplus di Sumatera. Misalnya saja Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan.
Ulah pemburu rente?
Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri mengamini jika saat ini stok beras nasional Indonesia dalam posisi surplus. Namun, surplus ini dinilai lebih disebabkan akibat turunnya konsumsi beras di dalam negeri.
"Dari informasi yang saya miliki produksi beras sama ada kecenderungan naik terus walaupun naiknya landai. Kemudian konsumsinya juga turun terus," ujar dia dalam webinar bertajuk Reformulasi Kebijakan Perberasan, Senin (22/3).
Faisal Basri mengungkapkan, turunnya konsumsi beras nasional sendiri diakibatkan oleh dua faktor. Pertama, kesuksesan pemerintah menerapkan program diversifikasi pangan beras.
Kedua, terus bertumbuhnya jumlah kelompok middle class. Menurutnya, ini mempengaruhi kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi sumber pangan dengan kandungan karbohidrat yang lebih sehat.
Faisal Basri juga menyebut bila alasan impor beras untuk stok, hanyalah akal-akalan pemburu rente saja. "Ini kan justifikasi saja buat para pemburu rente, stoknya (harus) banyak makanya impor. Logikanya kalau kita makin maju, stok makin berkurang karena pasar makin jalan," katanya dikutip Detik.
Dirinya juga menyinggung Mendag Lutfi dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menuduh bahwa mereka telah memanipulasi hasil rakortas agar beras diimpor.
"Ini kan ulah Lutfi saja sama Airlangga Hartarto kan yang manipulasi Rakortas. Tidak ada hasil di Rakortas itu menyatakan akan impor. Kenapa sih kita buntu membahas masalah ini? Karena kita tidak membahas pemburu rente. Jadi yang sudah bagus itu dirusak oleh tindakan pemburu rente yang bisa menikmati keuntungan kalau mengimpor," ucapnya.
Persoalan pemburu rente ini amat klasik, bahkan telah jadi kajian serius sejak tahun 60-an. Gordon Tullock, dalam publikasi berjudul The Welfare Cost of Tariffs, Monopolies, and Theft menjelaskan hubungan pemberian hak monopoli kepada pengusaha oleh penguasa. Tullock kemudian menjelaskan tentang pemburu rente, yakni pengusaha berlisensi khusus, monopoli, dan fasilitas lain dari penguasa.
Pemburu rente ini juga kerap menghambat pelaku lain masuk pasar. Dari sana kemudian lahir teori perburuan rente (theory of economic rent-seeking). Dalam kajian ekonomi politik, pemburu rente adalah mereka yang mengejar fasilitas lisensi, monopoli ataupun jalan-jalan melakukan transaksi dengan penguasa untuk keuntungan bisnis. Mereka anti-persaingan sehat.
"Jebakan" impor beras
Polemik impor beras ini sebetulnya sudah diprediksi oleh Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin. Dalam bukunya Ekonomi Beras Kontemporer yang terbit tahun lalu, Bustanul menyebut "jebakan" impor beras masih akan terus terjadi dalam beberapa tahun.
"Dalam beberapa tahun ke depan jebakan impor beras masih akan terus jerjadi. Karena secara hakikat harga eceran beras di pasar internasional jauh lebih rendah dibandingkan harga eceran beras di pasar dalam negeri," tulisnya.
Bustanul menjelaskan, impor beras khususnya medium masih harus dikontrol secara ketat oleh negara karena hanya dapat dilakukan oleh Perum Bulog, dan diputuskan dalam suatu Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Sementara impor beras khusus dan premium sebenarnya lebih mudah karena sektor swasta cukup leluasa melakukan impor, "sepanjang memeroleh rekomendasi dan izin dari kementerian teknis, khususnya Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan."
Menurut Bustanul, tidak mustahil bila impor beras masih akan meningkat. "Karena daya saing ekonomi beras Indonesia sangat rendah pada percaturan ekonomi global."
Akar masalah
Pada 2018, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pernah membuat kajian kritis bagi pembuat kebijakan agar pemburu rente ekonomi impor pangan bisa segera dihentikan. Dalam catatan itu dijelaskan, salah satu faktor yang membuat pemburu rente merajalela menurut INDEF yakni karena rendahnya validitas data.
Temuan BPK terkait pengelolaan tata niaga impor pangan secara gamblang menggambarkan rendahnya validitas data pangan, minimnya koordinasi dan integrasi data lintas kemerinterian, serta ketidakpatuhan terahadap Standar Operasional Prosedur (SOP) dan ketentuan peraturan Undang-Undang. Mungkin salah satu contoh dari tidak rendahnya validitas data adalah bisa dilihat dengan perbedaan data Mendag dan Mentan.
"Kesemuanya tersebut yang pada akhirnya berimplikasi pada suburnya pemburu rente dalam impor pangan. Dipicu oleh karut-marut data pangan dan disparitas harga internasional versus lokal yang menggiurkan, membuat pemburu rente merajalela mampu memanfaatka berbagai celah yang ada," tertulis.
Selain itu, masih menurut kajian tersebut, ketidakstabilan harga pangan juga berkontribusi tinggi menyuburkan praktik pemburu rente. Padahal, bila masalah ini diatasi secara serius dan komprehensif, bukan hanya pemburu rente yang dapat berkurang, tapi juga bisa berkontribusi untuk memaksimalkan peningkatan produktivitas di dalam negeri.
"Sayangnya bertahun-tahun yang mengemuka hanyalah kontroversi penetapan kebijakan impor di antara kementerian teknis terkait," tertulis.
*Baca Informasi lain soal EKONOMI atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian.