Bagikan:

JAKARTA – Harga beras yang tinggi kian mempersulit konsumen miskin di Indonesia membeli makanan bergizi. Padahal, asupan makanan bergizi diharapkan mampu melahirkan generasi-generasi berkualitas menuju Indonesia Emas 2045.

Bank Dunia mengatakan harga beras di Indonesia 20 persen lebih mahal dibandingkan harga besar di pasar global. Bahkan, harga beras dalam negeri merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN. Kepala Perwakilan World Bank untuk Indonesia dan Timor Leste, Carolyn Turk menjelaskan beberapa penyebab tingginya harga beras di Indonesia, salah satunya kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor nontarif.

Tingginya harga beras dalam negeri memiliki dampak lebih serius bagi masyarakat luas. Menurut catatan Bank Dunia, saat ini hanya 31 persen penduduk Indonesia yang mampu mendapatkan makanan sehat, karena kesulitan membeli makanan bergizi seperti daging, telur, ikan, dan sayuran.

Dua siswi membawa makanan dari olahan ikan, Jakarta, Jumat (20/9/2024). (ANTARA/HO-Pemprov DKI Jakarta)

"Harga beras yang tinggi semakin mempersulit konsumen miskin di Indonesia untuk membeli makanan bergizi,” ucap Carolyn.

Karena itulah, menurut Carolyn kenaikan harga beras seharusnya menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan karena Indonesia memiliki ambisi untuk menjadi negara maju pada 2045 atau Indonesia Emas.

Biaya Pangan Sehat Tinggi

Mengenai kesulitan warga Indonesia mendapat makan bergizi sebenarnya bukan kabar baru. Pada 2022, lebih dari setengah penduduk Indonesia, sekitar 183,7 juta orang atau 68 persen populasi termasuk golongan tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian. Ini, konon disebabkan biaya pangan sehat di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara.

Hal ini tercantum dalam laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Dengan memperhitungkan faktor paritas daya beli (purchasing power parity/PPP), harga pangan bergizi di Indonesia mencapai angka 4,47 dolar AS sekitar Rp 69.000 perhari. Ini lebih tinggi ketimbang antara lain: Thailand (4,3 dolar AS); Filipina (4,1 dolar AS); Vietnam (4 dolar AS) dan Malaysia (3,5 dolar AS).

Sedangkan standar Bank Dunia menetapkan pengeluaran untuk bahan pangan maksimal 52 persen dari total pengeluaran keluarga.

Untuk informasi, gizi seimbang artinya menu dengan porsi seimbang antara makanan pokok (sumber) karbohidrat, lauk pauk (sumber protein dan lemak), sayuran dan buah, serta air minum.

Melansir Kompas, ada korelasi kuat antara proporsi warga yang tidak mampu membeli bahan makanan gizi berimbang dengan prevalensi tengkes atau stunting provinsi tersebut. Makin sedikit warga daerah tersebut yang mampu memenuhi gizi berimbang hariannya, makin tinggi risiko anak tengkes di daerah itu.

Dengan membandingkan harga komoditas pangan yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, ditemukan biaya pangan bergizi di seluruh Indonesia.

Contohnya adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ongkos biaya pangan berimbangnya sebesar Rp19.173 per hari atau Rp575.192 per bulan. Dari ongkos tersebut, sekitar 78 persen atau 4,37 juta penduduk yang tingkat ekonominya tergolong tidak mampu membeli bahan pangan gizi seimbang.

Dengan angka ini, NTT menempati peringkat teratas provinsi dengan proporsi populasi yang tidak mampu membeli pangan gizi seimbang terbesar di Indonesia. Survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 juga menempatkan NTT sebagai provinsi yang memiliki prevalensi tengkes tertinggi di angka 37,8 persen.

Apa yang terjadi di NTT menjadi contoh bahwa kemiskinan memiliki korelasi dengan kemampuan orang memenuhi kebutuhan pangan bergizi.

Potensi Perkotaan Tidak Terdistribusi Rata 

Namun kesulitan mendapat makan bergizi tidak hanya dialami masyarakat daerah. Ketika urbanisasi menjadi fenomena global, data Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB atau UN DESA saat ini mencatat sebanyak 55 persen populasi global tinggal di daerah perkotaan dan pada 2050 diprediksi 70 persen penduduk akan tinggal di kota.

Daerah perkotaan memang memiliki perkembangan sosial dan ekonomi yang lebih besar, kesempatan kerja lebih banyak, serta akses ke layanan penting yang lebih beragam dan baik. Tapi di sisi lain, Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) mengatakan daerah perkotaan memusatkan kemiskinan. 

Ini karena keuntungan dan potensi perkotaan yang diharapkan tidak terdistribusi secara merata karena tidak menjangkau strata sosial ekonomi termiskin. UN DESA memperkirakan pada 2035 sebagian besar orang yang berada dalam kemiskinan ekstrem (pendapatan harian kurang dari 1,25 dolar AS) akan tinggal di daerah perkotaan. Tantangan ini sudah dibahas dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDG, salah satunya adalah mengenai kerawanan pangan.

Lingkungan perkotaan menyiratkan risiko tertentu kerawanan pangan dan gizi yang buruk karena akses ke pangan bergantung pada pasokan komersial yang, pada gilirannya, terkait dengan tingkat pendapatan.

Jajaran Badan Pangan Nasional (Bapanas) melakukan pemantauan harga pangan, salah satunya daging ayam ras di salah satu pasar. (ANTARA/HO-Humas Bapanas)

Masyarakat miskin di perkotaan kesulitan dalam mengakses pilihan pangan sehat. Oleh karena itu, mereka yang berpenghasilan rendah tidak memiliki akses pangan bergizi termasuk buah dan sayuran segar, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Tapi sebaliknya, mereka memiliki akses yang relatif lebih mudah dalam mengonsumsi gula, lemak, dan makanan ultra olahan.

Harga pangan sehat di kota akan terasa lebih tinggi di lingkungan miskin dibandingkan dengan mereka yang berpenghasilan di atas rata-rata. Masyarakat kota dengan gaya hidup serba cepat, mendorong orang mengonsumsi pangan ultra olahan dengan kandungan kalori, lemak, garam, dan gula yang tinggi tapi nilai gizinya sangat rendah. Selain karena mudah didapat, makanan ultra olahan ini juga dinilai lebih murah ketimbang makanan bergizi seimbang di daerah perkotaan. 

Jika pernyataan Bank Dunia terkait hanya 31 persen masyarakat Indonesia yang mampu menjangkau makanan bergizi tak segera dibenahi, maka target Indonesia Emas 2045 perlu dipertanyakan.