JAKARTA – Sejarah hari ini, 46 tahun yang lalu, 30 Mei 1977, Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin meresmikan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Peresmian itu dilakukan oleh Bang Ali sebagai bentuk penghargaan atas usaha-usaha Jassin mengumpulkan karya sastra.
Sebelumnya, Jakarta di bawah kepemimpinan pria yang akrab disapa Bang Ali maju pesat. Segala macam agenda kebudayaan digalakkan. Apalagi dengan narasi mencerdaskan anak bangsa. Ali tak segan-segan mengeluarkan dana besar untuk memberikan dukungan.
Pembangunan Jakarta jauh dari kata istimewa di fase awal Indonesia merdeka. Bahkan, cenderung seadanya. Semuanya itu dibuktikan dengan banyaknya kawasan kumuh di Jakarta. Banyak di antaranya dalam kondisi fasilitas umum serba kekurangan.
Namun, kondisi itu tak bertahan lama. Semua berubah ketika Soekarno menunjuk Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 1966. Ali Sadikin pun menyadari bahwa dana untuk membangun Jakarta sedikit – jika tak mau dikatakan kurang.
Bang Ali mencoba melakukan gebrakan. Ia mulai memikirkan langkah supaya Jakarta memiliki banyak dana untuk membangun. Sederet langkah pun dilanggengkan. Langkah kontroversial, terutama. Ia berpikir supaya Jakarta dapat menerapkan kembali pajak judi dan prostitusi.
Artinya, pemerintah DKI Jakarta bersiap untuk melegalkan prostitusi dan judi. Hasilnya gemilang. Jakarta dapat banyak membangun dari pemasukan itu. Kas daerah jadi terjaga. Ia pun mulai memperhitungkan pendapatan Jakarta untuk melanggengkan pembangunan dan pengembangan Jakarta. Semuanya untuk hajat hidup orang banyak.
“Tidak ada dana untuk membiayai pembangunan, tiada masalah. Ia tak segan-segan mengizinkan etnis China bermain judi secara terbuka, dan dari lotere dan siah-hwee mengambil dana untuk membiayai pembangunan sekolah dasar, puskesmas, dan lain-lain. Pada masa awal jabatannya Bang Ali mengingatkan orang kepada walikota di Amerika pada zaman Presiden Franklin Roosevelt, seperti Fiorello H. La Guardia, Wali Kota New York, 1934-1945, yang diberi julukan People’s Mayor atau Walikota Rakyat.”
“Seperti tokoh itu Bang Ali mengelola Jakarta dengan sukses. Karena dia pendengar yang baik, menyimak cermat apa kata orang. Ia menerapkan management by teamwork. Harus bekerja bersama-sama dengan tidak melupakan siapa yang komandan. Pada akhirnya yang bertanggung jawab adalah Bang Ali,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 3 (2008).
Kemampuan Ali Sadikin melihat masalah tak perlu diragukan. Ia mampu menyerap segala macam kritik dan masukan dari masyarakat. Utamanya dari kalangan budayawan. Banyak yang meminta Ali Sadikin untuk membantu sastrawan, H.B. Jassin yang sedang keranjingan mengumpulkan karya-karya sastra.
Pemerintah DKI Jakarta segara mengulurkan bantuan. Ia bertekad membuat Jakarta sebagai kota kebudayaan. Segala macam hasil jerih payah H.B. Jassin dalam mengumpulkan ragam karya sastra didukung penuh oleh pemerintah.
Keduanya, H.B. Jassin dan Ali bersepakat untuk membangun Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Taman Ismail Marzuki. Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin pun diresmikan oleh Ali Sadikin pada 30 Mei 1977.
Bang Ali mengungkap dirinya memang tak terlalu suka sastra. Namun, ia menganggap upaya penyelamatan karya-karya sastra oleh H.B. Jassin patut diapresiasi demi misi mencerdaskan anak bangsa. Alhasil, generasi yang akan datang takkan kekurangan pengetahuan terkait perkembangan sastra Indonesia dari zaman ke zaman.
“Tapi saya paham, bahwa sastrawan itu mesti diberi kebebasan. Itu yang mereka anggap bagus. Sudahlah saya anggap penting juga. Memang di dunia ini banyak macamnya. Tuhan memang menciptakan manusia bermacam-macam.”
“Tapi yang pasti, saya sungguh yakin bahwa apa yang dikerjakan Pak Jassin itu penting. Ia begitu tekun. Saya saksikan hasil pekerjaannya. Rapi ia mengumpulkan kertas-kertas, dokumen-dokumen. Saya anggap hasil pekerjaan Pak Jassin itu suatu karta penyelamatan perbendaharaan kita,” terang Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).