JAKARTA – Memori hari ini, 16 tahun yang lalu, 26 Mei 2007, Perdana Menteri (PM) Jepang, Shinzo Abe mengucapkan rasa belasungkawanya dalam rangka peringatan satu tahun bencana Gempa Yogyakarta. Abe menyebutkan Jepang mendukung penuh upaya rehabilitasi dan pembangunan kembali Yogyakarta setelah gempa.
Sebelumnya, Gempa Yogyakarta membawa kedukaan mendalam bagi segenap rakyat Indonesia, utamanya warga Yogyakarta dan sekitar. Gempa itu membuat nyawa ribuan orang melayang dan ratusan bangunan hancur.
Gempa adalah hal yang biasa terjadi di Bumi Nusantara. Seisi Nusantara memakluminya karena Indonesia dilalui oleh jalur cincin api. Namun, tidak untuk gempa berkekuatan besar. Gempa yang mengguncang Yogyakarta pada pukul 05.53 WIB, 27 Mei 2006 adalah pengecualian.
Gempa berkekuatan 5,9 Skala Richter terjadi saat warga Yogyakarta dan sekitarnya masih tertidur. Bencana itu kemudian membuat seisi Nusantara berduka. Ribuan korban jiwa berjatuhan. Kekuatan gempa itu menghancurkan segalanya. Dari bangunan hingga jaringan listrik.
Dampaknya tak melulu hadir di kota Yogyakarta saja, tetapi juga sampai ke Klaten. Semenjak itu warga Yogyakarta mulai dilanda ketakutan gempa susulan. Ratapan dan tangis korban tak hanya terdengar di mana-mana.
Bencana itu bahkan telah diwartakan ke seantero negeri. Ucapan belangsungkawa pun berdatangan kepada para korban. Bantuan-bantuan mulai disiapkan. Dari dana hingga makanan. Semuanya diilakukan untuk meringankan beban korban gempa yang selamat.
Pejabat pemerintah Indonesia pun tak mau ketinggaalan. Mereka mencoba mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menetapkan Gempa Yogyakarta sebagai bencana nasional. Namun, keinginan itu tak terealisasi.
“Prahara itu menderu dari perut bumi lalu mengoyak Yogyakarta ketika subuh baru saja lewat. Hari itu, 27 Mei. Gempa tektonik bertenaga 5,6 pada skala Richter bergetar selama 57 detik. Manusia menghambur ke luar rumah. Tapi gempa lebih cepat lagi. Rumah-rumah luruh ke tanah, memetik nyawa ribuan manusia. Yogyakarta dan Jawa Tengah dipenuhi ratap tangis dan lolong kesedihan dalam seketika.”
“Hawa perkabungan menggantung di setiap ambang rumah. Sejumlah politisi di Senayan mendesak pemerintah agar tragedi itu ditetapkan sebagai bencana nasional. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjawab, ini urusan kemanusiaan, bukan politik. Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan, infrastruktur daerah masih berdenyut sehingga tak perlu dijadikan bencana nasional,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Petaka di Yogyakarta (2006).
Pemerintah Indonesia pun mendapatkan sokongan bantuan dari berbagai macam negara untuk membangun Yogyakarta kembali. Jepang jadi salah satu yang membantu. Jepang andil bagian dalam berkolaborasi dengan Indonesia untuk melakukan pemulihan kembali.
Kerjasama itu kemudian ditegaskan dengan ucapan Belasungkawa dari PM Jepang, Shinzo Abe sehari sebelum peringatan satu tahun Gempa Yogyakarta, atau pada 26 Mei 2007. Abe mengutarakan belasungkawanya kepada seluruh rakyat Indonesia.
Ia pun menegaskan komitmen Jepang dalam membantu Indonesia untuk memulihkan dampak dari Gempa Yogyakarta. Komitmen itu jadi bukti dari hangatnya hubungan Jepang-Indonesia yang telah terjalin cukup lama.
“Dalam pesannya, PM Abe mengucapkan kembali belasungkawanya yang mendalam kepada para korban bencana tersebut, dan menyatakan penghargaannya terhadap usaha rehabilitasi dan pembangunan kembali yang dilakukan oleh Pemerintah dan rakyat Indonesia. Perdana Menteri juga merasa puas bahwa kerjasama Jepang telah berandil bagi tercapainya pemulihan secara cepat di daerah-daerah yang menjadi sasaran gempa di Jawa Tengah.”
“Selanjutnya, berdasarkan pada Pernyataan Bersama kedua pemimpin negara yang ditandatangani pada bulan November yang lalu, beliau menyampaikan tekad untuk mengembangkan lebih lanjut hubungan persahabatan yang sudah berlangsung lama antara kedua negara yang segera akan memasuki tahun ke-50, antara kain melalui berbagai macam kerjasama, termasuk bantuan penanggulangan bencana,” terang Shinzo Abe sebagaimana dikutip laman Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, 26 Mei 2007.