Kepemimpinan Panjang Shinzo Abe sebagai PM Jepang
Mantan PM Jepang, Shinzo Abe (Instagram/@shinzoabe)

Bagikan:

JAKARTA - Hari ini, Shinzo Abe genap berusia 66 tahun. Ia baru saja mundur dari posisi Perdana Menteri (PM) Jepang, 28 Agustus lalu. Kabar yang cukup mengguncang, meski sejatinya tak mengherankan. Kesehatannya memburuk. Abe pun mundur di tengah perang terhadap pandemi.

Saat mengumumkan pengunduran diri, Abe menyatakan ingin memberi jalan bagi pemimpin baru yang dapat fokus sepenuhnya pada penanganan pandemi dan berbagai tantangan lain yang harus dihadapi Jepang. Abe mengatakan pengunduran diri dilakukan di waktu tepat karena Jepang kini telah memasuki gelombang kedua COVID-19.

“Selama hampir delapan tahun saya mengontrol penyakit kronis saya. Namun pada Juni tahun ini saya melakukan check up rutin dan ada tanda-tanda penyakit tersebut,” kata Abe. "Saya membuat keputusan bahwa saya tidak boleh melanjutkan pekerjaan saya sebagai perdana menteri. Saya perlu melawan penyakit dan perlu dirawat."

Melansir The New York Times, Abe mengumumkan keputusan mundur itu, empat hari setelah dia mencetak rekor sebagai PM Jepang dengan masa jabatan terpanjang tanpa gangguan. Kepemimpinan Abe sebagai PM dimulai pada 2006, sebelum ia mengundurkan diri di tahun 2007 dan kembali terpilih pada 2012.

Abe memimpin Jepang di masa pemulihan dari gempa bumi, tsunami, dan bencana nuklir yang berdampak panjang. Di bawa Abe, Jepang berhasil pulih dari keadaan ekonomi yang melarat. Terlepas dari kekuasaan yang panjang, Abe gagal mencapai tujuan utamanya merevisi konstitusi yang ditetapkan Amerika Serikat (AS) pasca-Perang Dunia II.

Abe juga gagal mengamankan pulau-pulau yang diperebutkan dengan Rusia. Ia tak mampu mendudukkan dua negara untuk menandatangani perjanjian damai yang secara resmi bakal mengakhiri perang.

Dan dalam konferensi pers yang emosional, Abe menyatakan penyesalan terbesarnya, yakni kegagalan memenuhi ambisi mengamankan warga Jepang yang diculik oleh Korea Utara (Korut). Penculikan itu diketahui telah terjadi beberapa dekade silam.

Maju-mundur Abe

Shinzo Abe saat mengundurkan diri Agustus lalu (Instagram/@shinzoabe)

Jepang memiliki sistem parlementer, di mana biasanya pemimpin partai dengan kursi terbanyak di majelis rendah Diet akan menjadi PM. Partai pimpinan Abe, Partai Demokrat Liberal (LDP) telah memegang kekuasaan selama beberapa tahun sejak didirikan tahun 1955. Pada September 2006 Abe pun menjadi PM Jepang.

Abe adalah PM termuda negara itu sejak Perang Dunia II. Ia juga PM pertama yang lahir setelah perang. Abe menjadi anggota legislatif sejak 1993, meski baru bergabung dengan kabinet pada 2005. Seperti telah dijelaskan di atas, pengunduran diri ini sejatinya bukan yang pertama. Pada September 2007, Abe juga sempat mengundurkan diri dengan alasan kesehatan yang buruk.

Pada September 2012, Abe kembali menjadi pemimpin LDP, setelah partai itu berhasil menangi kotak suara. Abe memulai masa jabatan keduanya sebagai PM Jepang pada 26 Desember 2012. Pada 2014 dan 2017, Abe menyerukan pemilihan cepat; kemenangan memperkuat kendalinya dan menunjukkan dukungan untuk program pembaruan ekonominya.

Pada 2017, LDP mengubah aturan yang mengizinkan pemimpinnya menjalani tiga masa jabatan. Hal itu berimplikasi pada takdir politik Abe. Dengan aturan itu Abe dapat kembali mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga sebagai pemimpin LDP pada September 2018. Jika dia memegang peran kepemimpinan itu, Abe tetap berada di kepala pemerintahan hingga 2021, yang mana menjadikannya sebagai PM terlama di Jepang.

Warisan Abe

Namun, skandal dan penurunan peringkat persetujuan dapat menjadi tantangan bagi kepemimpinan Abe, atau bahkan pengunduran diri dengan alasan tertentu. Benar adanya. Abe mundur sebelum 2021 karena kesehatannya.

Kepemimpinan Abe bukan berarti tanpa celah. Beberapa skandal dan kontroversi terjadi. Pada akhir 2013 Abe mengunjungi Kuil Yasukuni, sebuah tugu peringatan kematian perang Jepang yang menempatkan para penjahat Perang Dunia II.

Kunjungan tersebut membuat negara tetangga, seperti China dan Korea Selatan geram. Pada 19 September, beberapa pekan setelah dia mengundurkan diri sebagai PM Jepang, Abe kembali mengunjungi kuil tersebut.

Dalam pernyataan pada 2015 yang menandai peringatan 70 tahun Perang Dunia II, Abe mengulangi ekspresi penyesalan masa lalu atas perang tersebut. Tetapi ia juga mengatakan tak ingin Jepang terus meminta maaf tanpa batas waktu atas tindakan perangnya.

Hubungannya dengan AS pun dianggap mengejutkan. Sembilan hari setelah Trump disahkan sebagai Presiden AS, Abe menjadi pemimpin negara asing pertama yang mengunjungi presiden terpilih AS.

Shinzo Abe dan Donald Trump (Sumber: Commons Wikimedia)

Abe dan Donald Trump bertemu di Gedung Putih pada Februari 2017, di mana mereka berbagi jabat tangan selama 19 detik dalam keadaan yang canggung. Dalam kunjungan tersebut, Abe juga mendatangi Mar-a-Lago, klub Trump di Florida, di mana keduanya bermain golf dan menerima berita tentang peluncuran rudal Korea Utara.

Saat Trump melakukan perjalanan ke Jepang pada November 2017, Abe menghadiahinya sebuah topi yang menampilkan slogan: Donald & Shinzo Make Alliance Even Greater. Namun hubungan tersebut tidak seproduktif yang diharapkan Abe. Trump keluar dari Trans-Pacific Partnership.

Trump juga mengejutkan Abe ketika ia menyetujui pertemuan puncak pada Juni 2018 dengan Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong-un. Padahal hingga saat itu hubungan Korea Utara dan Jepang tidak pernah baik.

Meski begitu, peninggalan terbesar Abe untuk Jepang adalah stabilisasi, baik ekonomi maupun dalam hubungan diplomatis dengan negara tetangga, khususnya China. Sebelum pandemi COVID-19 dan gerakan China yang semakin otoriter di Hong Kong dan sekitar Laut China Selatan, Abe telah menjalin hubungan yang lebih hangat dengan China dan Presiden Xi Jinping, membalikkan tahun-tahun hubungan yang membeku.

“Saya pikir warisan terbesar Abe untuk penggantinya adalah dia berhasil berkuasa di Jepang lebih lama daripada perdana menteri lainnya,” kata Kristi Govella, asisten profesor studi Asia di Universitas Hawaii di Manoa. 

“Dia berhasil mengangkat profil Jepang di panggung internasional dan membuat perubahan substansial dalam kebijakan di sejumlah area permasalahan dan di Jepang itu adalah sesuatu yang jarang kami lihat,” tambahnya.