Jejak Ali Sadikin Bangun Kota Tua Sebagai Pusat Sejarah Jakarta
Gubernur DKI jakarta, Ali Sadikin saat meresmikan Museum Bahari. (Perpusnas)

Bagikan:

JAKARTA - Tegas dan keras kepala. Itulah Ali Sadikin. Kedua karakternya justru jadi senjata ampuh untuk mempercantik Jakarta.Ia mampu berdiri untuk semua golongan. Segala hal dipikirkannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dari peningkatan ekonomi hingga nasib warganya.

Banyak pula inovasi yang munculkannya. Keberanian Ali Sadikin memberikan status kawasan cagar budaya kepada Kota Tua, misalnya. Museum-museum baru banyak didirikan. Karenanya, Kota Tua langgeng sebagai pusat sejarah Jakarta.   

Bung Karno kerap ikut campur dalam menentukan pemegang takhta Gubernur DKI Jakarta. Ia tak ingin Jakarta jatuh kepada tangan yang tak tepat. Ragam sosok kerap direkomendasi dan dipilihnya. Banyak di antaranya gagal memuaskan hasrat Bung Karno.

Opsi mengganti pemimpin Jakarta klembali digulirkan pada 1966. Soekarno ingin sosok yang berbeda dari biasanya. Bila perlu sosok itu sedikit keras kepala. Pucuk dicinta ulam tiba. Ali Sadikin muncul sebagai pilihan utama. Bung Karno berkeyakinan bahwa Ali Sadikin dapat mengubah Jakarta menjadi kota metropolitan.

Ali Sadikin dalam sebuah acara di Kantor Gubernur DKI Jakarta. (Perpusnas)

Intuisi Bung Karno tak salah. Sekalipun Soekarno tak lagi menjabat, Ali Sadikin tetap menjalankan ide dan gagasan Bung Karno dalam membangun Jakarta. Banyak mimpi Soekarno yang diwujudkan olehnya – walau dengan langkah kontroversial (melegalkan judi dan prostitusi). Dari pendirian rangkaian monumen hingga pusat rekreasi di utara Jakarta.

Tak hanya itu, Ali Sadikin memimpin Jakarta dengan cakap. Pria yang akrab disapa Bang Ali mampu menempatkan kepentingan warga di atas segala. Hal yang dianggap jarang dilakukan oleh pemimpin lainnya.

Apalagi Ali Sadikin kerap turun langsung ke lapangan untuk mengetahui secara detail masalah warganya. Rangkaian pengamatan itulah yang membuatnya mampu menelurkan kebijakan yang tepat guna.  

“Beruntung atau tidak, selama 46 bulan sejak Sadikin menjadi gubernur bulan April 1966, dia telah memajukan semangat dan menghidupkan kembali tubuh Jakarta. rakyat memuja dia sebagai Bang Ali. Rekan-rekan gubernur meniru tata-caranya yang tidak biasa itu, dan delegasi-delegasi dri negara-negara tetangga pada datang untuk memperlajarinya. Wartawan-wartawan luar negeri makin sering berkunjung, dan makin sering datang untuk bertemu dengan Ali Sadikin.”

“Dia mulai dengan mempelajari tugasnya; selama enam bulan kerja keras. Berat badan saya turun 15 pon dan kurang tidur, kata Ali. Dia menjelajah Jakarta sendirian dan incognito, siang-malam, kena hujan dan terik matahari, antara puluhan ribuan pedagang pinggir jalan, penghuni-penghuni liar, dan pengemis-pengemis,” tertulis dalam ulasan Ramon Magsaysay Award (1958-1971) sebagaimana disusun Bang Ali dalam buku Ali Sadikin Menggusur dan Membangun (1977).

Ali Sadikin Gulirkan Revitalisasi Kota Tua

Puja-puji terhadap Bang Ali berdatangan. Apalagi ketika Bang Ali memutuskan untuk melestarikan Kota Tua. Tugas itu bukan perkara muda. Sebelumnya, telah 30 tahun lebih Kota Tua diterlantarkan. Sementara, upaya revitalisasinya tak pernah digaungkan.

Bang Ali merasa tertantang. Ia menganggap bangunan tua yang ada di Kota Tua mempunyai arti penting dalam perjalanan sejarah bangsa. Ia pun mendobrak kekakuan sejarah bahwa bangunan kolonial tak layak untuk dikenang. Langkah merevitalisasi Kota Tua pun dipilihnya.

Surat Keputusan Gubernur Nomor 11 tahun 1972 jadi bukti keseriusannya. Bang Ali menetapkan kawasan Kota Tua Jakarta sebagai kawasan cagar budaya. Karenanya, Taman Fatahillah, Pasar Ikan, dan Glodok ditetapkan pula sebagai zona kenservasi. Semua itu –dalam bahasa Ali Sadikin—demi lestarinya peradaban bangsa.

Ia pun bertindak jauh ke depan. Gedung-gedung yang ada di Kota Tua segera direvitalisasi. Ia membangun ragam fasilitas. Museum apalagi. Antara lain Museum Sejarah Jakarta (dulu: bekas Balai Kota Batavia), Museum Seni dan Keramik (dulu: bekas pengadilan Belanda), Museum Bahari (dulu: bekas bangunan gudang rempah Belanda) dan Museum Wayang (dulu: lokasinya bekas Gereja Belanda).

Kawasan Kota Tua yang kini menjadi ikon pariwisata Jakarta. (Antara/Aditya Pradana Putra)

Ali Sadikin lalu menggalakkan usaha penggalian, pemeliharaan, dan peninggalan-peninggalan kekayaan bangsa di masa lampau. Semuanya coba diperkenalkan Ali Sadikin lewat museum. Visi Ali Sadikin membuahkan hasil. Kota Tua menjadi ramai.

Pengunjung Kota Tua pun bejibun. Mereka mendapatkan dua keuntungan sekaligus: edukasi dan rekreasi. Padahal, revitalisasi Kota Tua saat itu belum maksimal.  

“Menyadari pentingnya peranan museum, Pemda DKI Jakarta mendirikan berbagai macam museum Sejarah Jakarta, Museum Seni Rupa, Museum Sastra Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Museum Wayang, Museum Tekstil. Pada akhir jabatan saya mulai dirintis Museum Bahari. Sampai tahun 1976, museum yang diurus oleh Pemda DKI Jakarta berjumlah tujuh buah.”

“Di samping itu ada museum-museum yang didirikan dan diurus oleh instansi pemerintah lainnya, seperti Museum Pusat, Museum Sasmita Loka, Museum A. Yani, Museum Sejarah ABRI (Satria Mandala), Museum Lobang Buaya, dan Museum Monumen Nasional. Pada akhir jabatan saya dirintis usaha untuk mendirikan Museum Maritim, Museum Prasasti, dan berbagai museum lainnya,” terang Ali Sadikin dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).