Bagikan:

JAKARTA - Sejarah hari ini, 82 tahun yang lalu, 14 Juni 1941, tulisan pejuang kemerdekaan, Soekarno terbit di surat kabar Pemandangan. Tulisan yang berjudul ‘Soekarno oleh Soekarno Sendiri’ menarik hati seisi Bengkulu. Khalayak umum akhirnya paham bahwa Soekarno tak hanya mendewakan ideologi Komunisme belaka.

Ia mampu menyatukan semua ideologi. Bung Karno bak menegaskan dirinya adalah lambang persatuan. Sebelumnya, Soekarno dikenal sebagai sosok cerdas. Ia belajar dari mana saja. Petani, buruh, hingga guru.

Soekarno begitu mengagumi ayahnya, Soekemi Sosrodihardjo. Banyak pelajaran berharga yang didapat dari ayahnya. Apalagi ayah Bung Karno adalah seorang guru. Bung Karno menganggapnya pendidik yang handal. Sekalipun tipikal ayahnya guru yang keras.

Didikan itu membuat Bung Karno haus akan ilmu pengetahuan dan menyukai buku. Alih-alih didikan ayahnya hanya membuat Bung Karno bisa baca tulis belaka, didikan itu justru mengasah kepekaan.

Namun, pengetahuan ayahnya mengenal batas. Bung Karno tak mau berkecil hati. istimewanya sang ayah menitipkan Bung Karno untuk ‘mondok’ pada sosok yang tepat. Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto, namanya.

Selain gemar menulis, Bung Karno juga merupakan orator ulung. (ANRI)

Soekarno pun mengagumi sosok itu. Banyak pelajaran berharga yang didapatnya dari Tjokro. Soekarno mampu belajar banyak -- perihal ideologi hingga agama Islam secara mendalam. Sesuatu yang orang tua Bung Karno tak pernah ajarkan.

Pengetahuan Bung Karno makin beragam seiring berjalannya waktu. Apalagi kala Bung Karno mulai larut dalam buku-buku. Aktivitas membaca pun membuat Bung Karno bak berkenalan dengan banyak tokoh dunia.

“Nenekku memberiku kebudayaan Jawa dan Mistik. Dari bapak datang Theosofisme dan Islamisme. Dari ibu Hinduisme dan Buddhisme. Sarinah memberiku Humanisme. Dari Pak Tjokro datang Sosialisme. Dari kawan‐kawannya datang Nasionalisme. Aku menambah renungan‐renungan dari Karl Marxisme dan Thomas Jeffersonisme.”

“Aku belajar ekonomi dari Sun Yat Sen. Aku belajar kebaikan dari Gandhi. Aku sanggup mensynthese pendidikan secara ilmu modern dengan kebudayaan animistik purbakala dan mengambil ibarat dari hasilnya menjadi pesan‐pesan pengharapan yang hidup dan dapat dihirup sesuai dengan pengertian dari rakyat kampung,” terang Soekarno sebagaimana dikutip Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2000).

Tindak-tanduk itulah yang membuat Soekarno tak pernah mendewakan satu ideologi atau wawasan. Semuanya dipelajari Bung Karno. Dalam ideologi politik, misalnya. Aliran politik yang dipilih Soekarno tak hanya satu atau dua aliran saja.

Pejuang kemerdekaan yang kemudian jadi Presiden Indonesia pertama, Soekarno. (ANRI)

Namun, khalayak umum sudah lebih dulu menebak bahwa Bung Karno adalah seorang marxisme (Komunisme) sejati. Anggapan itu diberikan karena Bung Karno banyak dekat dengan tokoh yang notabene menjadikan komunisme sebagai alat perjuangan.

Soekarno pun rasanya memiliki tanggung jawab moral untuk menjelaskan aliran politik yang diamini. Ia membuat tulisan secara khusus sewaktu ia diasingkan ke Bengkulu dengan judul: Soekarno oleh Soekarno Sendiri. Tulisan itu terbit dalam Surat Kabar Pemandangan pada 14 Juni 1941.

Kehadiran tulisan yang beredar di seantero Bengkulu itu menjadi penegas bahwa Bung Karno memiliki aliran politik yang beragam. Ia menerima semua aliran politik. Dari komunisme hingga nasionalisme. Semangat itu membuatnya dikenang sebagai simbol persatuan Indonesia. Ragam ideologi mampu dioptimalkan dalam satu perjuangan: Indonesia merdeka.

"Ada orang yang menyatakan Soekarno itu nasionalis, ada orang yang mengatakan Soekarno bukan lagi nasionalis, tetapi Islam, bukan marxis, tetapi seorang yang berpaham sendiri. Golongan tersebut belakangan ini berkata mau disebut dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa yang biasanya disebut nasionalisme, mau disebut Islam, dia mengeluarkan paham-paham yang tidak sesuai pahamnya banyak orang Islam.”

“Mau disebut marxis, dia sembahyang, mau disebut bukan marxis, dia ‘gila’ pada marxisme itu? Apakah Soekarno itu? Nasionaliskah? Islamkah? Marxiskah? Pembaca-pembaca, Soekarno adalah campuran dari semua isme-isme itu,” cerita Soekarno dalam tulisannya di Surat Kabar Pemandangan sebagaimana dikutip dari buku Bung Karno Panglima Revolusi (2014).