Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 46 tahun yang lalu, 18 Juni 1977, Presiden Soeharto menetapkan Tjokropranolo secara resmi sebagai Gubernur DKI Jakarta yang baru. Pemilihan Tjokropranolo dilakukan karena Jakarta butuh sosok baru menata Jakarta setelah Ali Sadikin dipecat.

Sebelumnya, andil Ali Sadikin membangun Jakarta tiada dua. Ia mampu mengubah Jakarta dari The Big Village jadi Kota Metropolitan. Keberhasilan itu membuat sosoknya kesohor di mana-mana. Bahkan, popularitasnya mengalahkan Soeharto.

Catatan kepemimpinan Ali Sadikin membangun Jakarta kerap mengundang apresiasi. Ia mampu menjadi pemimpin yang dapat berdiri di atas semua golongan. Kepemimpinannya pun tak mudah didikte. Ia menjalankan apa yang menurutnya benar. Sekalipun harus bertentangan dengan Presiden Soeharto.

Sosok yang akrab disapa Bang Ali tak mau sembarang dalam membuat kebijakan. Kegiatan blusukan pun dilanggengkan. Ia rela panas-panasan hingga hujan-hujanan berkunjung ke banyak tempat. Dari terminal hingga kampung.

Semuanya dilakukan demi membuat Jakarta jadi mercusuar peradaban bangsa. Masalah anggaran terbesar itu urusan lain. Ali dapat mencarinya. Ia pun melanggengkan segala cara untuk itu, termasuk dengan ide-ide kontroversial. Legalkan perjudian hingga pelacuran.

Tjokropranolo yang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dari 1977 hingga 1982. (Perpusnas)

Kedua ajian itu nyatanya berhasil. Namun, hujanan kritik mengikuti gebrakan itu. Ia terus melanggengkan segala macam upaya membangun Jakarta sembari terus melanggengkan kritik kepada kebijakan Presiden Soeharto.

Belakangan, figur Ali mulai dibanding-bandingkan dengan Soeharto. Nama Ali pun mengemuka sampai popularitasnya mengalahkan Soeharto. Ia pun didengung-dengungkan sebagai calon Presiden Indonesia di masa mendatang.

“Kata ‘keras’ sering digunakan terhadap Ali Sadikin untuk menggambarkan pemikirannya yang independen dan tidak mudah goyah. Ia siap menghadapi konflik dan kritik secara langsung. Didikan Islam yang diterimanya di Jawa Barat membuat Ali Sadikin mudah bergaul dengan para pemimpin agama di Jakarta.

“Namun, ia tak segan menikmati dansa modern, seni modern, dan sisi kehidupan kota yang ‘lebih trendi.’ Soeharto pasti jenuh dibandingkan dan jenuh dengan semua spekulasi bahwa Ali Sadikin mungkin mengikuti jejak Soeharto menjadi presiden –atau bahkan malah menggantikannya,” tulis Susan Blackburn dalam buku Jakarta Sejarah 400 Tahun (2011).

Kritik dan popularitas Ali Sadikin yang meningkat membuat Orba geram. Ali dipandang sebagai pemimpin yang kerap membantah Soeharto. Empunya kuasa pun ambil sikap. Mereka tak ingin Ali terus menggoyang kuasa Orba.

Tjokropranolo (memegang buku) dalam sebuah acara pameran di Jakarta pada masa dia menjabat Gubernur DKI Jakarta. (Wikimedia Commons)

Ali pun diberhentikan dengan hormat pada 15 Juni 1977. Setelahnya, Presiden Soeharto menetapkan secara resmi Tjokropranolo sebagai Gubernur DKI Jakarta yang baru pada 18 Juni 1977. Penetapan Tjokropranolo dianggap Soeharto sebagai sosok yang dapat berkomunikasi baik ke pemerintah Orba ketimbang Ali Sadikin. Apalagi Soeharto dan Tjokripranolo pernah dekat sebagai atasan dan bawahan.

“Pada akhir tahun masa jabatan Ali Sadikin sudah terlihat benihbenih tidak serasinya Bang Ali dengan kebijakan Pak Harto. Karena itulah mungkin dipilih Pak Nolly (panggilan akrab Tjokropranolo) sebagai pengganti Ali Sadikin. Dia berasal dari Angkatan Darat dan ikut berjuang di masa revolusi.”

“Antara lain sebagai ajudan Jenderal Sudirman, Asisten Intel Kodam Diponegoro di bawah Jenderal Soeharto, dan terakhir sebagai Sekretaris Militer Presiden. Semua staf Biro II yang ‘dekat’ dengan Ali Sadikin mengundurkan diri atau pindah ke jabatan lain. Kecuali saya, yang tidak menerima ‘bisikan’ untuk pindah dari Tjokropranolo,” terang Wardiman Djodjonegoro dalam buku Sepanjang Jalan Kenangan (2016).