Bagikan:

JAKARTA - Soeharto dan Orde Baru (Orba) pernah melarang pejabat negara menerima hadiah Tahun Baru. Keinginan Soeharto melawan gratifikasi ada di baliknya. Barang siapa yang melanggar diganjar hukuman. Dari hukuman jabatan hingga pidana.

Namun, tak semua pejabat negara mendukung aturan itu. Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, misalnya. Ia menganggap aturan itu mengada-ngada. Baginya, akan lebih baik bila Orba hajar praktek korupsi di dalam pemerintahannya, dibanding urusi perihal hadiah Tahun Baru.

Langggengnya praktek korupsi di era Orba sudah jadi rahasia umum. Praktek korupsi bawah meja hingga sogok-menyogok laksana tradisi pejabat pemerintah. Citra Orba biang korupsi pun sampai ke telingga Soeharto. Ia geram bukan main. Namun enggan menindak.

Alih-alih memberantas korupsi secara masif, Soeharto justru sibuk memperbaiki citra pemerintah. Ia mengimbau pejabat negara untuk peka dengan keadaan masyarakat. Kondisi negara tak sedang baik-baik saja. Kemiskinan di mana-mana. Pejabat negara lalu diminta untuk tak memperlihatkan gaya hidup mewahnya ke khalayak umum.

Upaya lain yang dilakukan Soeharto adalah membuat suatu produk aturan. Keputusan Presiden (Kepres) No. 10 Tahun 1974, namanya. Kepres itu berisi pembatasan kegiatan pejabat negara dalam rangka menjaga kesederhanaan hidup.

Gubernur DKI Jakarta 1966-1977, Ali Sadikin. (Perpusnas)

Salah satu poin pentingnya adalah melarang pejabat negara menerima hadiah dalam rangka hari-hari besar, seperti hari Lebaran dan Tahun Baru. Upaya itu dilakukan Soeharto dalam rangka melawan gratifikasi dan memoles citra Orba.

“Pegawai Negeri, Anggota ABRI dan Penjabat dilarang menerima hadiah atau pemberian lain serupa itu dalam bentuk apapun kecuali dari suami, isteri, anak, cucu, orang tua, nenek atau kakek dalam kesempatan-kesempatan tertentu, seperti ulang tahun, Tahun Baru, Lebaran, Natal dan peristiwa-peristiwa lain yang serupa kecuali apabila adat belum memungkinkan,” bunyi Pasal 7 dalam Kepres No. 10 Tahun 1974.

Namun, tak semua menyambut baik larangan memberikan hadiah di hari Tahun Baru. Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin jadi salah satu pejabat negara yang geram. Ia menganggap aturan itu terlampau mengada-mengada.

Menurutnya, pejabat negara tak masalah menerima ragam hadiah Tahun Baru. Apalagi hadiah yang diberikan terbatas kepada makanan, bunga, atau kue yang harganya tak seberapa. Kecuali yang diberikan itu berupakan amplop tebal berisi uang baru pejabat negara jelas itu tak boleh.

Ali Sadikin menganjurkan lebih baik pemerintah tak mengurusi urusan remeh. Pemerintah justru dapat melakukan kegiatan berfaedah seperti memberantas langsung korupsi. Kegiatan itu lebih baik dibanding sibuk melarang pemberian hadiah Tahun Baru. Apalagi jika Soeharto dan Orba mau semua yang korupsi pasti dapat kelihatan batang hidungnya dengan memanfaatkan kekuatan militer.

Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta menyerahkan pos polisi Pejompongan kepada Kapolda Metro Jaya, Irjen Widodo Budidarmo pada 7 September 1972. (Perpusnas)

“Koran-koran mengumumkan bahwa dalam rangka Tahun Baru dan Lebaran, pemerintah pusat melarang para pegawai negeri menerima hadiah Lebaran, hadiah Tahun Baru dari publik. Saya kaget. Saya berpikir. Saya menilai dan bicara sendiri. Hadiah Lebaran/Tahun Baru itu paling apa sih? Paling-paling bunga, makanan-makanan kaleng, kue tarcis.”

“Apa artinya itu? harganya waktu itu paling-paling Rp30-50 ribu. Boleh dibilang tidak mahal. Dan untuk pihak yang memberi, yang pernah mendapatkan pelayanan yang baik itu, ini cara yang terbaik, yang netral, menunjukkan terima kasih. Saya tanyakan ahli agama, bagaimana pegangannya mengenai hal ini. katanya menurut agama Islam tidak dilarang sikap seperti itu,” ungkap Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).