JAKARTA - Animo tinggi film boneka serial Si Unyil bukan pepesan kosong belaka. Alih-alih hanya ditonton oleh anak kecil, kisah Si Unyil juga ditunggu orang dewasa. Mereka khatam dengan laku hidup semua karakter Si Unyil. Apalagi Pak Ogah.
Karakter seorang pengangguran berkepala plontos itu fenomenal. Saban hari, ia diam di pos ronda tanpa mau kerja keras dan doyan minta duit: cepek dulu. Nyatanya, karakter Pak Ogah ini kerap diasosiasikan dengan fenomena polisi cepek. Keduanya, dianggap memiliki sifat yang tiada beda.
Si Unyil adalah proyek kebudayaan nasional pemerintah Indonesia yang paling kesohor. Serial boneka legendaris itu mampu menjadi agen penting sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Utamanya perihal keberagaman.
Semua itu secara lihai diselipkan oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) dalam setiap karakter kisah Si Unyil. Alhasil, banyak orang yang mengamini kisah Si Unyil yang mulai tayang pertama kali pada 5 April 1981, sebagai simbol miniatur Indonesia. Dari suku bangsa hingga agama yang berbeda-beda.
Namun, itu hanya salah satu rumusan Si Unyil dapat populer. Rumusan lainnya adalah keterusterangan. Si Unyil secara gamblang menunjukkan beberapa sifat khas orang Indonesia yang jauh dari kata baik. Sikap itu diborong semua dalam wujud Pak Ogah.
Karakter Pak Ogah direka dari seorang warga negera yang kekurangan pendidikan dan hidup bermalas-malasan. Satu-satunya yang dipikirkan adalah bagaimana cara mendapatkan uang dengan cara yang mudah. Alias tanpa bekerja keras. Ia bersedia membantu orang asalkan ada dokunya: cepek dulu.
“Pertunjukan boneka anak-anak di televisi pada tahun 1980-an menampilkan karakter yang disebut Pak Ogah. Serial itu memiliki latar belakang sebuah kampung di Jakarta. Alias rumah bagi orang-orang Betawi. Yang mana, Betawi merupakan gabungan berbagai kelompok etnis dari seluruh Indonesia, dengan garis keturunan dari China, Timur Tengah dan bekas kekuasaan Belanda. Dalam pertunjukan, Pak Ogah memiliki jawaban sama ketika meminta bantuan: ogah, ah!”
“Karakter seperti Pak Ogah memainkan karakter sebagai yang tak berpendidikan dan hanya ingin mendapatkan uang dengan mudah. Kebanyakan penonton terhibur dengan baik dengan aksi Pak Ogah. Dalam pertunjukan, Pak Ogah terkadang setuju untuk membantu, tapi meminta imbalan cepek dulu,” ungkap Oleh Christopher Torchia dalam buku Indonesian Idioms and Expressions (2007).
Fenomena Polisi Cepek
Karakter Pak Ogah jadi fenomenal seiring suksesnya serial Si Unyil. Lagi pula Si Unyil telah berada di layar kaca dengan ratusan episode. Nama Pak Ogah pun kesohor, termasuk pengisi suaranya boneka Pak Ogah, Abdul Hamid. Ia juga ikut ketiban rezeki.
Kepopuleran karakter Pak Ogah membuat masyarakat perkotaan acap kali mengasosiasikannya dengan fenomena ‘Polisi Cepek.’ Citra itu diberikan karena tindak-tanduk Polisi Cepek mirip Pak Ogah. Polisi Cepek adalah orang biasa –lazimnya pengangguran-- yang membantu melancarkan lalu lintas jalanan dari tahun 1980-an.
Mereka biasanya beroperasi di tempat-tempat rawan kemacetan. Dari perempatan hingga jalur putar balik. Barang siapa yang berprofesi Polisi Cepek –suatu pekerjaan yang notabene sektor informal-- akan disebut dengan Pak Ogah.
Sebab, Polisi Cepek berharap apa yang mereka lakukan dapat upah dari pengendara. Cepek dulu, pikirnya. Perilaku itulah yang membuat khalayak umum yakin Polisi Cepek tak ubahnya menyerupai sosok Pak Ogah dalam serial Si Unyil.
Sekalipun Pak Ogah dari Si Unyil tak bertindak mengatur jalanan karena latar belakang serial Si Unyil bertema pedesaan yang notabene sepi kendaraan bermotor. Julukan Polisi Cepek sebagai Pak Ogah jadi tak lekang oleh waktu. Bahkan, pekerjaan sebagai Pak Ogah masih eksis hingga hari ini, seiring tumbuhnya pengguna kendaraan bermotor.
“Keberadaan Polisi Cepek masih menuai pro dan kontra di masyarakat. Secara hukum, istilah keberadaan Polisi Cepek atau Pak Ogah tidak memiliki alas hukum. Tidak ada satupun kata ‘Pak Ogah’ dalam Undang-Undang (UU) yang menjadi acuan untuk meligitimasi eksistensi Pak Ogah, hanya saja digunakan kata Bantuan Polisi (Banpol) yang pendekatannya lebih kepada fungsi kepolisian sebagai bagian dari pelaksanaan UU No.22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.”
“Bantuan Polisi (Banpol) bahkan tidak ditemukan dalam undang-undang, melainkan Bantuan Polisi hanyalah bentuk upaya melibatkan masyarakat sebagai bentuk upaya swakarsa dalam penegakan hukum. Apabila ditinjau secara sosial, sebagian masyarakat membutuhkan Polisi Cepek karena dianggap membantu pengguna jalan dalam menghadapi kemacetan ataupun bagi pengguna jalan yang ingin berbelok, berputar arah dan juga menyeberang jalan,” terang Raden Prima Aziz Buntoro dan Puji lestari dalam Jurnal E-Societas bejudul Fenomena Polisi Cepek di Daerah Istimewa Yogyakarta (2020).