Bagikan:

JAKARTA - Luka masa penjajahan Jepang tak mudah terobati. Mulanya kaum bumiputra menyambut Jepang bak juru selamat. Belakangan Jepang ketahuan belangnya. Jepang menggunakan militer dalam menjalankan roda pemerintahan di Nusantara.

Kaum bumiputra terintimidasi. Saban hari arogansi militer Jepang dipertontonkan. Bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya dilarang beredar. Pun rakyat tak berani melawan perintah Jepang. Barang siapa yang melanggar, Jepang tak segan-segan menyakiti rakyat.

Kedatangan Jepang disambut dengan gegap gempita. Kaum bumiputra mendukung penuh perlawanan Jepang atas penjajah Belanda. Dukungan itu karena kaum bumiputra dan Jepang telah menjadikan Belanda sebagai musuh bersama.

Lebih lagi, Jepang dianggapnya telah bersimpati dengan kemerdekaan Indonesia. Segenap kaum bumiputra dengan lantang meneriakkan kata merdeka. Mereka mendaulat Jepang sebagai juru selamat. Bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya diperdengarkan di mana-mana. Pejuang kemerdekaan Indonesia pun ikut dilibatkan dalam pemerintahan. Keterwakilan itu membuat simpati rakyat bertambah.

Kaum Nasionalis Indonesia bersama Militer Jepang. (Wikimedia Commons)

Nyatanya, jauh panggang dari api. Pemerintahan Jepang yang didominasi oleh militer mulai menunjukkan kuasanya. Alih-alih simpati, militer Jepang justru menunjukkan arogansinya. Ajian itu digunakan untuk mengamankan kekuasaan.

Lagu Indonesia Raya dan bendera Merah Putih dilarang beredar. Jepang kemudian memaksa kaum bumiputra menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo. Demikian pula dengan bendara Merah Putih digantikan oleh bendera Jepang, Hi-no-maru. Apalagi, kaum bumiputra dijadikan pekerja paksa dan budak seks. Sikap arogan itu yang membuat simpati berubah menjadi antipati.    

“Di Indonesia pernah berlangsung dua kali pemerintahan fasis, yaitu masa penjajahan Jepang dan masa Orde Baru. Karakteristik fasis kedua rezim tersebut adalah sama-sama mempertontonkan arogansi kekuasaan militer dengan menempatkan semua urusan sosial-kemasyarakatan, ekonomi-politik, dan budaya berada di bawah kendali militer. Pada masa fasisme Jepang, militer menjadi komando tertinggi dalam penetapan segala putusan politik.”

“Untuk mengamankan kekuasaan rezim, dibentuklah tatanan pemerintah bergaya militer. Setiap kedudukan penting diisi oleh para petinggi militer. Masyarakat dikondisikan agar selalu waspada dan siap siaga akibat propaganda perang yang tengah berlangsung. Masyarakat dibentuk dan dikendalikan lewat mobilisasi massa, misalnya untuk mengerahkan tenaga kerja yang terdiri atas laki-laki dewasa untuk dijadikan pekerja paksa (romusha) dan perempuan untuk dijadikan budak seks (jugun ianfu). Pada masa ini pula teror-teror terhadap warga senantiasa berlangsung,” ungkap Anna Mariana dalam buku Perbudakan seksual: Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru (2015).

Rakyat Jadi Korban

Arogansi Jepang tak melulu hadir ketika mereka meminta kaum bumiputra jadi pekerja paksa. Sikap arogan itu diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari. Kaum bumiputra acap kali terkena sikap sok kuasa militer Jepang. Bahkan, untuk urusan kecil.

Kaum bumiputra banyak yang dipukuli Jepang karena masalah seikerei (membungkukkan badan dengan sedalam-dalamnya). Barang siapa yang tak melakukan atau tidak sempurna seikerei kala berpapasan dengan militer Jepang akan dipukuli.

Kondisi yang hampir sama kaum bumiputra dapatkan ketika tak sempat melakukan taiso (olahraga pagi) dengan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo. Mereka turut dipukuli juga. Militer Jepang menganggap kaum bumiputra tak menghargai Jepang jikalau tak melakukan aktivitas itu.

Benang merah dari semua sikap arogansi Jepang adalah mereka anti terhadap penolakan. Sekali menolak perintah jepang, mereka akan menghukum kaum bumiputra. Bahkan, memukuli atau menamparnya.

Militer Jepang menjaga keamanan ketika Soekarno akan berpidato pada 1946. (Wikimedia Commons)

Hoegeng Imam Santoso (kemudian jadi Kapolri) pernah merasakannya. Kala itu ia masih berstatus sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum, Rechtshoogeschool te Batavia. Di awal kuasa Jepang, Hoegeng pernah menolak memindah buku-buku yang diminta pihak militer di kampusnya. Akibatnya, Hoegeng mendapatkan oleh-oleh tamparan di wajah.

“Kasus saya kena tempeleng Jepang menjadi bahan obrolan segar dan menarik di tengah tak berketentuannya situasi dan kelanjutan kuliah kami. Malahan tidak ada tanda-tanda bahwa kuliah akan dibuka kembali. Kami menganggur, tak ada kerja dan teman-teman yang datang ke rumah. Saya mendiskusikan hal itu dengan (rekan kuliah) Darmawansyah dan Borneo.”

“Sementara itu kami mendengar perkembangan keadaan. Bahwa pejabat Belanda pada ditangkap dan ditahan di mana-mana, meskipun sebelumnya di Jawa Tengah mereka sempat melakukan aksi bumi hangus untuk menghalangi gerak maju Jepang serta dalam rangka melakukan pengungsian ke Australia lewat Cilacap,” cerita Hoegeng sebagaimana ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).