Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 84 tahun yang lalu, 26 Desember 1928, Patih Batavia (kini: Jakarta), Raden Kandoeroean Wirahadikoesoema larang lagu Indonesia Raya dinyanyikan di muka umum. Pelarangan itu dilakukan karena ada muatan politik di balik lagu. Lebih lagi, lagu itu dianggapnya tak cocok diperdengarkan di acara umum, khususnya acara yang dihadiri kaum muda.

Sebelumnya, kehadiran lagu Indonesia Raya yang diciptakan Wage Rudolf (W.R) Soepratman membuat kaum bumiputra terbelah. Ada yang menyukai dan ada juga yang kurang suka.

 W.R. Soepratman dikenal andal dalam berbagai bidang. Ia tak hanya dikenal sebagai musisi genius, tapi juga sebagai jurnalis yang cekatan. Keterampilan itu membuat pimpinan redaksi surat kabar Sin Po menugaskan Soepratman meliput jalannya Kongres Pemuda I di Batavia pada 30 April hingga 2 Mei 1926.

Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Soepratman. Ia memperhatikan jalannya kongres dengan khusyuk. Pidato-pidato dari kalangan pemuda membuat keinginannya memberikan sumbangsih untuk melepas belenggu penjajahan menyala.

Ia pun menyatakan niatannya untuk menggubah sebuah lagu kebangsaan bumiputra. Niatan itu disambut baik oleh kalangan pemuda. Ia mengalokasikan banyak waktu untuk menggubah lagu kebangsaan. Indonesia Raya, judulnya.

Lagu itu baru dapat kesempatan dimainkan pada Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Ia berhasil memainkan lagu Indonesia Raya berkat izin dari pimpinan kongres Sugondo Djodopuspito.

Lantunan biolanya pun terdengar di tengah Kongres Pemuda II di Clubgebouw, Jalan Kramat 106, Batavia. Semuanya hadirin untuk pertama kali mendengarkan lagu Indonesia Raya secara langsung.

“Pada Kongres Pemuda Indonesia II, tepatnya tanggal 28 Oktober 1928, untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya diperkenallkan. Di kongres itu W.R. Soepratman menggesek biolanya dengan penuh hikmat, para hadirin terdiam mendengarkannya. Suasana ruangan hening dan tenang. Kemudian dilanjutkan dengan koor pemuda pemudi dari Perkumpulan Pelajar Indonesia.”

“Mereka membawakan lagu Indonesia Raya, yang dipimpin langsung oleh W.R. Soepratman dengan diiringi Orkes Indonesia Merdeka. Para hadirin terpaku dibuatnya. Lagu ciptaan W.R. Soepratman berkumandang, menggelorakan jiwa dan membakar semangat juang bangsa Indonesia. Seakan-akan darah para hadirin yang mendengarnya mendidih oleh api semangat juang Indonesia merdeka,” ungkap Anthony C. Hutabarat dalam buku Meluruskan Sejarah dan Riwayat Hidup Wage Rudolf Soepratman (2001).

Belakangan, lagu itu nyatanya memunculkan pro dan kontra dari kalangan kaum bumiputra sendiri. Selain komentar positif, Indonesia Raya juga mendapatkan banyak komentar negatif. Terutama dari kalangan pelajar di Batavia. Banyak yang menyebut lagu Indonesia Raya tak memiliki kekuatan. Hambar saja. Lagu keroncong dianggap lebih bagus.

Di kalangan amtenar apalagi. Pejabat bumiputra itu tak sedikit yang memberikan kritik. Regent (Bupati) Batavia, R.T. Achmad juga mengutarakan lagu Indonesia Raya diragukan akan diterima kaum intelektual. Alias, Indonesia Raya tak bisa jadi lagu kesohor.

Partitur lagu Indonesia Raya. (Wikimedia Commons)

Sedang Patih Batavia, Raden Kandoeroean Wirahadikoesoema mengungkap lagu itu sarat dengan kepentingan politik dan tak cocok didengarkan di acara umum, terutama oleh kaum muda. Ia mengungkap perihal lagu Indonesia Raya di dalam rapat Pemuda Indonesia di Batavia pada 26 Desember 1928.

“Pada Tanggal 26 Desember, dalam sebuah rapat Pemuda Indonesia di Batavia, Patih Batavia melarang menyanyikan lagu Indonesia Raya atas dasar bahwa lagu tersebut adalah sebuah lagu politik yang tidak cocok untuk acara-acara umum terutama untuk orang-orang muda,” ungkap Sejarawan John Ingleson dalam buku Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia tahun 1927-1934 (1983).