Bagikan:

JAKARTA - Ali Sadikin adalah sosok yang menyukai tantangan. Ia berhasil menjawab tantangan Soekarno membangun Jakarta. Selepas jabat Gubernur DKI Jakarta, ia kembali ditantang membangun Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Seperti biasa, ia menjawab tantangan dengan gebrakan.

Mengundang kritikan. Tapi PSSI dibenahinya dalam waktu singkat. Unsur pertandingan seremonial dipangkas. Namun Ali memilih mundur kemudian. Keputusannya jadi oposisi pemerintah di kelompok Petisi 50 yang melandasinya.

Ali Sadikin bukan orang baru dalam dunia olahraga. Baktinya kepada olahraga telah berlangsung lama. Yang paling nyata adalah kelahiran dari Yayasan Jaya Raya. Ali Sadikin menginisiasi Yayasan Jaya saat masih menjabat sebagai Gubernur Jakarta (1966-1977).

Yayasan itu sengaja dibentuknya untuk dapat mengayomi klub sepak bola dan atletik yang tengah naik daun. PT. Pembangunan Jaya yang dipimpin oleh Ciputra –yang kemudian jadi pengusaha sukses— dipilih sebagai penggerak utama. Supaya prestasi atlet Jakarta meningkat, katanya.

Ciputra pun menyambut baik ide dari Ali Sadikin. Apalagi Ciputra sendiri memiliki ketertarikan yang sama dengan Ali. Keduanya sering terpanggil jika membahas masalah nasib atlet dan olahraga. Bagi keduanya, olahraga laksana senjata. Pengaruhnya besar.

Olahraga dapat mengharumkan dan mampu menaikkan martabat bangsa. Ide membuat Yayasan Jaya Raya lalu dijalankan berdasarkan kerja sama antara Pemerintah DKI Jakarta dan PT. Pembangunan Jaya. Ciputra didaulat sebagai dewan pengurus. Sedang Ali berperan sebagai dewan pengawas.

Ali Sadikin saat menjadi Ketua Umum PSSI periode 1977-1981 (Sumber: Perpusnas)

“Saya tidak mau yayasan ini bergerak sekedar nama dengan eksistensi yang sedekarnya. Saya ingin total. Maka di tengah kesibukan yang cukup menyita waktu, saya luangkan waktu untuk menggenjot pengurus agar segera menciptakan sesuatu yang konkrit. Saat itu Soekrisman dan Hiskak Secakusuma ikut berperan aktif. Karena cabang sepak bola paling diprihatinkan Ali Sadikin, kami segera membentuk klub sepakbola. Lahirlah Klub Sepak bola Jayakarta.”

“Setahun kemudian, kami juga melahirkan Persatuan Atletik Jayakarta yang dipimpin oleh Tjuk Sugiharto. Namun, saat menangani kedua bidang olahraga ini, saya seperti belum mendapatkan ‘feeling’ yang pas. Para pemain Klub Jayakarta cukup berprestasi. Sejumläh nama tenar lahir dan mereka turut ditarik ke PSSI untuk mengharumkan nama Indonesia dalam pertandingan antar negara. Tapi menjalankan klub sepak bola tantangannya juga tak mudah,” ungkap Ciputra sebagaimana ditulis Alberthiene Endah dalam buku Ciputra The Entrepreneur: The Passion of My Life (2018).

Ketertarikannya dalam dunia olahraga, khususnya sepak bola membuat nama Ali Sadikin dielu-elukan sebagai calon kuat ketua umum PSSI. Penggemar sepak bola Tanah Air mengganggap mantan Gubernur DKI Jakarta lalu sebagai juru selamat PSSI. Namanya digaungkan di mana-mana. Dari media massa hingga diskusi-diskusi.

Dukungan itu sampai ke telinga Ali Sadikin. Ia menanggapinya positif dan ingin menjawab tantangan tersebut. Hasilnya, Ali Sadikin menjadi nama populer saat PSSI menggelar Kongres Luar Biasa di Semarang pada 1977. Ia terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PSSI yang baru. Setelahnya, nada optimis pada dunia sepak bola Indonesia hadir.

“Membicarakan sepakbola dewasa ini yang berorientasi pada klub tak dapat orang menutup mata pada sisinya yang lain: hobi, investasi, kewiraswastaan, manajemen dan mutu. Bukan sekedar main comot dari hasil pembinaan amatir tok. Ada aturan permainannya. Susahnya, kata seorang pemuka olahraga yang tak mau disebut identitasnya, kebanyakan tokoh-tokoh yang memegang pimpinan Bond di daerah dan organisasi olahraga lainnya terdiri dari pejabat-pejabat tinggi.”

“Profesionalisasi bisa berarti menghilangkan kursi prestise mereka. Di samping tentunya kondisi daerah yang tidak sama dengan kondisi di kota-kota besar seperti Ibukota. Kalau begitu memang membutuhkan waktu. Tapi sampai kapan? Sekarang inilah momentumnya, mumpung PSSI dipimpin oleh Tokoh Olahraga Nasional Ali Sadikin,” tulis Lukman Setiawan dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Profesionalisme Itu Protes (1977).

Kiprah Ali Sadikin di PSSI

Ali Sadikin saat menjadi Ketua Umum PSSI periode 1977-1981 (Sumber: Perpusnas)

Ali menjalankan tahun pertamanya sebagai Ketua Umum PSSI dengan baik. Ia tak mengumbar janji muluk-muluk. Langkah pertamanya difokuskan kepada pembenahan, penegakan disiplin, hingga menciptakan iklim kerja keras di tubuh PSSI. Dalam realisasinya, tiada yang sukar bagi Ali. Ia mewujudkan langkah itu dalam waktu singkat.

Ia mengawali kepemimpinannya dengan sistem pembagian kerja yang jelas. Tiada lagi rangkap jabatan dan semerawut pekerjaan pengurus PSSI, seperti periode sebelumnya. Mereka yang dipilih sebagai pengurus dikhususkan kepada mereka yang professional pada bidangnya. Bukan kepada mereka yang banyak duit samata. Sekalipun keuangan PSSI sedang kritis-krisisnya.

“Di sektor keuangan PSSI sangat kritis, Ali Sadikin mengakui. la menambahkan bahwa krisis tersebut disebabkan kepengurusan sekarang lebih menitik-beratkan program kerja pada pembinaan dan kompetisi. Lain dengan kepengurusan sebelumnya yang mengutamakan pertandingan melawan tim luar negeri tanpa menghiraukan jalan atau tidaknya kompetisi.”

“Menurut Ali Sadikin, sisa kas sampai akhir Maret (1978) lalu tercatat Rp1,9 juta. Sedangkan yang dikeluarkan dari pemasukan selama delapan bulan berjumlah Rp344 juta. Untuk mengukur keberhasilan kepengurusan Ali Sadikin di PSSI yang baru delapan bulan agak terlalu pagi, kiranya. Karena masalah-masalah dasar yang digariskannya toh belum semuanya mencapai sasaran. Lagi pula ia memulai pada Saat PSSI dalam krisis akibat gaya kepemimpinan PSSI masa lalu,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Delapan Bulan Bersama Ali Sadikin (1978).

Ali Sadikin saat menjadi Ketua Umum PSSI periode 1977-1981 (Sumber: Perpusnas)

Pertandingan yang sifatnya seremonial melawan tim luar negeri dipangkas oleh Ali Sadikin. Pertandingan itu justru membuat PSSI mengabaikan unsur penting dari jalannya pembinaan atlet, yakni adanya kompetisi. Namun, kepemimpinan Ali Sadikin bukan berarti jalan tanpa kritik.

Banyak kritikan dilontarkan kepadanya. Apalagi terkait prestasi tim nasional Indonesia yang tak banyak meningkat. Narasi Ali Sadikin berhasil membangun Jakarta, tapi tidak dalam membangun PSSI berkumandang.

Ali Sadikin yang sudah terbiasa memimpin menganggap semua kritik adalah masukan terbaik. Ia berani mengakui jika dirinya salah. Sebaliknya, ia menjalankan apa yang menurutnya benar. Termasuk ketika dirinya memulai memilih jalan sebagai oposisi pemerintah dan memilih bergabung dalam kelompok Petisi 50 pada 1980.

Ali Sadikin tak ingin PSSI yang dipimpinnya terkena imbas. Ia memilih untuk melepas jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI. Semuanya dengan menjaga muruah PSSI.

“Ali Sadikin, akrab disapa Bang Ali, adalah salah seorang tokoh Petisi 50 yang vokal, konsisten, terkenal. Kini ia berusia 74 tahun dan sedang menderita sakit ginjal. Ketika ia dan kawan-kawannya merintis Petisi 50, usianya 54 tahun. Baru saja menyelesaikan masa jabatan kegubernurannya yang sukses selamat dua masa dinas.”

“Kalau ia tidak menggerakkan Petisi 50, niscaya masih terbuka karier lebih tinggi, mungkin menteri, mungkin wakil presiden. Mungkin presiden? Tidak mungkin. Ia dipentalkan dari panggung politik resmi justru karena ia amat populer dan sangat mungkin menjadi pesaing calon presiden,” tutup Pendiri Harian Kompas, Jacob Oetama dalam buku Suara Nurani: Tajuk Rencana Pilihan 1991-2001 (2001).

*Baca Informasi lain soal SEPAK BOLA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya