JAKARTA - Sepeda pernah jadi penanda status sosial. Kaum bumiputra yang memiliki sepeda terbatas pada bangsawan dan priayi. Soekarno yang anak priayi turut melanggengkan hal itu. Ia mengidam memiliki sepeda sejak masih sekolah. Sepeda tak cuma alat transportasi. Bersepeda juga alat mengasah kepekaan dan pemikiran. Ideolagi marhaenisme, buahnya. Ideologi dari pemahaman derita rakyat ditemukan Bung Karno saat melintas dengan sepeda.
Kemunculan sepeda di Hindia-Belanda membawa perubahan sosial bagi mobilitas orang Eropa di Hindia-Belanda. Kedatangan sepeda di Nusantara disambut dengan antusias pada 1890-an. Setiap orang ingin membeli sepeda.
Tapi tidak semua punya kemampuan untuk membeli sepeda. Harga sepeda yang mahal jadi muasalnya. Sebuah sepeda setara dengan harga satu ons emas. Artinya, sepeda tak cuma memiliki nilai sebagai alat transportasi, tapi juga sebagai penanda status sosial.
Mereka orang Eropa yang kaya dan sangat kaya saja dapat membeli sepeda. Setelah orang Eropa, kaum yang mampu membeli sepeda adalah bangsawan dan priayi. Itupun terbatas kepada mereka yang memiliki gaji mencapai 135 gulden per bulannya.
Gaji sebanyak itu mampu membeli sepeda dengan merek terbaik. Sekalipun secara kredit. Mereka menyasar sepeda buatan luar negeri. Merek-merek sepeda yang banyak menjadi incaran kala itu antara lain: Fongers, Batavus, Sparta, Gazelle, Humber, Phillips, Raleigh, Goricke, dan Fahrrad.
“Pada masa penjajahan Belanda, gaya hidup priayi dan orang-orang yang bekerja di gubernemen dikenal eksklusif. Jika awalnya mereka menggunakan kuda atau kereta kuda sebagai alat transportasi, sepeda pun mulai digunakan. Bunyi tromol dan lonceng yang berdenting nyaring membuat mereka semakin bangga mengayuh sepeda,” tertulis dalam buku Piet Onthel (2011).
Soekarno yang anak seorang priayi juga memiliki minat lebih terhadap sepeda. Ia acap kali melihat semua teman-temannya yang bersekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya memiliki sepeda. Sedangkan ia tak punya sama sekali. Soekarno iri bukan main. Sebuah siasat mulai dipikirkannya. Menabung jadi ajian Soekarno.
Tiap uang jajan yang diberikan oleh orang tua atau sanak-familinya ditabung. Setelah uangnya terkumpul, Soekarno lalu membeli sebuah sepeda terbaik keluaran negeri Belanda. Sepeda itu bermerek Fongers yang warnanya hitam mengkilap. Sepada Fongers lalu menemani Bung Karno dalam tiap aktivitas. Dari Belajar hingga berkencan. Sepedanya dijaga dengan baik. Tidak sekalipun muncul keinginan untuk menggunakan sepedanya secara sembarang. Apalagi sampai lecet.
“Aku mulai menabung dan menabung terus dan ketika uangku terkumpul delapan rupiah, kubeli Fongers yang hitam mengkilat, sepeda keluaran Negeri Belanda. Aku merawatnya bagai seorang ibu. Ia kugosok‐gosok. Kupegang‐pegang. Kubelai‐belai. Pada suatu kali Harsono (anak dari H.O.S. Tjokroaminoto) yang berumur tujuh tahun secara diam‐diam memakai sepedaku itu dan menabrakkannya ke pohon kayu. Seluruh bagian mukanya patah. Harsono ketakutan.”
“Ia tidak berani mengatakan padaku, dan ketika aku mendengar berita itu, kusepak pantatnya dengan keras. Kasihan Harsono. Ia menangis. Ia berteriak. Berminggu‐minggu lamanya aku tergoncang oleh Fongersku yang hitam mengkilat itu yang sekarang sudah bengkok‐bengkok. Akhirnya aku dapat mengumpulkan delapan rupiah lagi dan membeli lagi sepeda yang lain tapi untuk Harsono,” cerita Soekarno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Menemukan Marhaenisme
Kebiasaan bersepeda makin masif dilakoni Bung Karno saat berkuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng --kini Institut Teknologi Bandun. Bersepada jadi mediumnya mendapatkan ilham berjuang untuk bangsa dan negara.
Terutama dengan menyerap aspirasi dari penderitaan kaum bumiputra. Dengan bersepeda, Seokarno sering kali berjumpa dengan banyak orang dari berbagai lapisan profesi. Petani, salah satunya.
Soekarno banyak mendengar curhatan petani terkait perlakuan Belanda yang menganggap mereka macam ‘sapi perah’ yang mampu menghasilkan keuntungan. Puncaknya, Soekarno berjumpa dengan seseorang petani gurem bernama Marhaen.
Perjumpaannya itu jadi momentum penting dari munculnya paham Marhaenisme. Sebuah paham yang kemudian dijadikan alat untuk membela nasib petani kecil, buruh pabrik, dan siapapun yang tak memiliki sarana produksi.
“Marhaenisme, sebagaimana dikatakan oleh Laifer (peneliti), adalah sebuah ideologi alternatif. Dengan teori sosio-nasionalisme, marhaenisme adalah sebuah aliran kebangsaan berdasarkan kondisi empiris masyarakat Indonesia, yang bukan saja terdiri dari kaum petani, tetapi juga merupakan gambaran dari masyarakat multi-etnis dan multi-budaya. Dengan teori sosiodemokrasi, marhaenisme bukan saja menyatakan dirinya sebagai suatu jenis sosialisme, tetapi sosialisme yang juga menganut demokrasi.”
“Boleh dikatakan, marhaenisme adalah interpretasi orang Indonesia mengenai paham sosialisme-demokrasi. Lagi pula, sosialisme ala Indonesia itu bukan hanya marxisme, tetapi juga, menurut Bung Hatta, merujuk pada ajaran Islam dan nilai-nilai tradisional Indonesia. Dan yang terpenting adalah marhaenisme menolak ateisme, karena, menurut Bung Karno, marhaenisme itu mendasarkan diri pada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,” terang M. Dawan Rahardjo dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Marhaenisme (1999).
Teori perjuangan terus diperjuangkan Bung Karno hingga Indonesia sampai kepada pintu gerbang kemerdekaan. Nyaris tiada yang berubah dari sosok Bung Karno. Ia tetap gemar mencari inspirasi sambil bersepeda. Tradisi itu dilakoninya saat dibuang ke Bengkulu. Ia sering bersepada untuk mendengarkan suara rakyat.
Tak jarang pula, Ia dan fatmawati sering berlomba-lomba dalam naik sepeda. Kebiasaan itu berkembang hingga Soekarno menjadi Presiden Pertama Indonesia. Dalam salah satu kunjungan ke Agra, India, Soekarno melihat petani naik sepeda. Karenanya, muncul keinginan untuk menjajal kembali sepeda dengan fatmawati. Dan keduanya keliling Agra dengan bersepeda. Sekalipun sesaat.
“Dan Ilham menggenangi pendalaman kepada Soekarno kala ia duduk di atas sadel sepeda. Sepeda pula yang mempertemukan dia dengan Marhaen, yang kemudian memberi pemahaman baru tentang rakyat. Akankah pejabat negeri ini memahami derita rakyat sebagaimana Soekarno jika mereka setiap melintas di jalan-jalan menggunakan mobil mewah dengan pengawalan ketat?”
“Zaman memang berubah. Pada Era Soekarno setidaknya petani masih punya secuil lahan. Kini, banyak petani sama sekali tak punya lahan garapan. Bedanya lagi, jika dulu yang mampu naik sepeda adalah priayi dan kaum berpunya, kini pesepeda kebanyakan kaum marhaen atau setidaknya yang dianggap miskin,” tertulis dalam buku Jelajah Sepeda Kompas: Melihat Indonesia dari Sepeda (2010).
*Baca Informasi lain soal SOEKARNO atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.