Mayat-mayat korban, terutama yang bertato sengaja ditebar di ruang publik. Demi menimbulkan efek jera, katanya. Petrus kemudian jadi alat Orba dalam menyebar ketakutan sekaligus membungkam suara sumbang. Angka kriminalitas di bawah pemerintahan Orba sedang tinggi-tingginya pada 1983. Kala itu, perampokan dan penjamberetan merajalela.
Demi mendapatkan uang, mereka tak saja mengancam korbannya, tapi juga melukai, bahkan membunuh. Kehadiran kelompok penjahat dan preman tak cuma muncul di Jakarta, melainkan meluas hingga pelosok Nusantara. Sedang peran polisi dalam menindak kriminal tak signifikan. Di tengah kekalutan itu rezim Orba melancarkan operasi Celurit.
Awalnya operasi itu dimulai di Yogyakarta pada Maret 1983. Dalam pelaksanaannya, Kodam Jaya langsung berada di bawah komando Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkomkantip) Soedomo mulai menindak pelaku kejahatan, sembari menginventarisir nama pelaku. Para korban pun berjatuhan.
Mayat-mayat mereka ditemukan oleh warga di tempat-tempat umum, seperti semak-semak, emperan toko, hingga bantaran kali. Narasi kekerasan dengan ‘main hakim’ sendiri itu semakin menguat karena mendapatkan restu langsung dari pemimpin Orba, Soeharto.
"Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak.”
“Lalu mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya, orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya," kata Soeharto sebagaimana ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989).
Meski begitu, operasi petrus awalnya dilakukan secara rahasia, tapi sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga. Penegakan keadilan ala Orba langsung memunculkan pro dan kontra di kalangan rakyat Indonesia. Sedang dunia internasional terus mengecam pelanggaran Orba lewat beragam organisasi HAM.
Soeharto tetap pada pendiriannya bahwa Petrus sengaja disiapkan karena rakyat kecil semakin rentan menjadi korban kriminal. Ia berkelakar pemerintah tak pernah sembarang dalam meringkus penjahat atau preman dengan senjata api. Mereka yang melawan baru ditembak. Tapi kenyataan justru sebaliknya.
Orang-orang yang bertato –sebagaimana diwartakan banyak media massa—sudah cukup menjadi bukti jikalau orang bertato diidentifikasi sebagai penjahat, sehingga layak ditembak. Peristiwa itu kemudian jadi awal mula stigma orang bertato dianggap sebagai kriminal, yang setidaknya masih bertahan hingga hari ini.
“Ia (Soeharto) sangat lihai membungkus ambisi dengan menonjolkan citranya sebagai anak desa, pakai kaus oblong di rumah, mudah senyum, suka beternak dan memancing. Namun, di balik senyumnya itu ia mengetahui pembunuhan ribuan orang jalanan yang ditembak petrus (pembunuh misterius) yakni pénembakan terhadap para preman atau residivis kriminal yang mayatnya ditaruh di tempat umum antara tahun 1983-1985 yang jumlah mencapai 5.000 jiwa. Mereka yang terbunuh mempunyai ciri umum yaitu memiliki tato di tubuhnya,” tulis Asvi Warman Adam dalam buku Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi dan Pelaku (2009).
Indikasi petrus jadi alat politik
Operasi Petrus tak melulu dijadikan Orba sebagai alat memberantas kriminalitas di pelosok negeri. Dalam pada itu, Petrus konon dijadikan alat politik untuk membungkam dan mengecam lawan politik dari The Smiling General. Narasi itu karena Orba dengan Petrusnya sengaja menampilkan diri sebagai sebuah kekuatan besar yang siap melenyapkan segala bentuk ancaman yang mengarah pada upaya pelemahan peran pemerintah di masyarakat.
“Yang tidak banyak diketahui waktu itu, penembakan misterius tersebut ditengarai juga sebagai mempunyai dimensi politik. Konon banyak penjahat yang dibantai itu tadinya adalah para pelaku kriminal yang dibina opsus (operasi khusus) pimpinan Ali Murtopo. Kelompok kriminal yang di Jawa Tengah dikenal sebagai 'gali' (gabungan anak liar) tersebut terutama dipakai pada kampanye pemilihan umum untuk meneror saingan-saingan politik pemerintah, terutama kekuatan Islam politik,” jelas Salim Said dalam buku Menyaksikan 30 tahun pemerintahan otoriter Soeharto (2016).
Operasi petrus juga menunjukkan fakta kelompok kriminal maupun preman perkotaan ditempatkan seperti preman atau jago pada masa penjajahan. Yang mana, para kriminal itu memiliki posisi strategis, namun rawan. Peneliti asal Australia, Ian D. Wilson menyebutkan posisi kerawanan para preman dan gangster pada akhirnya tetap bergantung kepada ‘beking’ jejaris politik yang berafiliasi bukan hanya sekedar dengan negara, tetapi Soeharto.
Nasib buruk justru didapat kelompok kriminal yang bekerja secara sendiri-sendiri atau dalam geng kecil tanpa suatu pola yang disepakati oleh penguasa, mereka dalam posisi rentan. Posisi itulah yang oleh Ian D. Wilson sebutkan telah dirasakan oleh para anggota ‘kebun Binatang’ Ali Murtopo.
Sebab, kunci utama agar terbebas dari operasi “bersih-bersih” ala orde baru adalah kesetiaan kepada negara, militer, dan tentu saja Soeharto. Ormas Pemuda Pancasila (PP) muncul jadi contoh terbaik. PP kala itu siap sedia membantu selama negara butuhkan.
“Preman lokal dalam hal ini merupakan mikrokosmos negara, yang bisa turut menjelaskan mengapa kemunculan para pengusaha kekerasan otonom pada penghujung 1970-an ini merupakan sesuatu vang tidak bisa diperbolehkan oleh Soeharto. Kunci bertahan hidup bagi preman adalah berorganisasi dan pernyataan kesetiaan penuh kepada Golkar, militer, dan presiden. Organisasi-organisasi lebih besar dengan jangkauan nasional seperti Pemuda Pancasila selamat dari masa-masa Petrus nyaris tak tersentuh,” tutup Ian D. Wilson dalam buku Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2018).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.