JAKARTA - Masa pendudukan Jepang (1942-1945) adalah periode menentukan dalam sejarah bangsa. Negeri Matahari terbit berhasil mengusir penjajah Belanda. Jepang dianggap ‘juru selamat’ lepasnya Indonesia dari cengkraman Belanda. Simpati dari kaum bumiputra, termasuk tokoh dan ulama didapat Jepang. Di antara semuanya, Soekarno yang banyak ketiban sial. Ia dianggap budak jepang, ‘mandor romusha’, biang penderitaan rakyat. Benarkah seperti itu?
Keruntuhan dominasi pemerintah kolonial Belanda oleh Jepang di Nusantara telah diramal jauh-jauh hari. Selain karena pasukan Jepang telah memata-matai kekuatan Belanda bertahun-tahun, penyebab keruntuhan lainnya karena ulah Belanda sendiri. Di dalam kebijakan Belanda, kepentingan kaum bumiputra selalu diabaikan.
Lagi pula, antara pemerintah kolonial dan kaum bumiputra cukup berjarak. Sampai-sampai, kaum bumiputra ditempatkan sebagai warga negara kelas tiga. Andai kata sikap Belanda lebih peduli, sudah tentu segenap daripada kaum bumiputra ikut berjuang membantu melawan Jepang. Namun, hal itu tak terjadi.
Dendam kesumat kaum bumiputra kepada Belanda sudah meluap-luap. Euforia itu dimanfaatkan oleh Jepang untuk mendapatkan dukungan luas dari tokoh nasional: Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir. Bahkan, Jepang tak lupa mengambil hati dan mengajak kolaborasi kaum ulama (kiai-kiai), terutama di kalangan ulama pedesaan.
“Kombinasi disiplin fisik, militer, dan rohani orang-orang Jepang menyentuh perasaan yang responsif di kalangan masyarakat pesantren. Pada bulan Juli 1943, pihak Jepang mulai membawa kelompok-kelompok kiai yang berjumlah sekitar 60 orang ke Jakarta untuk mengikuti kursus-kursus latihan selama kurang lebih sebulan.”
“Sampai bulan Mei 1945 lebih dari seribu orang kyai telah menyelesaikan kursus-kursus tersebut. Di dalamnya mereka mendengarkan beberapa ceramah tentang masalah-masalah agama, tetapi terutama diindoktrinasi dengan propaganda lepang,” ungkap M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2008).
Strategi Jepang dengan mengistimewakan Islam begitu ampuh. Apalagi, Jepang sedikit lebih fleksibel menerapkan aturannya kepada kaum ulama. Aturan-aturan seperti kewajiban membungkukkan badan ke arah Kaisar di Tokyo dan melarang penggunaan bahasa Arab di sekolahan dihapus.
Dalam membentuk pasukan sukarela pun begitu. Para perwira Pembela Tanah Air (PETA) banyak berasal dari kalangan ulama, mantan guru, dan pejabat pemerintah. Pun dukungan luas didapat dari kalangan ulama ketika Jepang mencoba mengontrol Islam dengan didirikannya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada Oktober 1943.
“Alih-alih para politisi modern perkotaan, kepemimpinannya (Masyumi) dipegang tokoh-tokoh dari sistem pendidikan non-politik Muhammadiyah dan Kiai Haji Hasyim Asy’ari dari organisasi tradisionalis berbasis pedesaan Nahdlatul Ulama (NU)."
"Pada Januari 1944 Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa) dibentuk di bawah kepemimpinan Soekarno dan Hasyim Asy’ari, diperuntukkan bagi siapa pun yang berusia di atas 14 tahun tetapi tentu saja gerakan ini tetap di bawah pengawasan Jepang. Mereka lalu memperkenalkan Soekarno sebagai pemimpin negara Indonesia di masa depan,” tulis M.C. Ricklefs, Bruce Lockhart, Albert Lau, Portia Reyes, dan Maitrii Aung-Thwin dalam buku Sejarah Asia tenggara: Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer (2013).
Soekarno ‘mandor’ Romusha?
Momentum kolaborasi antara Jepang dan tokoh-tokoh nasional jadi polemik, setidaknya hingga hari ini. Sekalipun terdapat sederet kalangan tokoh politik dan ulama yang berkolaborasi dengan Jepang, keberadaan Soekarno di pihak Jepang adalah yang paling diingat. Soekarno dianggap telah menjadi aktor yang paling menyengsarakan rakyatnya sendiri.
Semua itu berkat peran Bung karno yang pernah menggerakan rakyat untuk bergabung sebagai sedadu-serdadu ekonomi (Romusha). Kehadirannya membantu Jepang kemudian tak saja membawa luka mendalam, tapi menjadi ajian lawan politiknya dalam menjatuhkan Soekarno dikemudian hari.
Musso dari Partai Komunis Indonesia (PKI) Indonesia, misalnya. Dalam upaya menjatuhkan Bung karno, ia sering mengungkit peran Soekarno ketika menjadi pemimpin yang menggelorakan ajakan Romusha. “Walaupun Musso dalam pidato jawabannya mengatakan bahwa Soekarno adalah budak-budak Jepang, penjual Romusha, dan kini menjual rakyat Indonesia kepada Imperialisme Amerika. Namun, yang terjadi selanjutnya, ternyata PKI tidak mendapat dukungan massa untuk mengadakan pemberontakan massa agar berhasil mencetuskan pemberontakan umum.”
“Suatu usaha sia-sia belaka, hal yang dikatakan Musso tentang Soekarno ternyata tidak mendapat tempat dalam pikiran rakyat. Jelasnya, bangsa Indonesia lebih suka atau menaruh kepercayaan Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno-Hatta, tidak kepada Musso dengan PKI-nya,” pungkas Peter Kasenda dalam buku Bung Karno Panglima Revolusi (2014).
Maka itu, tiap ada upaya menjatuhkan Soekarno, narasi Soekarno ‘mandor’ Romusha tak jarang menjadi bagian dari usaha menurunkan pamor Bung Besar. Bung Karno tak ingin rakyatnya berspekulasi terlalu jauh. Ia tak menampik perannya pernah berkerja sama dengan Jepang. Akan tetapi, semua itu dilakukan Soekarno sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Dalam artian, kerja sama yang digagas Bung Karno dengan Jepang tak selamanya buruk. Kaum nasionalis jadi diberikan banyak ruang untuk menggelorakan semangat nasionalisme dari mimbar ke mimbar. Demikian pula, Bung Karno yang makin banyak memiliki waktu mengunjungi rakyat diberbagai wilayah Nusantara untuk menggelorakan nasionalisme tanpa rasa takut. Yang mana, hal itu tidak dapat dilakukan pada masa penjajahan Belanda.
"Itulah sebabnya mengapa setiap orang yang cerdas membenci Belanda. Orang Belanda mengharapkan kerjasama kita, akan tetapi tidak sedikit pun memberi kesempatan pada kita yangmenguntungkan dari kerjasama itu. Kalau saya mengingat‐ingat perangai Belanda yang munafik, saya mau muntah."
"Apakah yang dikerjakan Belanda untuk kita? Nol besar! Saya menyadari, tentu ada orang yang menentang saya, karena saya bekerjasama dengan Jepang. Tapi, apa salahnya? Memperalat apa yang sudah diletakkan di depan saya adalah taktik yang paling baik. Dan itulah sebabnya mengapa saya bersedia menerimanya," tutup Soekarno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams berjudul Bung karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
*Baca Informasi lain soal SOEKARNO atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.