JAKARTA - Tiap kaum bumiputra setidaknya pernah mengalami perundungan oleh anak-anak Belanda: fisik maupun verbal. Soekarno bahkan pernah merasakannya. Ejekan inlander, goblok, dan payah sudah biasa baginya. Tak jarang Bung Karno naik pitam diejek Belanda. Perkelahian tak terhindarkan. Kadang kala Bung Karno menang. Kadang pula kalah. Tapi siapa sangka perundungan itu memantik semangat Bung Besar memerdekaan Indonesia.
Penjajahan Belanda adalah periode yang menyakitkan bagi kaum bumiputra. Selain meninggalkan bekas luka yang mendalam, kehadiran Belanda juga menempatkan posisi kaum bumiputra di tanah airnya dalam tingkatan paling rendah. Dalil pengelompokkan tiga tingkatan warga Hindia-Belanda pada 1854 jadi muaranya. Semenjak itu, secara paripurna orang Eropa (kulit putih) ditempatkan sebagai warga nomor satu. Timur asing, orang Arab atau China jadi warga nomor dua. Sednag kaum bumiputra berada pada warga negara nomor tiga.
Sentimen rasis kepada kaum bumiputra terus berlanjut. Rasisme itu muncul dalam segala bidang. Pemerintah kolonial Belanda mulai melarang seorang bumiputra mengikuti cara hidupnya orang Belanda – dari berpakaian hingga hiburan. Bumiputra juga dilarang menempati kelas utama ketika naik trem atau kereta api.
Belanda pun mengeluarkan dua kitab hukum terpisah dan berbeda antara kaum bumiputra dan orang Eropa. Segala bentuk hak istimewa tersebut menjadikan orang Belanda hidup laksana raja di Hindia-Belanda. Padahal, banyak orang belanda yang di kampung halamannya justru berasal dari golongan jelata.
“Di Belanda kebanyakkan mereka termasuk dalam kelas miskin dan mereka datang ke Hindia sebagai pelaut dan serdadu, berharap memperoleh keberuntungan di Asia. Hanya sedikit yang berhasil, dan sebagian besar dari mereka, begitu mereka menjadi pejabat tinggi di timur jauh, pulang ke Belanda tidaklah menarik.”
“Di Asia mereka hidup seperti raja; di Belanda mereka (hanya) warga biasa, tersingkir dari kasta regent, penguasa oligarki yang mengontrol republik. Lagi pula, banyak orang Belanda secara legal mengawini perempuan Indonesia, dan untuk alasan sosial para direktur itu berusaha mencegah imigrasi orang Indonesia ke Eropa. Ada pula yang punya kepentingan tetap berada di timur. Keturunan para blijver (orang Belanda yang menetap) ini menjadi inti penduduk Batavia,” tulis Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (1959).
Dalam artian, setiap orang Belanda yang datang ke Hindia akan mengalami suatu transformasi. Derajatnya tiba-tiba naik ketika melangkahkan kaki ke Nusantara. Semua itu berkat dasar kolonialisme yang telah ditancapkan jauh sebelum Kerajaan Belanda mengambil alih Nusantara dari tangan maskapai dagang VOC yang gulung tikar. VOC secara tidak langsung telah mewarisi imej kulit adalah seorang pemimpin, majikan, atau orang penting di tanah Nusantara.
Superioritas yang didapat orang Belanda menjadikan mereka sering menganggap rendah kaum bumiputra. Bahkan sejak masih berada dalam kain bedung, anak-anak Belanda sudah dididik untuk mengejek anak-anak bumiputra. Tak jarang pula perundungan dilanjutkan aksi fisik lewat perkelahian-perkelahian.
“Yang tidak berubah drastis di Hindia adalah bagaimana warna kulit terus menjadi pembeda kategori-kategori sosial. Selama akhir abad ke-9 dan awal abad ke-10 di Jawa prakolonial, ideal-ideal kecantikan sangat mengangungkan warna kulit terang. Sepanjang abad ke-17 dan ke -18, catatan kesaksian orang-orang Eropa menstereotipkan pribumi Hindia berkulit gelap sebagai pemalas, bodoh, dan lacur,” tulis L. Ayu Saraswati dalam buku Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (2017).
Perundungan Soekarno
Perundungan oleh anak-anak Belanda dirasakan oleh semua tokoh bangsa. Mereka dianggap remeh, dianggap bodoh hanya karena terlahir sebagai bumiputra. Dalam pada itu, Soekarno tak luput dari perundungan anak-anak Belanda.
Sejak kecil Bung Karno dikenal sebagai orang yang menentang keras dominasi golongan ‘kulit putih.’ Soekarno menanamkan bahwa nasibnya sudah digariskan untuk menaklukkan. Bukan ditaklukkan. Sikap itu yang membuat Bung Karno mendapat perundungan secara verbal dan fisik.
Salah satu pengalaman perundungan itu didapat oleh Bung Karno saat menembus masuk suatu perkumpulan sepak bola. Kala itu, sepak bola tidak dimainkan oleh kaum bumiputra, Kalaupun ada maka sangat terbatas. Sebab, sepak bola dianggap sebagai permainan kelas atas, permainannya kaum kulit putih.
Bung Karno mencoba menembus batas-batas itu. Ia dapat bermain dalam perkumpulan sepak bola walau hanya sesaat. Semuanya karena ejekan yang diterima oleh Bung Karno lebih banyak daripada waktu bermainnya dalam perkumpulan sepak bola.
"Hei... kauuuu Bruine Hei, anak kulit coklat goblok yang malang ... bumiputera ..... inlander ..... anak kampung Hei, kamu lupa memakai sepatu,” kenang Soekarno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Demikian pula dengan perundungan yang diterima oleh Bung Karno saat mulai menimba ilmu di Hoogere Burgerschool (HBS), Surabaya. Total HBS memiliki murid sebanyak 300 orang. Hanya dua diantaranya kaum bumiputra. Alhasil, tiap hari Bung Karno selalu mendapatkan perundungan dari verbal hingga fisik oleh anak-anak Belanda.
Tak terima mendapat perundungan terus-menerus, Bung Karno naik pitam. Perkelahian pun tak terhindarkan hampir setiap hari. Kadang pula ia menang. Kadang juga ia kalah. Intinya, hampir tiap hari dirinya pulang dalam kondisi babak belur. Itupun pelaku perundungan sering kali dibela oleh empunya sekolah.
Bung Karno tak kehabisan akal. Ia yakin bahwa dirinya masih dapat bersaing dengan anak-anak Belanda lewat bidang pelajaran. Namun, jauh panggang dari api. Anak bumiputra lagi-lagi tak diberikan ruang menjadi lebih unggul dibanding anak-anak Belanda.
“Akan tetapi sekalipun kami bertekun siang dan malam, nilai yang didapat oleh anak‐anak Belanda pasti lebih tinggi daripada yang diterima oleh anak Indonesia. Nilai kecakapan diukur dengan angka. Angka 10 yang tertinggi dan angka enam adalah batas nilai cukup dan inilah kebanyakan yang diterima oleh inlander. Kami mempunyai suatu pameo mengenai angka‐angka ini: angka sepuluh adalah untuk Tuhan, sembilan untuk profesor, angka delapan untuk anak yang luar biasa, tujuh untuk Belanda dan enam untuk kami. Angka sepuluh tidak pernah diterima oleh anak bumiputera,” terang Bung Karno.
Pengalaman perundungan nyatanya menempa semangat Bung Karno membawa Indonesia lepas dari belenggu penjajahan Belanda. Tiap kali mendapat perundungan Bung Karno tak patah semangat. Malah melawan. Terbukti ketika Bung Karno mulai beranjak dewasa, ia tampil di tengah kaum bumiputra dari mimbar-mimbar untuk membakar semangat kemerdekaan. Lantaran itu Bung Karno jadi bukti nyata kaum bumiputra menggelorakan perlawanan hingga Indonesia merdeka.
“Demikian pula, Soekarno adalah penghancur mitos bahwa seoarang inlander tidak dapat menjadi penguasa, bahkan menjadikan Indonesia merdeka. Seperti hanyanya mitos Napoleon yang tidak terikat pada perubahan rezim apapun, demikian pula mitos Soekarno tak terikat pada realita – khususnya realita keadaan aktual, seperti naik-turunnnya harga minyak, kepadatan penduduk, keadaan internasional dan seterusnya. Kita, seperti masyarakat lain, selalu senang bermimpi,” tutup Sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).
*Baca Informasi lain soal SOEKARNO atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.