Bagikan:

JAKARTA - Indonesia terlalu lunak pada imperialisme Belanda di Irian Barat. Soekarno sudah tak tahan. Irian Barat harus dibebaskan sesegera mungkin. Di Palembang, Sumatra Selatan, 10 April 1962, Soekarno menjanjikan pembebasan Irian Barat demi menjadikannya bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Irian Barat, yang sekarang menjadi Provinsi Papua Barat adalah kesayangan Soekarno. Soekarno bahkan menjabat Panglima Besar Komando Tertinggi Irian Barat. Bagi Bung Karno, persoalan merebut Irian Barat (Papua) adalah urusan personal nan krusial. Tanpa Irian Barat, Nusantara tak akan sepenuhnya menjadi Indonesia.

Tak sekali dua kali Bung Karno mengungkap kecintaan terhadap Irian Barat. Hampir dalam tiap momentum Bung Karno selalu menunjukkan kecintaan akan Irian Barat. Bahkan Bung Karno sempat menganalogikan Irian Barat layaknya bagian dari tubuh, yang jika salah satu bagian telah hilang, maka keseimbangan tak akan didapat.

“Dibandingkan dengan wilayah kepulauan kami, Irian Barat hanya selebar daun kelor, tetapi Irian Barat adalah sebagian dari tubuh kami. Apakah seseorang akan membiarkan salah satu anggota tubuhnya diamputasi tanpa melakukan perlawanan?” ungkap Bung Karno, dikutip Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

Soekarno (Sumber: geheugen.delpher.nl)

Segala sesuatu pada akhirnya terpusatkan ke perjuangan Irian Barat. Saking pentingnya Irian Barat, Rosihan Anwar mengungkap Bung Karno sampai melupakan masalah harga-harga barang yang kala itu meningkat. Satu sisi, Bung Karno melakukan hal itu untuk mewujudkan mimpi supaya Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia. Sisi lainnya, rakyat Indonesia lainnya dalam kondisi merana.

“Sejak beberapa hari ini istri saya pening mencari roti untuk dimakan anak-anak di sekolah. Karena tepung tidak ada, maka toko-toko pembuat roti kacau rencana kerja mereka. Khalayak merasakan akibatnya. Roti tawar sulit diperoleh dan kalau ada harganya sepotong Rp30 sampai Rp35 padahal beberapa bulan lalu harganya cuma Rp10 sepotong,” cerita Rosihan Anwar.

Langkah Bung karno ini juga digambarkan oleh Sukawarsini Djelantik dalam buku Asia-Pasifik: Konflik, Kerja Sama, dan Relasi dan Antarkawasan (2015), sebagai bentuk kepentingan politik dan ekonomi. Karena Irian Barat negara kaya sumber daya alam (SDA), Indonesia kemudian berkepentingan secara ekonomi. Sebagaimana diketahui, Bung karno tahu Irian Barat tak hanya menyimpan minyak bumi, tetapi juga uranium. Di zaman atom seperti saat kala itu, temuan tersebut begitu penting.

Dimulainya upaya pembebasan Irian Barat

Monumen Pembebasan Irian Barat (Detha Arya Tifada/VOI)

Upaya pembebasan Irian Barat sendiri bermula ketika Belanda menolak mengakui Irian Barat sebagai bagian NKRI. Sikap itu disampaikan Belanda dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB), 23 Agustus-2 November 1449. Delegasi Indonesia dan Belanda berselisih pandang. Indonesia meyakini Irian Barat adalah bagian dari Indonesia Timur yang masuk dalam wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS).

Sementara, Belanda berpendapat Irian Barat tak memiliki hubungan dengan wilayah Indonesia yang lain. Karenanya Belanda ingin Irian Barat diberi status khusus. Arsip Nasional Indonesia (ANRI) mencatat dua pihak akhirnya sepakat menyelesaikan masalah lewat negosiasi lanjutan antara Kerajaan Belanda dan RIS.

Negosiasi dilakukan satu tahun setelah penyerahan kedaulatan, 27 Desember 1949. Namun perundingan soal status Irian Barat tak juga menemui titik terang, meski satu tahun telah berlalu sejak pengakuan kedaulatan Belanda. ANRI juga merekam dua pertemuan, yang digelar di Jakarta pada Maret 1950 dan di Den Haag pada Desember 1950.

Dua pertemuan sama-sama beragendakan pengumpulan fakta. Hasilnya dilaporkan ke Uni Indonesia-Belanda. Lagi-lagi buntu karena dua pihak melaporkan hasil berbeda. Indonesia pun kemudian menempuh jalur konfrontasi politik-ekonomi. Indonesia sempat memutus relasi Uni Indonesia-Belanda pada 15 Februari 1956.

Indonesia juga membatalkan persetujuan KMB secara sepihak pada 27 Maret 1956. Selain itu Indonesia membentuk Provinsi Otonomi Irian Barat pada 15 Agustus 1956. Langkah lain diambil dengan menasioalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda, mulai dari maskapai penerbangan, pelayaran, perusahaan gas, pabrik gula, hingga bank.

Belanda membalas aksi Indonesia dengan meningkatkan kekuatan militer. Puncaknya, Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda pada 17 Agustus 1960. Pasca-putusnya hubungan itu, Soekarno yang juga menjabat Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia makin gencar melatih dan mempersiapkan srategi militer.

Pemerintah Indonesia juga mengirim anak-anak muda dari berbagai daerah di Papua pada 1961. Langkah itu diambil sebagai respons pengusiran masyarakat pro-NKRI oleh Belanda. Tak cuma mengusir, pada periode 1950-1960, Belanda juga mendatangkan masyarakat yang anti-Indonesia ke Irian Barat.

Papua di masa lampau (Sumber: Commons Wikimedia)

Indonesia juga mengambil langkah diplomatis ke sejumlah negara sahabat, mengumpulkan dukungan komunitas internasional. Hasil signifikan didapat. Dari Uni Soviet, Indonesia mendapat senjata berat hingga pesawat peluncur bom jarak jauh, Tupolev-16 dan kapal penjelajah, Sverdlov, yang belakangan dinamai KRI Irian.

Pada 1961, Indonesia membentuk Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat (KOTI). Soekarno, sebagai panglima tertinggi juga mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora).

  1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buata Belanda Kolonial
  2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia
  3. Bersiaplah mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.

Persetujuan New York

Ketegangan dua negara makin jadi setelah Belanda menyerang kapal Indonesia di Laut Arafuru. Komodor Yos Sudarso bersama seluruh awaknya gugur. Soekarno kemudian memerintahkan Brigjen Soeharto yang memimpin Komando Mandala Pembebasan Irian Barat untuk melangsungkan tiga tahap operasi militer: penyusupan, serangan terbuka, dan peneggakan kekuasaan penuh di Irian Barat.

Gugurnya Yos Sudarso memertegas sikap Indonesia agar Irian Barat secepatnya dibebaskan. Namun, sebelum pertempuran terjadi, Presiden AS John F. Kennedy lebih dulu memerintahkan Jaksa Agung Robert F. Kennedy untuk mempertemukan dua pihak.

Perundingan itu juga dimotori diplomat AS, Ellsworth Bunker. Tujuan dari diskusi itu adalah penyelenggaraan perundingan di New York pada 15 Agustus 1962 dan menghasilkan Persetujuan New York.

Potongan lembar Persetujuan New York (Sumber: Commons Wikimedia)

Selain AS, Persetujuan New York juga difasiliasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memerintahkan Belanda menyerahkan pemerintahan Irian Barat ke PBB-Otoritas Eksekutif Sementara PBB (UNTEA). UNTEA kemudian secara resmi mengembalikan kedaulatan Indonesia di Irian Barat pada 1 Mei 1963.

Ada syaratnya. Indonesia harus menggelar referendum atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), dengan tenggat waktu akhir 1969. Pepera pun berlangsung 14 Juli 1969 di Merauke dan berakhir 4 Agustus 1969 di Jayapura. Hasilnya, Irian Barat tetap jadi bagian Indonesia.

Hasil Pepera dilaporkan oleh Indonesia ke Sidang Umum ke-24 PBB. PBB menerima seluruh hasil. Setelahnya Indonesia menetapkan 1 Mei 1963 sebagai Hari Peringatan Pembebasan Irian Barat. Peringatan ditujukan untuk mengenang pengorbanan para patriot yang gugur sekaligus menegaskan bahwa Papua dan Papua Barat selamanya bagian NKRI.

*Baca Informasi lain soal PAPUA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada juga Yudhistira Mahabharata.

MEMORI Lainnya