JAKARTA - Raden Ajeng Kartini dan Cut Nyak Dhien adalah sosok wanita pejuang Indonesia. Keduanya sama-sama membawa pesan kesetaraan dan menunjukkan keandalan wanita dalam segala bidang. Perbedaan antara keduanya hanya dari segi publisitas. Kartini, tak mungkin dipungkiri memiliki popularitas yang lebih mentereng. Apa yang melandasi ini?
Satu hal paling mendasar kenapa Kartini lebih unggul dari Ratu Perang Aceh, Cut Nyak Dhien. Oleh Belanda, Kartini diberi ruang. Sementara, Cut Nyak Dhien “dibungkam”. Dalam banyak kesempatan status Kartini sebagai ‘pionir’ kesetaraan gender banyak dipertanyakan. Tak jarang, Kartini dibandingkan dengan sederet tokoh wanita Indonesia lainnya.
Nama-nama yang sering disebut, antara lain Malahayati (1550-1615), Dewi Sartika (1884-1947), hingga Cut Nyak Dhien (1848-1908). Nama terakhir jadi yang paling erat diperbandingkan dengan Kartini. Kami tak akan membawa Anda pada perbandingan konservatif mengenai corak perjuangan keduanya yang pada dasarnya memang berbeda: satu angkat senjata, lainnya menoreh pena. Kita selami lebih dalam.
Berdasar sejarah, Cut Nyak Dhien adalah sosok yang tak kalah gesit dalam peta perjuangan kaum perempuan. Cut Nyak Dien adalah seorang Islam, ibu, dan pejuang. Ia bahkan mengangkat senjata melawan pemerintah kolonial Belanda. Cut Nyak Dhien digambarkan sebagai pahlawan Indonesia yang berani sekaligus tak mudah tunduk. Kehebatannya di medan perang telah diceritakan militer Belanda secara turun temurun.
Tambah istimewa lagi. Sebuah novel karya Madelon Szekely Lulofs berjudul Tjoet Nya Din, de Geschiedenis van Atjehse Vorstin (1948) --atau versi Indonesianya, keluaran penerbit Komunitas Bambu, Cut Nyak Din: Kisah Ratu Perang Aceh (2010)-- menggaungkan popularitasnya. Tokoh pers dan juga sejarawan, Rosihan Anwar mengamini hal itu.
“Di pihak Aceh disebutkan pasangan suami-istri Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Jelte rep (wartawan) menamakan mereka: een national heldenpaar (pasangan pahlawan nasional). Cerita tentang Cut Nyak Dhien menjadi tambah terkenal lantaran ditulis sebagai novel oleh pengarang wanita Belanda Madelon Szekely-Lulofs. Novel itu kemudian dijadikan film oleh sutradara Eros Djarot (1985) dengan dibintangi oleh Christine Hakim sebagai Cut Nyak Dhien dan Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 1 (2004).
Budayawan Aceh, Tungang Iskandar turut menyebut Cut Nyak Dhien sebagai sosok yang berpengaruh amat besar dalam sejarah Indonesia. Perempuan berayahkan panglima perang bernama Nanta Setia itu disebut sebagai sosok yang amat lekat dengan isu kesetaraan. Wanita kelahiran Lampadang, Aceh Besar, 1848 berhasil membuktikan kesetaraan peran pria dan wanita dalam perjuangan.
“Kesetiaannya kepada agama memang bukan hanya harus dimiliki oleh laki-laki. Karena laki-laki dan perempuan punya peran yang sama dalam perjuangan,” kata Tungang kala dihubungi VOI beberapa waktu lalu.
Beralih ke Kartini. Kartini laksana aktivis sekaligus pemikir yang jauh melampaui zamannya. Boleh jadi Kartini tak berorasi ataupun memanfaatkan mimbar untuk memikat massa. Tetapi buah pikirannya --lewat surat-surat kepada sahabatnya-- menggerakkan banyak orang, terutama kaum wanita bumiputra.
Surat-surat itu kemudian dibukukan dengan judul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap, Terbitlah Terang). Dalam surat itu, Kartini banyak mencatat ragam hal, antara lain kesetaraan gender, feodalisme, simpatinya kepada etnis Tionhoa, dan hubungan antar bangsa.
Sastrawan Goenawan Mohamad menyebutkan hal yang membuat kisah Kartini menjadi penting bukan karena heroismenya, melainkan kegagalannya. Narasi itu diungkapnya karena Kartini adalah wanita yang mencoba menunggang gelombang –khas suara generasi muda—tapi terjabak dalam dalam khasanah yang disusun generasi tua. Yang mana, tradisi menentukan hampir segalanya. Kartini menolak poligami –tapi menjadi korban dari tradisi itu, misalnya.
“Pandangan bahwa ‘tua itu baik’ itu bahkan berlanjut sampai hari ini. Dalam nyanyian nasional yang memujanya, Kartini dipanggil ‘Ibu kita’, bukan ‘sang pelopor’. Citranya tak lagi sebagai bagian dari sebuah pergerakan progresif, melainkan sebagai pengayom struktur yang konservatif. Tak mengherankan bila Hari Kartini adalah hari ketika para perempuan berpakaian adat, bukan berpakaian pilot atau atlit angkat besi,” tulis Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Monginsidi, Chairil, Kartini (2006).
Alasan Kartini (lebih) populer
Untuk mencari tahu mengapa Kartini lebih populer ketimbang Cut Nyak Dhien, kami menghubungi sejarawan, Christopher Reinhart. Reinhart mengungkap keduanya sama-sama di-endorse Belanda dalam melanggengkan legitimasi sebagai wanita perkasa. Tapi tetap saja endorse terhadap Kartini memiliki level yang jauh beda daripada Cut Nyak Dhien. Publikasi Kartini memang lebih meluas.
“Yang jadi agen penyebar visi dan pandangan Kartini adalah orang dari kalangan pemerintahan seperti Rosa Abendanon dan suaminya: Jacques Henrij (tingkatannya menteri). Dan, kenyataan tentang Kartini juga dijadikan senjata kelompok etisi (orang-orang inteltual Belanda) untuk berbicara di parlemen Belanda. Jadi, publisitas Kartini di Belanda dan Hindia-Belanda pasti top. Sedangkan, untuk Dhien, ada dua golongan yang merasa kagum atau akhirnya 'mengendorse' yakni militer dan penulis (ini pun hanya Lulofs),” ujar Reinhart saat dihubungi VOI, 21 April.
Dalam pada itu, berita atau tulisan terkait Cut Nyak Dhien hanya berputar pada arsip militer atau catatan harian yang bahkan sampai hari ini belum terbit. Reinhart menambahkan sekalipun ada orang seperti Lulofs yang lihai merangkai narasi karena memang pekerjaannya sebagai novelis, publikasi Cut Nyak Dhien tak sebaik yang dimiliki Kartini.
Sementara, figur Kartini di tangan Abendanon cenderung “dipolitisasi” sebagai model orang Jawa yang haus pendidikan. Alhasil, penokohan Kartini sudah mapan sejak dulu. Lebih lagi, saat Kartini dijadikan ikon oleh kaum etisi. Berbeda dengan Reinhart, Sejarawan Jean Gelman Taylor punya pendapat berbeda terkait status Cut Nyak Dhien yang kurang populer dibanding Kartini.
Musababnya karena penelitian terhadap sosok Cut Nyak Dhien tak banyak dilakukan. Bahkan ada kesan penelitian itu bak dibungkam karena semasa hidup Ratu Perang Aceh tak meninggalkan catatan tertulis pribadi. Imbasnya, Kartini yang memliki catatan tertulis –lewat surat-suratnya— yang dapat kepopuleran lebih.
“Akan tetapi, penelitian yang serius terhadapnya telah dibungkam karena, tidak seperti Kartini, ia tidak meninggalkan catatan tertulis miliknya. Sejarawan harus merenungkan, bagaimana cara Cut Nyak Dhien menyetarakan peran pria dan wanita dalam Perang Aceh? Apakah status elite-nya memungkinkan Cut Nyak Dhien untuk memecahkan perihal perbedaan pria dan wanita dalam kehidupan wanita Aceh biasa? Tambah cemas lagi, jejak Cut Nyak Dhien yang terpublikasi hanya satu foto yang menunjukkannya tersiksa berantakan setelah ditangkap oleh pasukan kolonial pada 1905,” tutup Jean Gelman Taylor dalam buku Appropriating Kartini (2020).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.