Cut Nyak Dhien: Cermin Kesetaraan di Medan Juang
Cut Nyak Dhien dalam pengasingan (Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - “Jika engkau telah dewasa, bertulang delapan karat, berbidang bahu lebar, mahir bersilat, turunlah ke medang perang untuk menghalau Belanda dari kampung halaman kita. Seluruh Aceh akan menghunuskan senjata. Tempat ayahmu ada di depan mereka. Karena itulah kau harus turun juga ke muka peperangan. Janganlah kau tinggal di muka rumah saja.”

Demikianlah pesan Cut Nyak Dhien saat sedang menimang anaknya. Pesan yang direka kembali oleh M.H. Szekely Lulofs dalam buku berjudul Cut Nyak Din itu konon selalu diperdengarkan sebagai dongeng tidur sang anak kala perang Aceh tahun 1873 hingga 1913 di berbagai wilayah sedang berkecamuk.

Karenanya, suara-suara ratib yang berucap rapalan “La ilaha illallah” terdengar di seantero Enam Mukim --tempat tinggal Cut Nyak Dhien-- sebagai permohonan doa kepada yang Maha Kuasa sekaligus jadi pupuk penumbuh keberanian melawan Belanda. Dongeng itu meluas, tak hanya membibit semangat di dada sang anak kandung, tapi juga anak-anak lain di wilayah tersebut.

Budayawan Aceh Tungang Iskandar bahkan menyebut Cut Nyak Dhien sebagai sosok yang sejatinya memiliki pengaruh yang amat besar. Perempuan berayahkan panglima perang bernama Nanta Setia itu disebut sebagai sosok yang amat lekat dengan isu kesetaraan. Wanita kelahiran Lampadang, Aceh Besar, 1848 berhasil membuktikan bahwa peran pria dan wanita dalam perjuangan setara. 

“Kesetiaannya kepada agama memang bukan hanya harus dimiliki oleh laki-laki. Karena laki-laki dan perempuan punya peran yang sama dalam perjuangan,” kata Tungang kala dihubungi VOI beberapa waktu lalu.

Momentum pengingat Cut Nyak Dhien (Commons Wikimedia)

Awal mula perjuangan

Pada 22 Maret 1873, rakyat Aceh tengah bersiap menyambut bala bantuan Kerajaan Turki di pinggir pantai. Penantian yang berujung pahit, sebab yang datang bukan rombongan Kerajaan Turki, melainkan empat kapal yang tiga di antaranya adalah kapal perang Belanda dengan identitas khas berupa rajutan bendera tiga warna putih, merah, dan biru.

Seketika kepanikan pun melanda dari mereka yang tua maupun anak-anak. Mereka yang tadinya berkumpul dengan suka cita langsung membubarkan diri, berlarian ke segala penjuru sembari berteriak “Belanda datang, Belanda datang, Belanda datang!”

Di antara mereka yang panik, ada nama Cut Nyak Dhien dengan suami pertamanya, Teuku Ibrahim Lamnga mengisi barisan itu. Ia yang sejak kecil sudah biasa mencuri percakapan dari tamu-tamu ayahnya yang sering bercerita terkait Belanda, langsung menyadari betapa jahatnya Belanda serta palsunya persahabatan yang ditawarkan.

Sifat jahat Belanda terlihat di mata Cut Nyak Dhien kala perundingan mereka dengan Sultan Aceh buntu. Tepat 26 Maret 1873, surat pernyataan perang pun diantarkan. Setali dengan itu, para pejuang aceh telah bersiap.

“Ada yang berteriak-teriak menyebut asma Allah, dan ada juga yang bertempik sorak. Pejuang-pejuang itu amat berani. Pejuang-pejuang itu amat berani walau hanya bersenjatakan alat yang sederhana. Mereka tampak tak ragu-ragu mengorbankan nyawanya di medan perang,” tulis Lulofs dalam buku Cut Nyak Din.

Berkat semangat mereka, ekpedisi orang Belanda fase pertama kemudian gagal total. Bagi Belanda, terbunuhnya panglima tertinggi dari angkatan perang Belanda Jendral Kohler bahkan jadi pukulan telak. Itulah kiranya yang menjadi alasan Belanda membawa lebih banyak pasukan untuk terus menginvasi Aceh pada fase kedua.

Cobaan demi cobaan

Nasib malang bagi Cut Nyak Dhien terlihat pada fase kedua penyerangan Belanda ke Aceh. Tak main-main, 60 kapal diturunkan ke medan perang. Kapal-kapal tersebut membawa 800 prajurit bersenjata lengkap dari semua golongan tentara, baik dari serdadu, perwira, anggota tata usaha, 32 dokter, delapan orang penunjuk jalan, 243 orang wanita istri-istri serdadu, 150 tukang dayung, tiga orang pemuka agama hingga panglima tertinggi, Jendral van Swieten yang memimpin invasi.

Sekalipun para pejuang tanah Aceh termasuk Suami Cut Nyak Dhien, Teuku Ibrahim Lamnga merasa yakin akan meraih kemenangan, realita terjadi sebaliknya. Gelagat beberapa pejuang Aceh yang sedari awal kuat pendirian, lama-lama meyakini apa yang mereka lakukan dalam medan peperangan adalah hal percuma.

Ada yang mendukung Belanda, ada yang memilih berjuang, dan ada pula yang tak melakukan apa-apa. Nuansa kurang kompak inilah yang menjadi dasar Teuku Ibrahim Lamnga meminta istri untuk bersiap-siap meninggalkan rumah untuk mengungsi. Keputusan mengungsi tanpa membantu suaminya di medan perang tenyata harus dibayar mahal oleh Cut Nyak Dhien. Suaminya yang sedang bergerilya kemudian gugur saat ditembaki oleh Belanda di persembunyiannya.

Singkat cerita, Cut Nyak Dhien yang mencari rekan berjuang lalu menerima lamaran dari sepupu Teuku Umar lantaran kepalang berjanji akan menikahi laki-laki pertama yang membantunya balas dendam kematian suaminya. Dalam pernikahan itu, Cut Nyak Dhien menemukan banyak perbedaan dengan sang suami.

Cut Nyak Dhien di pengasingan (Commons Wikimedia)

Misalnya, Cut Nyak Dhien yang lebih percaya pada kaum ulama dan berjuang bersama mereka dalam menumpas Belanda. Sementara, Umar malah menginginkan agar istrinya untuk terbuka pikirannya dengan berjuang bersama bangsawan, supaya dapat memberi nafas perjuangan lebih.

Perbedaan bukan masalah bagi Cut Nyak Dhien. Masalah besar justru terjadi ketika Umar memilih bersahabat dengan Belanda untuk melancarkan strategi perlawanannya. Langkah itu tak hanya membuat Cut Nyak Dhien bingung. Orang-orang disekitar mereka pun tak habis pikir.

Suatu saat, Umar yang dianggap sahabat bagi Belanda, kemudian memberontak dan bergabung kembali dalam barisan rakyat Aceh. Di situlah, ia dengan Cut Nyak Dhien pamit undur diri kepada masyarakat Enam Mukim sembari bergerilya melawan Belanda dari dalam hutan. Faktanya, Sekalipun akhirnya Umar dibuat Syahid lewat dua butir peluru yang ditembakkan oleh belanda.

Kala itu Cut Nyak Dhien untuk kali kedua mendapat cobaan yang besar. Mau tak mau, sembari mengumpulkan tekad dan kekuatan, ia langsung memimpin garda paling depan perlawan rakyat aceh dengan cara bergerilya. Sayangnya, fisik makin lemah, tenaga berkurang, penyakit rabun mata dan encok jadi kendala dalam perjuangan.

Selanjutnya, Cut Nyak Dhien ditangkap oleh Belanda pada 6 November 1905 atas laporan orang kepercayaannya sendiri. Tak lama kemudian, Cut Nyak Dhien diasingkan ke Sumedang (Jawa Barat), dan pada tanggal 6 November 1908, ia meninggal tepat pada usia 60 tahun.

Sehingga wajar bila sejarawan, JJ Rizal yang dihubungi VOI beberapa waktu lalu, menyebutnya sosok yang keras kepala, berpendirian teguh dan tidak gampang tunduk itu sebagai sesosok pahlawan bangsa yang menginspirasi.

“Ciri-ciri di atas sudah menjadi ciri dari generasinya, semisal pada masa itu, ada pula Panglima Polim maupun Pangeran Diponegoro yang senada memiliki eksistensi luar biasa dan tak mengenal kompromi kepada Belanda,” Tutup JJ Rizal.