Resensi Buku <i>Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia</i> Jilid 1: Epos Cut Nyak Dhien dan Tokoh-Tokoh Antikolonial
Ilustrasi (VOI/Detha Arya Tifada)

Bagikan:

JAKARTA - Membaca epos tokoh-tokoh sejarah kedaerahan memang selalu menarik. Termasuk Cut Nyak Dhien hingga Willem Walraven. Apalagi bila kisahnya ditulis apik oleh saksi sejarah sekaligus seorang Jurnalis kenamaan Indonesia, Rosihan Anwar.

Dalam bukunya yang berjudul Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 1 (2004), Rosihan menuliskan kisah-kisah kecil terkait Indonesia lengkap dengan aktor intelektualnya. Beberapa peristiwa dibawakan oleh empunya buku menjadi menarik karena dikombinasikan dengan kiat-kiat jurnalistik sehingga dapat dipertanggungjawabkan.  

Sebagai pembuka, Rosihan mengisahkan soal Timor Timur. Ia menjelaskan lepasnya wilayah itu dari Indonesia. Rosihan begitu lihai dalam melampirkan fragmen berita jurnalistik yang pernah ditulisnya, lalu mengulas rincian panjang terkait awal mula Pulau Timur dijajah Portugis, dilirik Belanda, bergabung dengan Indonesia, hingga memilih memerdekakan diri. Semua itu diulas oleh Rosihan agar sejarah dapat menarik bagi generasi muda.

“Sudah beberapa waktu lamanya saya berpikir tentang bagaimana caranya membuat sejarah menarik bagi generasi muda. Sejarah yang tidak terdiri dari rangkaian tahun atau jaartallen untuk dihafalkan, tetapi yang dirasakan hidup dan bermakna untuk kehidupan zaman sekarang. Sejarah yang bukan barang ‘kering’ semata-mata, melainkan suatu realitas yang terus bergerak dan layak dipahami dengan baik,” imbuh Rosihan Anwar dalam kata pengantar.

Tak hanya kisah tentang Timor-Timur. Kisah lain seperti penokohan Cut Nyak Dhien dalam perang Aceh, Rasuna Said menentang kuasa Belanda, Willem Walraven yang menentang kolonialisme, serta Tiga Serangkai yang mendirikan Indische Partij tak kalah menarik. Lewat kisah itulah orang-orang menjadi paham bahwa kemerdekaan Indonesia tak melulu peran kaum bumiputra saja. Disitu, mereka yang disebut totok pun ikut menjadi bagian dalam perjuangan memekik kata: "Merdeka, merdeka, merdeka."

Cut Nyak Dhien dan Perang Aceh

Cut Nyak Dhien sebagai sosok yang sejatinya memiliki pengaruh yang amat besar. Putri panglima perang bernama Nanta Setia itu disebut sebagai sosok yang amat lekat dengan isu kesetaraan. Wanita kelahiran Lampadang, Aceh Besar, 1848 ini berhasil membuktikan peran pria dan wanita dalam perjuangan itu setara.

Rosihan menyebut walau Belanda telah menyatakan Perang Aceh sudah berakhir pada 1904. Nyatanya, perjuangan rakyat Aceh melawan kaphee (kafir) tak pernah berhenti. Satu demi satu pejuang Tanah Rencong muncul untuk melawan Belanda. Termasuk, mereka yang dijuluki een national heldenpaar (pasangan pahlawan nasional). Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Lebih lengkapnya pernah kami ulas dalam tulisan “Cut Nyak Dhien: Cermin Kesetaraan di Medan Juang.”

“Teuku Umar sudah mati, tetapi istrinya Cut Nyak Dhien beserta panglimanya, Pang Laot Ali, dan 300 pejuang yang setia bertahan terus selama enam tahun di hutan, melakukan perang gerilya melawan Belanda. Mereka menamakannya Perang Sabil,” tulis Rosihan di halaman 68.

Rasuna Said dan gerakan kaum wanita

Perlawanan terhadap Belanda juga digelorakan oleh mereka yang berada di luar pulau Jawa. Terutama oleh mereka kaum wanita di Sumatra Barat. Pada zaman itu, kaum wanita Sumatra Barat banyak yang ikut mengobarkan gerakan politik. Di suatu waktu, gerakan mereka bahkan lebih hebat daripada kaum laki-laki. Rasuna Said, misalnya.

“Rasuna adalah guru sekolah menengah Islam di Padang Panjang yang dipimpin oleh Rahmah el-Yunussi, dengan jumlah pelajar perempuan lebih dari 1.000 orang. Sebagai pemimpin Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), Rasuna biasa berpidato berapi-api menentang kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda. Untuk membungkamnya, pemerintah Kolonial terpaksa menangkap Rasuna Said,” hadir di halaman 100.

Tiga Serangkai dan Indische Partij

Boleh jadi salah satu momentum pergerakan nasional berasal kelahiran Indische Partij pada 1912. Partai tersebut adalah buah karya tiga tokoh besar: Ernest Douwes Dekker, Soewardi Sorjoningrat, dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Cita-cita pendiriannya jelas. Parpol ini menganjurkan persamaan ras, keadilan sosial-ekonomi, dan kemerdekaan.

Dalam artian, inilah parpol pertama yang berani merangkul semua kalangan —baik Indo, totok, Eropa— untuk berjuang bersama-sama mencapai kata Merdeka. Hal itu dilihat dari jumlah anggota Indische Partij yang berjumlah 7.000 orang pada tahun 1913. Sedang kaum bumiputra hanya berjumlah 1.500 orang dari jumlah total.

Perlawan mereka terhadap Belanda banyak dilakukan lewat goresan pena. Ketiganya tak segan-segan mengecam keras penjajahan Belanda. Dekker misalnya. Dalam salah satu pidatonya, Dekker dengan bangga berucap: Jika semua orang Jawa meludah serentak, maka orang-orang Belanda akan tenggelam.

Willem Walraven: Jurnalis penentang kolonialisme

Jika ada yang bertanya terkait keterlibatan seorang totok selain Multatuli (Eduard Douwes Dekker) dalam menelanjangi kolonialisme, maka jawabannya adalah Willem Walraven. Semasa hidupnya, Walraven yang berkebangsaan Belanda telah mengarang beberapa novel dan banyak cerpen. Sekalipun ia berpandangan jurnalistik adalah profesi keras, lewat penanya Walraven selalu menyuarakan pesan anti kolonialisme.

“Walraven adalah salah seorang wartawan terbaik yang menulis di Hindia-Belanda. Dia mencaci sistem kolonial dan penjajahan Eropa,” tulis halaman 229.

Itulah beberapa fragmen kisah menarik dari buku Rosihan Anwar. Lebih lengkap lagi, ia juga menceritakan seputar para pesohor negeri yang diasingkan ke Bengkulu, foya-foyanya gubernur jenderal Hindia Belanda, perlawanan masyarakat Banten, lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan sekisah tentang lagu Indonesia Raya. Karena itu, buku ini menjadi penting untuk memahami sejarah Indonesia lebih dalam.