Sejarah Tradisi 420 di Indonesia dan Budaya Ganja Nusantara dari Aceh, Ambon, hingga Jawa
Ilustrasi (Ilham Amin/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Happy 420! Seperti tahun-tahun kemarin, setiap 20 April, dunia merayakan hari ganja internasional. Kisah Geng Waldos dari California dan perburuan ladang ganja yang mereka lakukan diyakini mengawali perayaan ini. 420 kini turut dirayakan di Indonesia, negara yang memiliki sejarah panjang pemanfaatan ganja. Perayaan 420 di Tanah Air dilakukan terbatas dan pribadi, tentunya.

Mengutip History, Geng Waldos beranggotakan lima orang: Steve Capper, Dave Reddix, Larry Schwartz, Jeffrey Noel, dan Mark Gravich. Suatu hari di musim gugur 1971, geng yang memiliki kebiasaan nongkrong di luar dinding sekolah San Rafael itu mendapat informasi tentang seorang anggota penjaga pantai yang menanam ganja namun tak bisa lagi merawat tanamannya.

Geng Waldos kemudian menyusun rencana pencarian, dengan bekal secarik peta harta karun yang diduga mengarah ke ladang itu. Pencarian itu mereka lakukan seminggu sekali. Setiap kali akan melakukan pencarian, Geng Waldos akan berkumpul di bawah patung Louis Pasteur di luar sekolah. Mereka menyepakati waktu pertemuan di angka 4.20 sore, setelah latihan olahraga.

Setelah bertemu tepat pada waktunya, mereka akan berkumpul di dalam mobil dan mengisap ganja, sebelum kemudian menjelajahi hutan Point Reyes juga dengan ganja di tangan. Pada akhirnya pencarian harta karun itu mungkin hanya sebatas fantasi.

Ilustrasi foto (Sumber: Unsplash)

Istilah 420 itu kadung tercipta dan digunakan siswa sekolah menengah sebagai kode untuk mendiskusikan ganja tanpa diketahui orang tua atau guru mereka. Istilah itu terus mereka gunakan hingga menjadi tradisi dan menyebar ke masyarakat luas bahkan hampir sampai ke seluruh dunia.

Di Indonesia, budaya 420 masuk lewat sejumlah produk budaya populer, seperti film Cheech and Chong, Pineapple Express, Harold and Kumar, dan banyak film lain. Kedua, penetrasi budaya 420 jugamasuk lewat musik-musik barat seperti Afroman, Snoop Dog, Katchfire, dan lainnya.

Terakhir tentu akibat berkembangnya arus informasi di media sosial. Tidak ada yang bisa memastikan kapan budaya 420 ini diterima secara umum di Indonesia. "Namun sejak 2010 ke belakang budaya ini cukup populer beredar di kalangan penikmat kanabis," tulis LGN dalam lamannya.

Budaya ganja Nusantara

Budaya pemanfaatan ganja di Nusantara sejatinya telah dilakukan sejak dahulu kala. Di Aceh, beberapa masyarakat bahkan masih memanfaatkan rebusan akar ganja sebagai pengobatan untuk penyakit diabetes.

Budaya ganja Nusantara dimulai sejak ia tumbuh. Dahulu, tanaman ganja cukup mudah ditemukan. Tak hanya di Aceh dan wilayah lain di Sumatera, tapi juga di Ambon, Jakarta (Batavia), hingga Bogor (Buitenzorg). Hal itu terungkap di lembaran Fakta Ganja di Indonesia yang dirilis oleh Transnational Institute.

“Tampaknya, selama akhir abad ke-19, ganja masih belum dikenal di kalangan masyarakat Jawa. Namun, ada asumsi bahwa tanaman itu mungkin saja telah dibudidayakan di pulau tersebut (Jawa), mengingat keakraban masyarakat setempat dengan istilah-istilah seperti ganja, gandja, atau gendji,” tertulis.

Sekalipun budidaya ganja di kepulauan Indonesia tak begitu populer, ganja nyatanya tetap ditanam di Ambon dengan biji yang didapatkan dari Jawa. Karenanya, masyarakat di Ambon dan sekitarnya banyak yang memanfaatkan ganja.

Ilustrasi (Ilham Amin/VOI)

Salah satunya dengan cara mengonsumsi akar ganja untuk mengobati gonorea. Sementara itu, bagian daunnya kadang-kadang dicampur dengan pala dan diseduh sebagai teh untuk tujuan mengurangi gangguan asma, nyeri dada pleuritik serta sekresi empedu.

Dalam kaitan ganja dengan budaya Nusantara, buku Herbarium Amboinense (1741) karya ahli botani Jerman-Belanda, G.E. Rumphius dapat dijadikan rujukan. Ia menjelaskan keakraban masyarakat dengan beragam olahan ganja, baik penggunaan ganja untuk rekreasi, medis dan bumbu masakan.

Selain sebagai medis dan konsumsi makanan, ganja juga banyak dimanfaatkan dalam aktivitas perkebunan. Di banyak ladang di berbagai daerah, ganja ditanam di antara tanaman lain sebagai penghalau hama.

Tak hanya dalam hajat hidup harian. Ganja juga digunakan masyarakat Nusantara untuk ritual. Fakta itu terlihat dari relief gambar daun ganja yang ditemukan di Candi Kendalisodo yang berada di Gunung Penanggungan, Mojokerto. Relief daun ganja itu terletak di tingkat dua Candi Kendalisodo.

*Baca Informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada juga Ramdan Febrian.

MEMORI Lainnya