Perjuangan Hasyim Asy'ari bersama Para Santri di Tebuireng
KH Hasyim Asy'ari (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Kiai Hasyim Asy’ari adalah tokoh Islam terkemuka di Nusantara. Sebagai pendiri dari ormas Islam besar, Nahdlatul Ulama (NU), Hasyim Asy’ari dikenal handal dalam segala bidang. Kiprah Hasyim Asy’ari dalam dunia pendidikan islam, misalnya. Hasyim Asy’ari jadi pelopor hadirnya pesantren modern Tebuireng, Jombang. Pesantren itu jadi jalan Hasyim Asy’ari mencerdaskan anak bangsa, terutama untuk melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu kebodohan.

Kiai Hasyim Asy’ari lahir pada 14 Februari 1871 di Desa Gedang, Jombang, Jawa Timur. Sedari kecil, Hasyim Asy’ari telah akrab dengan kehidupan ajaran Islam yang kuat dan dinamika hidup di pesantren. Ayah serta kakek Hasyim Asy'ari telah kesohor lebih dulu sebagai pendiri pesantren di Jombang.

Hasyim Asy’ari mendapatkan pendidikan agama yang kuat dari keluarganya. Selain itu ia juga memerdalam Islam di Makkah sejak 1803. Di sana Hasyim Asy'ari berguru ke banyak ulama terkemuka di jazirah Arab.

Kesempatan berada di Makkah itu tak disia-siakan Hasyim Asy'ari. Ia memelajari beragam ilmu dari guru-gurunya. Pemahamannya makin hari makin luas dan dalam. Sepulang dari Makkah, Hasyim Asy’ari mulai mendorong pendidikan Islam modern di tanah Jawa.

Wahid Hasyim, Gus Dur, Hasyim Asy'ari (nu.or.id)

Letupan-letupan keinginan mengabdi di dunia pendidikan makin hari makin menguat. Apalagi, kala itu di Hindia-Belanda (Indonesia) hanya ada dua sistem pendidikan saja bagi kaum bumiputra.

“Pertama adalah sistem pendidikan yang disediakan untuk para santri Muslim di pesantren yang fokus pengajarannya adalah ilmu agama. Kedua adalah sistem pendidikan Barat yang dikenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan tujuan menyiapkan para siswa untuk menempati posisi-posisi administrasi pemerintahan baik tingkat rendah maupun menengah. Akan tetapi, jumlah sekolah Belanda untuk Pribumi (Hollandsch-Inlandsche School), mulai didirikan pada awal 1914, sangat terbatas bagi masyarakat pribumi Indonesia,” ujar Lathiful Khuluq dalam buku Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H. Hasyim Asy’ari (2000).

Pun begitu, hanya bumiputra dari kalangan priayi yang dapat menembus pendidikan. Bagi jelata, sekolah laksana mimpi di siang bolong alias sesuatu yang mustahil. Kalaupun mereka punya akses, maka kebanyakan yang menganut Islam akan mengharamkan sekolah Belanda.

Melihat realita itu, Hasyim Asy’ari mulai tertarik untuk membuat institusi pendidikan pesantren modern. Ia menujukan pesantren itu sebagai alat agar kaum bumiputra mendapat ilmu pengetahuan. Lebih lebih, di dalam pesantren turut terkandung nilai ibadah. Terjangkau pula.

Perjuangan di Pesantren Tebuireng

Pesantren Tebu Ireng (Sumber: Commons Wikimedia)

Tekad Hasyim Asy’ari membangun pesantren sendiri makin bulat. Konon, tekad mencerdaskan anak bangsa terus membulat seiring doa dan zikir yang ia lakukan. Hasyim Asy’ari kemudian memboyong keluarganya pindah dari Nggedang, Jombang, menuju Tebuireng.

Di tempat itu, Hasyim Asy’ari ingin membangun pesantren. Kendati demikian, idenya langsung ditentang oleh segenap saudara dan teman dekatnya. Pertentangan itu karena Desa Tebuireng sudah dianggap sebagai kawasan “Jahilliah” karena ada pabrik gula warisan Belanda.

Sebagai kawasan dengan perputaran uang besar, para buruh pabrik gemar melakukan maksiat dan jauh dari Tuhan. Mereka gemar berjudi, hura-hura di pasar malam, dan menjadi pelanggan tetap rumah prostitusi. Pamor tersebut pula turut mendatangkan banyak penyamun.

Dalam konteks itu, Tebuireng juga dikenal sebagai desa sarang penyamun. Mereka suka menyatroni para buruh berkantong tebal. Bahkan mereka tak segan memalak dengan ancaman nyawa melayang jika tak diberikan “persenan” yang diminta.

“Niat ini awalnya ditentang semua saudara dan teman-teman dekatnya. Bahkan ia diejek dan ditertawai kiai-kiai lain. Mereka tahu Tebuireng adalah daerah yang berbahaya dan tanpa agama. Orang menyebut Desa Tebuireng sebagai desa tanpa perikemanusiaan. Penduduk di sana punya hobi merampok dan lokasi pelacuran bertebaran di sepanjang jalan. Hasyim Asy’ari tak gentar, ia justru berucap: Menyiarkan agama Islam ini artinya memperbaiki manusia,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Pesantren di Sarang Penyamun (2011).

Kenekatan Hasyim Asy’ari semakin paripurna ketika mendirikan pondok pesantren yang hanya terletak sekitar seratus meter dari seberang pabrik gula itu. Pesantren yang kemudian dikenal dengan nama Pesantren Tebuireng itu awalnya cuma sebuah pondok beratap rumbia dengan ukuran 6 x 8 meter. Ruangannya pun hanya dua. Mula-mula murid yang menuntut ilmu hanya dua santri saja. Beberapa bulan kemudian, jumlah santri meningkat menjadi 28 orang.

“Setelah mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng, ia mewarnai lembaga pendidikannya dengan pandangan dan metodologi tradisional. Dalam perkembangannya, KH. Hasyim Asy'ari banyak mengadopsi pendidikan Islam klasik, yang banyak mengedepankan aspek-aspek normatif, tradisi belajarmengajar, dan etika dalam belajar. Semua itu didasari oleh pandangnya bahwa aspek-aspek itulah yang telah mengantarkan umat Islam kepada zaman keemasannya dulu,” ungkap Abdul Hadi dalam buku K.H. Hasyim Asy'ari (2018).

Hasyim Asy'ari (Sumber: Commons Wikimedia)

Dalam mendidik, Hasyim Asy’ari mengedepankan pengembangan pendidikan karakter. Ia mendidik santrinya tak hanya mandiri dari segi ekonomi dan politik. Hasyim Asy'ari turut mengembangkan pelajaran kebudayaan dan ragam ilmu pengetahuan.

Di samping itu, pendidikan yang diajarkan Hasyim Asy'ari lebih kepada pendidikan sebagai perekat, tanpa memandang suku atau etnis tertentu. Yang paling penting, Hasyim Asy’ari mengajarkan pendidikan untuk kemaslahatan bangsa.

“Bicara kemaslahatan berarti bicara tentang kondisi dan realitas kekinian umat yang nyambung dengan tradisinya, dengan kebudayaan masyarakatnya. Ini untuk mengenal lebih jauh kepentingan kemanusiaan mereka di dunia ini sebagai bekal menuju akhirat. Bukan sebaliknya membuat mereka terperosok ke masa lalu, hingga tidak bisa bangkit lagi. Selanjutnya, dari sana kita membangun solusi untuk persoalan-persoalan masa kini dan masa depan kita,” tulis Ahmad Baso dalam buku K.H. Hasyim Asy’ari: Pengabdian Kyai Untuk Negeri (2019).

Akan tetapi, para santri Pesantren Tebuireng sempat belajar dalam kondisi tidak tenang. Selama dua tahun pertama, mereka tidur berdesakan di dalam bilik-bilik dan tak berani merapatkan tubuh ke dinding yang terbuat dari anyaman bambu.

Belum lagi, para kehadiran pesantren tak begitu disukai oleh penduduk. Sering kali pada malam hari, Pesantren Hasyim Asy’ari diserang kelompok penduduk dengan menusukkan tombak dan parang dari balik dinding. Hasyim Asy’ari tak gentar. Ia dan santri kemudian memukul mundur para pembuat onar.

Buahnya, satu demi satu penyamun angkat kaki dari Tebuireng. Pun dengan perjudian dan pelacuran yang digusur oleh Hasyim Asy’ari dan santri-santrinya. Karena itu, pesantren Tebuireng mulai kebanjiran santri hingga mencapai 200 orang.

Baru pada 1906, Pasantren tebu ireng mendapatkan pengakuan dari pemerintah Hindia-Belanda. Seabad kemudian, Pesantren Tebuireng bertumbuh dengan pesat dan dielu-elukan sebagai pelopor pesantren modern, setidaknya hingga hari ini.

*Baca Informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya