JAKARTA - Mitos babi ngepet adalah fenomena sosial khas Indonesia. Fenomena ini langgeng sejak zaman penjajahan Belanda, seiring merajalelanya kemiskinan.
Babi ngepet memerpanjang daftar mitos lain, seperti tuyul dan Nyi Blorong. Ketiganya punya relasi yang mirip: sebagai jalan pintas bagi si miskin perbaiki hidup dengan menjual jiwa pada setan.
Dalam konteks itu, eksistensi babi ngepet akan abadi dalam peradaban yang serba mundur. Terutama, kemunduran dalam ekonomi, sosial, politik, dan cara berpikir.
Mitos-mitos mengenai jelata miskin menjadi kaya karena menjual jiwanya kepada setan tak hanya berkembang di Indonesia saja. Di Eropa pun begitu.
Citra buruk itu muncul dalam cerita rakyat Eropa, Doctor Faustus. Cerita yang dua kali diangkat menjadi karya sastra oleh Christopher Marlowe pada 1952 dan Johann Wolfgang von Goethe pada 1829 berkisah tentang seorang bernama Faustus yang tampak hidup serba kekurangan.
Karena itu Faustus ingin keluar dari kubangan kemiskinan. Faustus menggadaikan jiwanya kepada setan agar kesohor sebagai seorang sarjana, tetap muda, dan kaya raya.
Jalan gelap diambil Faustus untuk mencapai seluruh keinginannya hidup di dunia. Faustus menikmati seluruh kehidupannya sampai ia menyadari yang dilakukannya selama ini salah.
Pada akhirnya, kepalang terlambat untuk kembali ke kehidupan normal. Faustus harus menerima segenap jiwanya dikuasai oleh iblis.
Penggadaian jiwa pada setan
Pun kisah Nyi Blorong atau kisah babi ngepet di Jawa Barat yang bermakna sama dengan cerita Doktor Faustus. Sejarawan, Ong Hok Ham mengungkap penggadaian jiwa kepada setan juga dilakukan kaum minoritas Yahudi di Eropa.
Penguasa Eropa kala itu memanfaatkan mitos-mitos bersekutu dengan setan kepada bangsa Yahudi karena mereka dianggap telah membunuh Nabi Isa. Alhasil, pada abad pertengahan tuduhan itu sering dijadikan alasan bagi rakyat Eropa untuk membunuh, merampok, dan membakar kampung-kampung Yahudi di Eropa.
“Pada zaman modern, dengan sekularisasi Eropa, tuduhan ‘perjanjian dengan setan’ tidak berlaku lagi, tapi menjelma menjadi ‘golongan Yahudi yang melakukan subversi,’" ujar Ong Hok Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).
"Dalam kasus Dreyfus di Prancis akhir abad ke-19 hal ini tampak jelas: seseorang perwira Prancis keturunan Yahudi dituduh tanpa bukti sebagai penjual informasi rahasia kepada Jerman. Masalah pembebasan dan penghukumannya menjadi soal emosional dan politis, bukan soal hukuman.”
Meluasnya mitos babi ngepet
Langgengnya mitos babi ngepet di Indonesia berawal dari masyarakat pertanian, khususnya mereka para petani yang hanya bisa hidup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kala itu, ketika ada salah seorang petani atau kaum bumiputra yang tiba-tiba kaya, niscaya akan menimbulkan kecurigaan.
Anggapan tersebut diamini oleh sejarawan, Christopher Reinhart. Ketakutan petani melihat rekan atau kaumnya yang menjadi kaya dianggap akan menambah daftar kesukaran bagi mereka.
Orang kaya baru itu biasanya berubah jadi pemberi pinjaman (money lenders), pengijon (tengkulak), dan sebagainya. Pada akhirnya mereka dapat mengendalikan hidup petani lainnya. Akhirnya isu pesugihan dijadikan alat untuk memberikan citra buruk kepada orang-orang kaya.
“Untuk melindungi diri, orang kaya dilabeli oleh mereka –petani-- sebagai orang yang menggunakan pesugihan. Mereka dianggap punya tuyul, jadi babi ngepet, dan bersekutu dengan setan-setan," ungkap Reinhart kepada VOI, Rabu, 28 April.
"Tujuannya supaya orang lain takut, kemudian menjauhinya dan tidak mau berurusan dengannya. Lebih lagi, cara itu supaya tidak ada orang yang bercita-cita menjadi kaya raya,” sambung Reinhart.
Pendapat Reinhart senada dengan yang diungkap antropolog, George M. Foster dalam teorinya, The Image of Limited Good. Teori ini menjelaskan bahwa tanah itu tak dapat diperluas.
Setiap usaha memerluas tanah berarti mengurangi luas tanah orang lain. Demikian pula dalam pandangan petani. Orang tidak bisa menjadi kaya tanpa membuat orang lain jadi miskin.
Alhasil, ketika ada salah satu yang berkecukupan, maka orang tersebut akan dicap sebagai penggandrung dunia gaib. Lebih lagi, anggapan pesugihan dengan menjadi babi jadi-jadian bagi orang kaya semakin langgeng saat Hindia-Belanda (Indonesia) mulai menerapkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) dari 1830 hingga 1870.
Selain memiskinkan, petani setempat begitu sengsara karena sistem tanam paksa. Orang Sunda memiliki sindirian tersendiri untuk periode tanam paksa: orang lahir, kawin, dan mati di ladang tom. Senapas dengan itu, jika ada kaum bumiputra kaya, mereka akan diberi citra buruk, seperti menjadi babi ngepet.
“Dalam masyarakat pertanian ada kepercayaan tentang pesugihan, yang dapat menjadikan orang kaya tanpa bekerja, dengan memelihara tuyul, babi ngepet, dan semacamnya," tulis Sejarawan Kuntowijoyo dalam buku Muslim Tanpa Masjid (2008).
"Dalam Peraturan Tanam Paksa ditentukan bahwa petani harus memberikan seperlima—praktiknya lebih-dari tanah pertaniannya, yang berarti bahwa empat seperlima adalah untuk petani. Kalau dalam bagi hasil ada maro (bagi hasil), maka tanah itu harus dibagi dua, pemilik setengah dan penggarap setengah.”
Periode tanam paksa kemudian melanggengkan citra orang kaya melakukan pesugihan dengan babi ngepet. Dalam pandangan masyarakat Jawa kala itu, seseorang yang kaya --baik itu pedagang atau usahawan—yang sukses, berarti ada perjanjian dengan setan. Isu perjanjian itulah yang membuat kekayaan seseorang, khususnya pengusaha, tidak memiliki legitimasi, artinya jelek.
“Dalam pemikiran tersebut, orang kaya, terutama kaum pedagang atau pengusaha sukses, kehilangan status sebagai anggota masyarakat. Orang kaya bukan lagi ‘Jawa,’ sebab ia memiliki hubungan dengan setan. Kepercayaan akan Nyi Blorong dan tuyul (juga babi ngepet) menjatuhkan status orang kaya di Jawa. Lebih-lebih dalam masyarakat Jawa tradisional, orang kaya adalah pencuri, dan yang mencuri tentu tuyulnya,” tutup Ong Hok Ham dalam buku lainnya Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong (2002).
*Baca Informasi lain soal PENJAJAHAN BELANDA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.