Bagikan:

JAKARTA - Gempa adalah bencana bencana alam. Gempa adalah cobaan dari yang maha kuasa. Gempa adalah penanda kiamat. Ketiga narasi itu lazim muncul ketika peristiwa gempa menghampiri negeri Zamrud Khatulistiwa. Bahkan sejak dulu. Gempa Padang Panjang 1926, misalnya, yang tak hanya dianggap bencana tapi juga teguran Tuhan agar orang-orang bertobat. Lebih dari itu, gempa juga dipandang sebagai penanda akhir zaman: kiamat.

Dalam sejarahnya, gempa 28 Juni 1926 adalah yang terbesar dalam sejarah pendudukan kolonial Belanda di Sumatera Barat. Gempa yang berpusat di Padang Panjang diketahui terjadi berkali-kali.

Berdasar data National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA), dua di antara gempa mencatat getaran besar. Gempa pukul 10.00 pagi berkekuatan 7,6 SR. Sementara, gempa pada pukul 13.15 siang lebih kuat, yakni sampai menginjak angka 7,8 SR.

Untuk itu, kejadian gempa yang bertepatan dengan hari pekan Padang Panjang --hari pasar yang dihelat dua kali seminggu: Senin dan Jumat-- begitu diingat dalam ingatan orang Minangkabau, setidaknya sampai hari ini.

Cerita Tobat Massal Saat Terjadi Gempa Padang Panjang 1926

Sebelum gempa, orang Minangkabau begitu larut dalam aktivitas sehari-hari. Para penjual menawarkan dagangannya, pembeli sibuk mencari belanjaan, pegawai pemerintah sibuk dengan kerjaannya. Ada juga mereka yang larut dalam obrolan santai di kedai-kedai.

Akan tetapi, gempa kemudian terjadi pada pukul 10.00 pagi. Dilaporkan Koran Sin Po, 9 Juli 1926, tak cuma Padang Panjang saja yang merasakan getaran. Gempa juga dirasakan orang Minangkabau di sekitar Danau Singkarak, Bukittinggi, Danau Maninjau, Solok, Sawahlunto, dan Alahan Panjang.

Akibat gempa itu, 354 korban jiwa kehilangan nyawa dan 2.383 rumah roboh. Ditambah gempa susulan yang mengakibatkan 57 orang meninggal dunia, dan 472 rumah roboh. “Getarannya cukup lama. Seketika itu juga bangunan banyak roboh dan hancur. Pada reruntuhan puing-puing bangunan itu banyak yang terjebak dan terhimpit,” tulis Koran Sin Po.

Getaran gempa menimbulkan kerusakan infrastruktur. Utamanya pada bangunan berbahan batu yang banyak bertumbangan. Salah satu bangunan yang terkena dampak adalah ikon Bukittinggi, Jam Gadang. Walau masih dalam proses pembangunan, Jam Gadang sempat bergoyang hebat hingga konstruksinya miring 30 derajat.

“Tatkala gempa besar 1926, jam ini bergoyang hebat dan miring 30 derajat. Lalu diperbaiki seperti keadaannya semula. Tinggi bangunannya sekitar 37 meter. Tapi karena letaknya di atas bukit, kelihatannya amat tinggi, terutama bila dilihat dari lembah-lembah sekitarnya. Di puncaknya terdapat bangunan rumah gadang dengan atap berbentuk tanduk kerbau. Untuk sampai di puncak ini terdapat sebuah tangga,” terpapar dalam laporan di Majalah Tempo berjudul Jam Gadang Akan Dikomersilkan (1978)..

Tobat massal dan penanda kiamat

Dampak gempa Padang Panjang 1926 (Sumber: Tropen Museum)

Momentum gempa 1926 sempat direkam dalam ingatan saksi sejarah sekaligus jurnalis senior, Muhamad Radjab. Radjab yang sedari kecil hidup di kawasan sekitar Danau Singkarak telah merekam peristiwa duka itu dalam otobiografinya berjudul Semasa Kecil di Kampung (1950).

Dalam buku itu, Radjab yang akrab disapa Rizal bercerita bahwa korban jiwa di tempat tinggalnya tak sebanyak di Padang Panjang. Kendati demikian, orang-orang di kampungnya beranggapan gempa adalah penanda kiamat.

“Kita meski tawakal saja. Dunia akan kiamat dalam beberapa hari ini. Manusia sudah banyak yang jahat, sebab itu dihukum Tuhan,” ucap pemuka agama setempat sekaligus ayah Rizal sesaat setelah merasakan getaran gempa.

Seketika, orang-orang di kampung Rizal tampak melanggengkan tobat massal. Dari yang tadinya tak pernah berzikir tauhid 'La Ilaha Illallah,' jadi terus-terusan berzikir. Dan dari tadinya jarang ibadah, menjadi lebih sering mendatangi tempat ibadah.

Radjab yang masih remaja pun tak luput untuk segera meminta maaf atas dosa kecil seperti mencuri buah. Terutama, ucapan maaf dilangsungkan kepada pemilik pohon rambutan, duku, mangga, dan cempedak.

“Semua orang sembahyang, laki-laki dan perempuan, tiada terkecualinya. Di pasar-pasar laku betul kain putih untuk telekung perempuan dan kain pelekat tenun Silungkang. Pendeknya di seluruh Minangkabau orang bertambah taat beribadah. Dalam mara bahaya semua orang ingat Tuhan,” cerita Rizal.

Untungnya, lama kelamaan orang menjadi terbiasa dengan gempa karena gempa susulan terjadi selama berbulan-bulan. Pada akhirnya dunia yang akan kiamat seperti diramalkan banyak orang di desanya, tidak jadi. Orang mulai berhenti sembahyang. Surau (masjid kecil) yang ramai sekali selepas gempa besar, kini mulai seperti biasa. Yang rajin dan taat saja datang setiap hari.

“Keadaan biasa kembali lambat launnya, dan dunia kiamat yang diramalkan, tidak jadi. Orang mulai banyak berhenti sembahyang. Surau yang ramai sekali selama gempa menggarang, kini mulai seperti biasa. Yang rajin dan taat saja datang setiap hari. dosa kecil-kecil diperbuat lagi, seperti main kartu, mengadu ayam, dan mempergunjingkan orang lain. Tadinya selama gempa, semua orang hidup suci seperti malaikat,” tutup Rizal.