JAKARTA - Indonesia adalah surga. Indonesia adalah magnet. Indonesia adalah obat paling sempurna. Sejak dulu Indonesia dikenal begitu. Tak cuma untuk dinikmati alam dan budayanya tapi juga dimanfaatkan untuk mencari kekayaan. Lihat saja orang-orang Belanda itu. Mereka yang terpinggirkan, dipecat, berpendidikan rendah dan miskin di Belanda bisa tiba-tiba jadi warga kelas satu saat pindah ke Indonesia yang kala itu masih Hindia.
Kebanyakan dari orang Belanda itu menjadikan Indonesia tempat singgah, ladang mereka memperkaya diri, hingga akhirnya pensiun dan kembali ke tanah kelahiran. Penaklukan Jayakarta pada 1619 menjadi titik awal migrasi orang Belanda ke Hindia.
Kala itu Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen mengganti nama Jayakarta dan membangun Batavia sebagai pusat pemerintahan. Gubernur Jenderal yang menjabat dua kali --tahun 1619-1623 dan 1627-1629-- itu ingin Batavia menjadi tanah koloni yang beradab, yang erat dengan nilai-nilai ketuhanan, sebagaimana diajarkan Calvinisme umumnya.
Para pemimpin VOC di Belanda, Heeren Zeventien, beberapa kali mengabulkan keinginan Coen untuk mendatangkan 'wanita baik-baik' dari Belanda. Akan tetapi, tak semua setuju dengan rencana Coen.
Dikutip dari tulisan berjudul Betawi Pernah Mengimpor Gadis dalam buku "Ketoprak Jakarta" (2001), Penerus Coen, Gubernur Jenderal VOC Hendrik Brouwer (1632–1636) menentang. Ya, meski diketahui, ketika datang ke Batavia pun ia membawa istri, ipar perempuan, dan dua pelayan perempuan.
Alasannya, para pendatang dari Belanda ke Hindia hanya untuk menjadi kaya. Kalau sudah kaya, mereka akan pulang ke Belanda. Jadi, apa yang digambarkan oleh Coen, masyarakat beradab hanya sebuah mimpi di siang bolong. Sebab, mereka hanya datang ke Negeri Koloni dengan melanggengkan sifat suka pamer, berpesta pora, dan feodal.
Lebih lengkap terkait sikap suka pamer dan foya-foya orang Belanda di tanah koloni sempat kami ulas dalam tulisan “Pesta Gila dan Foya-Foya Para Gubernur Jenderal Hindia-Belanda”.
“Perempuan-perempuan Belanda yang datang ke Timur dalam keadaan miskin. Kemudian kalau kalau mereka sudah kaya, mereka tidak berhenti mengomel. Mereka ingin pulang untuk memamerkan kekayaan mereka kepada kenalannya,” ungkap Hendrik Brouwer.
Foya-foya di Hindia, kaya raya di Belanda
Pemandangan tersebut sering terlihat pada masa awal-awal Belanda di Nusantara. Gambaran Nusantara yang hanya dimanfaatkan sebagai tempat “transit” sudah jadi rahasia umum bagi orang Belanda di Hindia. Seperti halnya kaum laki-laki, wanita Belanda tak memiliki hubungan emosional apapun dengan Hindia.
Satu-satunya yang mereka pedulikan hanya pundi-pundi pendapatan. Mereka pun kembali ke Eropa setelah masa tugas suaminya selesai.
“Mereka menyelenggarakan pesta-pesta sederhana yang dihadiri oleh sesama mereka. Juga diadakan acara-acara resmi seperti peletakan batu untuk meresmikan suatu bangunan,” tulis Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia (2009).
Sejatinya, ada juga dari orang-orang Belanda itu yang dapat menyesuaikan diri hidup di Hindia. Namun, perlahan-lahan, keinginan itu makin meredup, mengingat anak-anak mereka butuh pendidikan yang memadai. Dan Hindia bukan tempat yang tepat. Mereka harus pulang ke Belanda.
Para orang tua itu tampak tak ingin anak-anaknya menderita di negeri yang mereka yakini tanpa seni, tanpa kebudayaan yang tinggi, tanpa pengetahuan agama, dan tanpa sesuatu yang ideal. “Anak-anak mereka dibawa kembali ke Eropa karena kekosongan hidup di Hindia-Belanda, Mereka tertarik kembali ke Belanda dengan alasan untuk pendidikan anak."
"Kaum kolonial dan para pegawai negeri tinggal di Jawa hanya sebagai tamu yang tidak tetap. Mereka tinggal di sana sesebentar mungkin, hanya untuk mendapatkan uang banyak atau menabung untuk hari pensiun dan kembali ke tanah air mereka, tidak ada penyesalan pada Hindia-Belanda yang penuh senyuman, kehidupan luas, penghargaan yang paling mudah didapat,” ungkap Bernard Dorléans dalam buku Orang Indonesia & orang Prancis, Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (2006).
Bagai hotel
Semewah-mewahnya hidup di Hindia, pemukim Belanda masih memilih pulang kampung ke negeri Kincir Angin untuk mengisi hari tua. Hindia layaknya hotal, tempat mereka transit belaka. Bagi mereka, Hindia hanya jadi tempat mengeruk uang lewat banyaknya perdagangan pribadi.
Bahkan seorang Belanda, Bath Venth, dalam buku Het Leven in Nederlandsch-Indie (1900) menganalogikan Hindia-Belanda sebagai hotel. “Semua tempat di Hindia-Belanda memunyai sifat seperti hotel. Mereka menampung tamu-tamu, yang baru saja membongkar tas mereka, dan yang sudah berpikir tentang pergi lagi."
"Kami, di Hindia-Belanda, seperti tenaga penjual yang berkelana. Sebagian dari kami yang tidak kaya, dan yang berjuang sepanjang karirnya, terpaksa menghabiskan bertahun-tahun di hotel-hotel, dan mereka menyerap banyak ciri kepala pelayan dan para tukang angkut barang,” ujar Bath Venth dikutip Rudolf Mrázek dalam buku Engineers of Happy Land (2006).
BACA JUGA:
Senapas, orang Belanda di Hindia cenderung hanya berkumpul dengan sesama mereka. Mereka terlibat dalam klub-klub populer, pesta resepsi, pesta usai makan malam, perkumpulan, paduan suara amatiran, hingga perserikatan teater.
Kehidupan sosial itu menjadikan 'tamu-tamu hotel' larut. Selepas pesta usai, mereka mengemas barang bawaannya dan segera menaiki kapal paling pagi untuk pulang ke Belanda.
“Apalagi, kehidupan di Hindia Belanda itu merupakan cerminan dari kehidupan hotel di Hindia Belanda. Kehidupan miskin maupun kehidupan kaya. Orang Eropa di Hindia Belanda, menurut Bath Veth, merendahkan dirinya menjadi ‘aliran tamu-tamu hotel.’ Dengan cara yang sama, Bath Veth memaklumkan, Hindia Belanda itu benar-benar hotel-thumlich (seperti hotel),” tutup Rudolf Mrázek.