JAKARTA - Di era kolonial, pejabat Belanda mengeruk habis-habisan kekayaan Nusantara. Tak sedikit hasil keuntungan itu masuk ke kantong-kantong pribadi pejabat Belanda lewat pungutan liar (pungli). Oleh karena itu, tak heran bila para elite gemar pesta dan foya-foya. Alhasil, lantai dansa pun jadi ajang pamer kekayaan. Selain itu, lantai dansa juga menjadi sarana lobi-lobi jabatan.
Sekalipun di atas kertas gaji pejabat Belanda terhitung kecil. Pendapatan mereka dari pungli dengan hidup lewat pemerasan, penyelundupan, dan perdagangan swasta, membuat mereka hidup bergelimang harta di tanah koloni. Bahkan, jikalau dihitung maka pendapatan yang mereka miliki justru lebih besar dibanding para pembesar di Belanda.
Untuk itu, pejabat Belanda sering kedapatan hidup mewah. Lebih lengkapnya kami pernah mengulas terkait foya-foya pejabat Belanda dalam tulisan “Pesta Gila dan Foya-Foya Para Gubernur Jenderal Hindia-Belanda.”
Kemewahan itulah yang merangsang antara satu sama lain pejabat untuk saling memamerkan kekayaan. Tradisi ini telah langgeng sedari abad 17 hingga akhir kuasa Belanda di Nusantara.
Dikutip dari Alwi Shahab dalam buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia (2013), tempat favorit pejabat Belanda memamerkan kekayaan selain pesta pernikahan dan upacara kematian adalah mendatangi pesta dansa. Biasanya, mereka mendatangi pesta dansa yang diselenggaran oleh rekanan sesama pejabat atau undangan langsung dari Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Batavia.
Lokasi pesta dansa yang dipilih biasanya di Societeit –salah satu klub populer di zamannya—atau di kediaman empunya acara. Namun, di antara keduanya, pesta dansa di gedung Societeit –baik Harmonie atau Concordia— muncul sebagai favorit. Sebab, di Societeit de Harmonie terdapat ruangan yang dapat memuat 600 orang, yang semuanya hanya untuk kalangan pejabat elite. Sebab, mereka yang hanya pegawai biasa, apalagi kaum bumiputra dilarang memasuki gedung Societeit.
“Verboden voor honden en inlander,” tertulis di gerbang, yang dalam bahasa Indonesia berarti: Anjing dan pribumi dilarang masuk.
“Di Harmonie masalah gengsi dan status sosial tanpa malu dipertontonkan. Mereka saling menyapa satu sama lain tidak dengan menyebut nama tetapi dengan angka jumlag gaji mereka setahun. Misalnya: Meener 50 ribu gulden secara merendah mengalah terhadap meener 100 ribu gulden. Memang masyarakat kolonial Belanda tidak pernah terkenal sebagai orang berperasaan halus atau pandai bersopan santun,” tulis Alwi Shahab.
Tak hanya itu, momentum memamerkan kekayaan yang paling kentara adalah saat pemerintah kolonial merayakan hari jadi Batavia ke-250 pada 29 Mei 1869. Pesta pora berlangsung selama tiga hari. Sebagai penutup, Societeit de Harmonie dipilih sebagai lokasi puncak penutupan acara dengan diadakannya pesta dansa bertopeng (gekonstumeerd). Karena itu, ruangan di Harmonie dihiasi dengan lampu Persia, mebel mewah dari Eropa, kain hiasan dinding, hingga karangan bunga, dan tanaman tropis.
Selebihnya, disediakan pula 40 meja, masing-masing untuk 12 orang. Sementara taman dihiasi dengan enam ribu lampion dan dua dekor hadiah pabrik gas dan perusahaan perkapalan. Saking mewahnya acara, mereka yang datang, bukan orang sembarangan. Mereka yang kaya dan sangat kaya saja dapat mengakses pesta dansa.
“Para tamu perempuan memperhatikan pakaian ibu pejabat tinggi itu dan memberi komentar. Kemudian lagu mars dimainkan, tanda pesta dansa dibuka. Tuan besar dengan senyum tersungging mengajak istri wakil ketua Raad van Indie (Dewan Hindia) untuk berdansa, sementara suaminya mengikuti jejak mereka. Masing-masing tahu siapa yang boleh diajak berdansa sesuai dengan kedudukan masing-masing,” tertulis dalam buku Ketoprak Betawi (2001).
Meski tempat duduk para perempuan tidak diberi nomor, mereka semua tahu tempat mereka masing-masing. Semacam ada peraturan tak tertulis di sana. Andai kata ada yang ceroboh mengambil tempat duduk itu, niscaya akan diberlakukan penurunan pangkat dan pemindahan tempat bekerja. Kalau pun tidak, maka orang tersebut akan dikenakan sanksi sosial, seperti dijauhkan dari komunitas Eropa.
Lobi jabatan
Pesta dansa tak hanya menjadi ajang pamer kekayaan pejabat Belanda semata. Banyak hal yang dapat dilakukan seperti membuat dan menghadiri pesta dansa. Pesta dansa menjadi momentum yang tepat untuk meningkatkan kedekatan dengan atasan yang berujung kepada lobi jabatan.
“Namun berdansa –seperti kebajikan—dapat diperdebatkan untuk menjadi ganjarannya sendiri. Oleh karenanya, hal ini sebagian hanya cocok untuk sistem hiburan sebagai sebuah cara untuk memperoleh kenaikkan jabata. Karena kejayaan dari prinsip ini, mengingatkan saya pada sebuah penyambutan,” cerita Augusta de Wit dalam buku Fakta dan Keindahan Tanah Jawa (2019).
Pada akhirnya, tiap adanya kabar seorang pesohor di Hindia-Belanda mengadakan pesta, yang biasanya diumumkan di surat kabar, maka, pejabat-pejabat lainnya langsung memprioritaskan agar dapat melakukan kunjungan ke pesta dansa tersebut. Tentu saja, dengan tampilan yang mampu memberikan kesan mendalam bagi empunya rumah.
BACA JUGA:
Begitu juga sebaliknya bagi pejabat Belanda yang mengundang atasannya. Untuk memberikan kesan menarik bagi bos besar, pejabat yang memiliki acara harus total dalam menyelenggarakan pesta dansa. Baik lewat dekorasi menawan, makanan melimpah, ceritu, serta minuman keras yang banyak. Semua itu untuk mengambil hati atasan, supaya keinginan naik pangkat dapat dilangsungkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
“Tentu kecuali jika tamu yang baru saja datang tersbeut adalah wanita yang kedudukannya lebih tinggi, dalam kasus ini, orang yang sebelumnya duduk di sebelah kanan akan menyerahkan tempat duduknya kepada tamu kehormatan tersebut dan puas dengan tempat duduk disampingnya,” tutup De Wit.