JAKARTA - Yogyakarta adalah wisata. Yogyakarta juga sejarah. Sebuah kota di Jawa Tengah yang memiliki daya magis luar biasa. Yogyakarta juga rumah. Wisata berbalut romantisme masa lalu mengalahkan jejak modernisasi dan kehidupan serba cepat. Ada sesuatu di Yogyakarta. Sejak dulu hingga kini. Sebuah pilihan tepat untuk berwisata di akhir tahun.
Hari ini, Yogyakarta kebagian apes buntut pandemi terhadap pariwisata. Jumlah wisatawan turun drastis. Meski begitu tak sepenuhnya Yogyakarta kehilangan daya magnetis. Sebuah survei yang digelar situs perjalanan Pegipegi menempatkan Yogyakarta sebagai destinasi wisata yang tetap populer untuk akhir tahun.
Dilansir Bisnis.com, Senin, 14 Desember, dari 1.490 responden se-Indonesia, 75 persen menyatakan merencanakan liburan akhir tahun. Ada tiga kota yang diprediksi paling banyak didatangi wisatawan, yakni Yogyakarta, Bandung, dan Bali.
Survei ini menarik, menunjukkan betapa kuatnya daya tarik Yogyakarta. Kota Gudeg punya daya magis yang bagai abadi. Bukan apa-apa, popularitas Yogyakarta sebagai destinasi liburan telah terjaga sejak abad 18. Namun ada beberapa perbedaan situasi.
Dahulu, mereka yang bisa liburan ke Yogyakarta hanya pejabat Belanda yang kaya dan sangat kaya. Jikapun ada kelompok kelas lain, mereka adalah pelancong luar negeri.
Sedari zaman kolonial Belanda, kunjungan ke Jalan Malioboro hingga Taman Sari telah menjadi titik magis berwisata di Yogyakarta. Orang-orang menjuluki Yogyakarta sebagai "degup jantung dari Pulau Jawa."
Jalan Malioboro hingga Taman Sari
Kehadiran Candi Mendut dan Borobudur jadi daya tarik utama kenapa orang-orang berkunjung ke Yogyakarta. Akan tetapi, kedua candi hanya sebatas pintu masuk saja. Yogyakarta memiliki begitu banyak daya tarik lain, dari Jalan Malioboro hingga Taman Sari.
Saking menariknya Yogyakarta, nama Jalan Malioboro begitu tertancap di ingatan pelancong luar negeri pada masanya. Sejarawan Peter Carey menggambarkan popularitas Malioboro yang kadang kala melebihi nama Keraton Yogyakarta.
Malioboro dulunya sering digunakan sebagai seremonial masuknya gubernur jenderal. Selebihnya Malioboro digunakan sebagai parade seremonial seperti defile tahunan pasukan garnisun Yogyakarta dalam perayaan Hari Angkatan Bersenjata pada 5 oktober.
Ketika parade dilangsungkan, banyak di antara penduduk dan pelancong mencoba mendekat untuk menyaksikan parade dari dekat. Kekhasan dan kemegahan parade membuat pelancong terkagum-kagum. Kebanyakan dari mereka pun tampak menyaksikan parade sembari berteduh di bawah pohon-pohon waringin tinggi.
Peter Carey tak semata-mata menilai kekaguman akan Malioboro sebatas parade yang sering dihadirkan. Ia menyebut daya magis dari Malioboro bahkan begitu kuat sejak asal-usul namanya yang berasal dari bahasa sanskerta.
“Menurut tradisi India, jalan-jalan kerajaan ini, terutama pada hari perayaan, dihiasi antara lain dengan 'malya' atau untaian (bunga). Dalam bahasa sanskerta 'dihiasi' dengan untaian bunga adalah 'mâlyabhara' atau 'mâlyabhâra'. Dan inilah asal usul nama Malioboro,” tulis Peter Carey dalam buku Asal-Usul Nama Yogyakarta & Malioboro (2015).
Atas kepopuleran Malioboro dan wisata lainnya di Yogyakarta, badan pariwisata bentukan pemerintah Hindia-Belanda, Batavia Vereeniging Toeristenverkeer menyakini kota tersebut dapat mendatangkan para pelancong luar negeri. Untuk itu, badan wisata dengan akronim BVT itu lalu mencatatkan Yogyakarta sebagai destinasi wisata wajib di kunjungi jika berkunjung ke pulau Jawa.
Lewat buku panduannya yang berjudul Java The Wonderland (1900), Yogyakarta menjadi destinasi yang banyak dibahas kala menyebut daerah Jawa tengah. “Djocjacarta (biasanya disebut Djocja; sekarang Yogyakarta dan sering disebut Yogya) tempat yang sangat sehat, dengan iklim sedang, jalan yang bersih dan indah, serta tempat berkumpul yang nyaman, sehingga membuat kesan yang menyenangkan untuk seorang pelancong,” cerita buku Java The Wonderland.
Tak hanya memuji Yogyakarta secara utuh. BVT juga mengalihkan perhatian pembaca ke Benteng Vredegug, Keraton Yogyakarta, Alun-alun dan yang paling spesial, Taman Sari. Para wisatawan, kata BVT tak boleh melewatkan kunjungan ke tempat yang berjuluk Water Castle (Istana Air). Sebab, mereka akan merugi sepanjang hidupnya.
Istana air ini menjadi andalan wisata Yogya karena dibangun langsung oleh Sultan Hamengku Buwono I yang hebat. Selengkapnya kami pernah mengulas dalam tulisan “Hikayat Taman Sari: Surga Kesunyian Sekaligus Benteng dalam Peperangan".
“Dengan setengah florin (uang logam Inggris), seorang anak laki-laki pribumi akan menunjukkan jalan melewati rerentuhan, penuh dnegan tempat-tempat yang indah, gerbang kuno, kolam yang setengahnya dipenuhi tumbuhan vegetasi, aula yang runtuh, lorong bawah tanah ecil, serta kanal, dan sebuah menara yang hancur setinggi 17 meter –-disebut labirin,” terkisah dalam Java The Wonderland.
Itulah mengapa pelancong Amerika Serikat, Eliza Ruhamah Scidmore yang berkunjung pada abad 18 menyatakan begitu menikmati momen kunjungannya ke Taman Sari. Lewat buku Java, The Garden of East (1897), ia menyebut Taman Sari sebagai taman surga di daerah tropis. Sunyinya Taman Sari membantu Eliza serasa memperoleh ketenangan jiwa.
Eliza menggambarkan berkunjung ke Taman Sari bak berada di tengah danau rahasia. Yang mana, orang-orang yang berkunjung harus mengakses sebuah terowongan rahasia untuk masuk ke dalam. Apalagi, di sini raja-raja Yogyakarta dan istri-istrinya menghabiskan waktu luang mereka untuk sejenak menikmati ketenangan dan kesunyian.
“Selebihnya, Taman Sari memiliki salah satu daya tarik yang memikat. Yakni, pada saat matahari terbenang, terlihat roman asmara yang tampak bertahan di taman, gua, dan galeri yang indah. Sampai-sampai, seseorang dapat membayangkan sejumlah legenda dan misteri percintaan raja dan istri-istrinya yang ada di Istana Air,” tambahnya.
BACA JUGA:
Tak hanya Eliza Scidmore. Ahli Studi Asia, Denys Lombard juga menyebutkan orang-orang yang dapat masuk Taman Sari terbatas pada mereka yang terpilih nan unggul. Alasannya, karena Taman Sari bukan ruang terbuka yang dapat diakses siapa saja pada dulu kala. Karena itu, lokasinya dipisahkan dari dunia luar, dunia umum, oleh tembok tinggi serta dengan penjagaan yang ketat.
“Sebuah daerah kantong, yang hanya boleh dimasuki mahluk unggul dan jika mereka masuk ke sana, mereka akan menjalani kehidupan yang lebih bersemangat sebagai tempat untuk merasakan pengalaman terpilih. Bisa dikatakan, pada akhirnya, taman ini adalah oase surgawi yang didatangi raja untuk menjalani hidup sebagai dewa,” tulis Denys Lombard dalam buku Taman-Taman di Jawa (2019).
Lantaran itu suasana magis magis dari Yogyakarta masih terjaga hingga kini. Mereka yang datang ke Yogyakarta masih merakan bak orang pilihan, juga unggul. Oleh sebab itu, untuk mengembalikan ingatan akan kunjungan ke Yogyakarta sebuah lagu legendaris rekaan Kla Project yang berjudul Yogyakarta (1991). Berikut penggalan liriknya:
Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja.