Bagikan:

JAKARTA - Masa penjajahan Belanda di Indonesia penuh dinamika. Yang paling unik adalah perilaku pemukim Belanda di Batavia. Jika di negeri asalnya rakyat Belanda umumnya pandai berhemat, di Tanah Koloni tak demikian. Orang Belanda di Nusantara sering kali hidup di atas kemewahan. Mereka suka pamer, berpesta pora, dan feodal. Sikap itu tumbuh lewat sikap para gubernur jenderal yang dikenal royal dan suka pesta.

Istilah “uang tidak berseri” erat kaitannya dengan gaya hidup para gubernur jenderal di Batavia. Pendapatan yang dimiliki seorang gubernur jenderal disinyalir lebih besar dibanding para pembesar yang ada di Belanda. Hal itu tak lain karena tak banyak orang yang mau bertaruh nyawa untuk hidup jauh dari tanah kelahiran. Apalagi, dengan iklim yang tak begitu bersahabat.

Salah satu yang paling menonjol adalah Petrus Albertus van der Parra (1761-1775). Gubernur Jenderal ke-29 itu gemar berfoya-foya. Van der Parra juga memiliki banyak rumah peristirahatan (Landhuis), di banyak tempat. Beberapa di antaranya adalah Istana Weltevreden --sekarang RSPAD Gatot Subroto, dan Rumah Cimanggis.

Tak hanya itu. Gubernur Jenderal yang sangat royal ini sering kali mengajak para pejabat hingga pembesar Batavia berpesta di rumahnya. Hal itu telah dilakukannya sedari awal Van der Parra diangkat sebagai orang nomor satu di negeri koloni.

“Tanggal 15 Mei 1761 Van der Parra diangkat Dewan Hindia-Belanda menjadi Gubernur Jenderal menggantikan Jacob Mossel. Ia merayakan pengangkatannya dengan upacara besar-besaran. Hari kelahirannya pun kemudian ia tetapkan sebagai hari pesta nasional. Dan ternyata, pola hidup mewah itu ia lakukan sampai membuat VOC gulung tikar,” tulis Windoro Adi dalam buku Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi (2010).

Pesta mewah para gubernur jenderal

Ilustrasi foto pesta di Societeit de Harmonie (Sumber: Commons Wikimedia)

Gaya hidup serba mewah para gubernur jenderal banyak terekam dalam catatan perjalanan orang-orang yang pernah melancong ke Nusantara. Mereka yang berkunjung ke Hindia-Belanda untuk mengeksplorasi keindahan wisata selalu disambut dengan baik oleh kompeni. Bahkan, para gubernur jenderal sering mengajak para pelancong untuk mengikuti pesta di kediamannya. Bagi para gubernur jenderal, memamerkan kemewahan ala Hindia-Belanda adalah cara membuat tamunya pelancong-pelancong lain datang ke Hindia-Belanda. Bagai promosi.

Dari banyaknya pelancong yang datang ke Hindia-Belanda, penulis berkebangsaan Inggris, Charles Walter Kinloch adalah salah satunya. Konon Kinloch adalah pelancong pertama yang menulis buku tentang petualangannya di Jawa. Pengalaman mengeksplorasi bumi Nusantara dalam dua bulan --Juni hingga Juli 1852-- itu mampu menginspirasi pelancong, petualang, dan pedagang Eropa lain untuk berkunjung ke Negeri Khatulistiwa.

Daerah yang dilalui Kinloch kala itu meliputi Batavia (Jakarta), Bogor, Bandung, Sumedang, Cirebon, Tegal, Banyumas, Purworejo, Magelang, hingga Semarang. Semuanya diceritakan Kinloch dengan begitu jujur. Namun, di antara banyaknya pengalaman menarik Kinloch di Hindia Belanda, momentum dirinya diundang ke pesta dansa di Istana Bogor oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Albertus Jacobus Duymaer van Twist (1851-1856) adalah yang paling dikenang.

Kinlock bersemangat. Dirinya hadir tepat waktu ke Istana Bogor. Di sana ia dibuat kagum oleh keramahan Sang Gubernur Jenderal. Saking spesialnya, Kinlock beserta teman perempuannya duduk satu meja dengan para pembesar di Batavia dan istri sang gubernur sendiri.

“Pesta makan malam ini, tentu dilakukan dengan gaya Belanda yang sebenarnya banyak hidangan kecil, dengan karakteristik biasa mereka, mentega asam dan gurih, diikuti dengan manisan, gulali, gula prem. Anggur, yang dihidangkan dalam berbagai jenis, sangat lezat; namun selera makan Inggris kami lebih memilih hidangan Inggris yang padat dan bergizi, dan kami khawatir, kami menilai dengan buruk pada makan malam paling baik yang mungkin kami temui di Jawa,” tegas Kinlock dalam catatan perjalanannya yang kesohor Rambles in Java: Pengembaraan di Tanah Jawa (1853).

Setelah makan malam, Kinlock lebih memilih untuk menimati pesona ruang musik untuk berdansa-dansi. Untuk itu, Kinlock mengakui hadir dalam pesta penguasa Hindia-Belanda sebagai pengalaman terbaiknya di Hindia. “Kami sangat senang dengan penyambutan kami di Gedung Pemerintah. Gubernur maupun istrinya memberi banyak perhatian selama petang tersebut, dan sepertinya mempelajari bagaimana cara mereka dapat membuat diri mereka sendiri sangat menyenangkan bagi kami,” tambahnya.

Tak cuma Kinlock. Penulis asal Belanda, Justus van Maurik juga merasakan kesan yang sama. Bedanya, Kinlock diajak mengikuti pesta di Istana Bogor. Sedangkan Justus mendapatkan undangan pesta dansa di Societeit de Harmonie dari Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Carel Herman Aart van der Wijck (1893-1899).

Societeit de Harmonie (Sumber: Commons Wikimedia)

Lantas, Justus langsung berkunjung ke Pasar Baru untuk berbelanja. Ia menyesuaikan tampilannya agar dapat tampil mengesankan saat berjumpa orang nomor satu di Hindia-Belanda. Lebih detail terkait Pasar baru kami pernah menulisnya dalam tulisan "Jalan-Jalan ke Pasar Baru, Melihat Sejarah Perniagaan di Masa Lalu".

“Di muka istana yang terang benderang, kereta besar-kecil menurunkan penumpangnya sebelum meluncur ke tempat parkir di belakang. Ketika kami masuk, ruang resepsi sudah penuh tamu. Ruang dalam disinari lampu gas berbentuk mahkota dan lilin-lilin dari lilin gantung. Tamannya dipenuhi lampion warna-warni. Andaikan suhu udara tak begitu panas, kita serasa berada di ruang dansa di Paris, dengan wanita-wanita cantik yang mengenakan pakaian brokat, satin, sutera, dan perhiasan gemerlapan,” cerita Justus dalam tulisannya Menonton Orang Dihukum Gantung pada buku “Ketoprak Jakarta” (2001).

Justus menambahkan bahwa dirinya semakin terkesan lagi saat tiba gilirannya untuk berjabat tangan langsung dengan Gubernur Jenderal. Kesannya berjumpa dengan Van der Wijck yang begitu ramah menjadikan pangalaman berpesta dengan Gubernur Jenderal sebagai salah satu waktu terbaiknya di Hindia-Belanda.

Namun, ada lagi pesta besar yang dikenang dalam sejarah penjajahan Belanda di Batavia, pesta itu diselenggarakan oleh Gubernur Jenderal, Pieter Mijer (1866-1872) pada 1869. Pesta yang lagi-lagi digelar di Societeit de Harmonie adalah pesta peringatan ulang tahun Batavia ke-250.  Selain diresmikannya patung perunggu pendiri Batavia, Jan Pieterszoon Coen di Waterlooplein (sekarang: Lapangan Banteng), pesta pora di Harmonie pun berlangsung tiga hari, siang dan malam.

“Banyak barang keperluan khusus sengaja didatangkan dari Belanda. Sebagai penutup diadakan pesta dansa bertopeng (gekostumeerd). Ruangan di gedung Harmonie dihiasai dengan lampu Venesia, permadani Persia, mebel mewah dari Eropa, kain hiasan dinding, serta karangan bunga dan tanaman tropis. Di dalam disiapkan 40 meja, masing-masing untuk 12 orang. Sementara itu taman dihiasi dengan 6.000 lampion. Sebuah ruangan yang supermewah,” ujar Zaenudin HM dalam buku Kisah-Kisah Edan Seputar DJakarta Tempo Doeloe (2016).