Bagikan:

JAKARTA - “Keluarlah dari hotel, seberangi salah satu jembatan Molenvliet, dan berjalanlah melalui Jalan Raya Berendracht ke Gereja Baru (Nieuwe Kerk), yang dekatnya terdapat kelenteng besar, dan dari Passer-Barhroe ke Goenoeng Sahri.”

Kalimat di atas merupakan sebuah panduan yang dimuat dalam buku Java the Wonderland (1900), sebuah buku panduan wisata tersohor pada masanya. Buku ini dibuat oleh Batavia Vereeniging Toeristenverkeer demi menerobos waktu dalam rangka menikmati keindahan-keindahan khas Hindia (Indonesia) masa lampau. Salah satu lokasi yang menjadi rekomendasi wisatawan saat bekunjung ke Jakarta adalah Passer-Barhroe, atau yang kini dikenal dengan nama Pasar Baru.

Pasar baru sendiri merupakan kawasan yang dibangun pada abad ke-19, beberapa saat setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendel (1808 – 1811) memulai gebrakan besar memindahkan pusat pemerintahan yang semula di Oud Batavia --Batavia lama atau Kawasan Kota Tua-- ke kawasan Weltevreden, wilayah sekitar Lapangan Banteng.

Oleh Daendels, Pasar Baru dibangun secara sengaja untuk memenuhi kebutuhan warga Eropa dan Belanda yang semakin banyak berdatangan ke Batavia. Bagaimana tidak, saat itu, orang Eropa sudah banyak bermukim di sekitaran Jalan Rijswijk yang sekarang dikenal dengan Jalan Veteran, Noordwijk (Jalan Juanda), Pecenongan, hingga pintu air.

Gambaran kehidupan sekitar Pasar Baru (Wikimedia Commons)

Salah satu “China Town” di Batavia

Popularitas Pasar Baru sebagai pusat perniagaan kala itu, dikonfirmasi Achmad Sunjayadi dalam buku Pariwisata di Hindia Belanda 1891–1942 (2019). Ia berucap, “Dalam buku panduan (wisata) abad ke-19 yang disusun oleh M. Buys, disebutkan bahwa para wisatawan kita berkunjung ke Batavia disarankan mengunjungi Pasar Bahroe (pasar baru), makam tionghoa, kelenteng, dan kampoeng Tjina di Kota Tua.”

Bahkan, ketenaran Pasar Baru sebagai kampung China turut diabadikan oleh serdadu Belanda, H.C.C Clockener Brousson dalam Batavia Awal Abad 20 (2004). Ia yang berkunjung pada awal abad ke-20 menumpahkan kesannya saat berkunjung ke Pasar Baru.

Brousson langsung menangkap pemandangan menarik, sebuah keramaian penduduk tionghoa ketika ia melewati sebuah jembatan dan sejenak melihat plang Pasar Baru. “Orang berpikir sangat mudah mengenali sebuah kota orang tionghoa karena susunan bangunan rumahnya serupa dengan apa yang ada di negeri asal mereka.”

Saking takjubnya Brousson, dirinya kemudian memerhatikan gevel --bagian dinding depan bangunan-- toko yang beraneka ragam warna. Gevel sendiri, menurut orang-orang Eropa sering kali dipenuhi oleh tulisan-tulisan rahasia berbahasa China dan ditulis dengan tinta-tinta emas.

“Tapi, yang paling menarik perhatian adalah keramaian dan kesibukan luar biasa di jalan. Orang tionghoa makan, minum, jual, beli, bertengkar dan bercukup di jalan umum. Di tengah-tengah persimpangan, pejalan kaki tampak ramai, kuli-kuli berteriak, nyonya-nyonya dan nona-nona berbelanja, juga tampak sado (kereta kuda) dan gerobak,” tulis Brousson.

Keramaian jalan di sekitar Pasar Baru (Wikimedia Commons)

Kawasan niaga tiada sepi

Pemandangan kawasan Pasar Baru pada tahun 1920-an sudah banyak berubah. Kendaraan bermotor mulai terlihat lalu lalang, meski terhitung jarang karena cuma dimiliki oleh orang Eropa atau pribumi kaya raya. Kala itu, sado dan gerobak yang biasa kerap terlihat mulai perlahan terpinggirkan.

Jurnalis Senior Alwi Shahab, dalam tulisan berjudul Pasar Baru di Weltevreden, mengungkap pandangan kala melihat dokumen foto suasana Pasar Baru pada tahun 1930-an. Dirinya menulis, “Keadaan bangunan tidak jauh berbeda dengan sekarang. Hanya terlihat beberapa mobil merek Morris dan Fiat tahun 1920-an yang kapnya bisa dibuka dan ditutup.”

Selain itu, Alwi Shahab juga menggambarkan keadaan masyarakat yang datang ke pasar baru terlihat santai berjalan tanpa rasa takut karena lalu lintas cukup lenggang. Ada pun wanita-wanita memakai kain batik dan kebaya yang menjadi pakaian sehari-hari kala itu. Lainnya, para pria tampil berkain sarung, baju koko, dan peci hitam.

Ketenaran Pasar Baru melanggeng hingga tahun 1970. Minimnya pembangunan mall atau pun pusat perbelanjaan modern adalah berkat bagi Pasar Baru. Menariknya, geliat perniagaan masih dapat disaksikan di Pasar Baru hingga hari ini. Walau tak seramai dahulu, Pasar Baru adalah memori yang tak bisa dilepaskan dari Jakarta.

Apalagi, toko-toko India yang sejak masa kolonial dikenal sebagai penjual tekstil yang handal masih dapat ditemukan. Sampai-sampai, gambaran pedagang tekstil itu diabadikan oleh Moctar Lubis dalam beberapa penggalan di novelnya berjudul Senja di Jakarta (1963).

“Dan Dahlia mengambil bungkusan batik yang di bawanya dari toko dapat berhutang, dan belum tahu dia bagaimana akan membayar utang-utang itu, atau disuruh bayar oleh Suryono atau juga oleh tuan toko muda langganannya, orang India di Pasar Baru, yang sudah lama mencoba-coba mendekatinya setiap kali dia datang berbelanja ke toko,” tertulis dalam novel.