Sejarah Pasar Baru: Dari Daendels untuk Belanda dan Eropa di Batavia
Pasar Baru (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Pasar Baru menyimpan sejarah panjang. Pasar baru merupakan kawasan yang dibangun pada abad ke-19, beberapa saat setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendel (1808–1811) memulai gebrakan besar memindahkan pusat pemerintahan.

Pusat pemerintahan yang semula di Oud Batavia --Batavia lama atau Kota Tua-- dipindahkan ke Weltevreden, wilayah sekitar Lapangan Banteng. Salah satu panduan wisata kesohor, Java the Wonderland menggambarkan Pasar Baru sebagai rujukan.

“Keluarlah dari hotel, seberangi salah satu jembatan Molenvliet, dan berjalanlah melalui Jalan Raya Berendracht ke Gereja Baru (Nieuwe Kerk), yang dekatnya terdapat kelenteng besar, dan dari Passer-Barhroe ke Goenoeng Sahri.”

Buku Java the Wonderland dibuat oleh Batavia Vereeniging Toeristenverkeer untuk mengabadikan keindahan-keindahan khas Hindia (Indonesia) masa lampau. Dan Pasar Baru --dahulu Passer-Baroe-- jadi salah satu lokasi yang jadi rekomendasi wajib para wisatawan saat berkunjung ke Jakarta.

Oleh Daendels, Pasar Baru dibangun untuk memenuhi kebutuhan warga Eropa dan Belanda yang semakin banyak berdatangan ke Batavia. Bagaimana tidak, saat itu, orang Eropa sudah banyak bermukim di sekitaran Jalan Rijswijk yang sekarang dikenal dengan Jalan Veteran, Noordwijk (Jalan Juanda), Pecenongan, hingga pintu air.

Kawasan niaga yang tak pernah sepi

Di tahun 1920-an, pemandangan kawasan Pasar Baru dipenuhi kendaraan bermotor. Ya, meski terhitung jarang karena cuma dimiliki orang Eropa atau pribumi kaya raya. Kala itu, sado dan gerobak yang biasa terlihat mulai terpinggirkan.

Jurnalis senior, Alwi Shahab, dalam tulisan Pasar Baru di Weltevreden, mengungkap pandangan kala melihat dokumen foto suasana Pasar Baru pada tahun 1930-an. Dirinya menulis: Keadaan bangunan tidak jauh berbeda dengan sekarang. Hanya terlihat beberapa mobil merek Morris dan Fiat tahun 1920-an yang kapnya bisa dibuka dan ditutup.

Selain itu, Alwi Shahab juga menggambarkan keadaan masyarakat yang datang ke Pasar Baru. Mereka terlihat santai berjalan tanpa rasa takut karena lalu lintas cukup lenggang.

Ada pun wanita-wanita memakai kain batik dan kebaya yang menjadi pakaian sehari-hari kala itu. Lainnya, para pria tampil berkain sarung, baju koko, dan peci hitam.

Ketenaran Pasar Baru melanggeng hingga tahun 1970. Minimnya pembangunan mal atau pusat perbelanjaan modern adalah berkat bagi Pasar Baru.

Geliat perniagaan masih dapat disaksikan di Pasar Baru hingga hari ini. Walau tak seramai dahulu, Pasar Baru adalah memori yang tak bisa dilepaskan dari Jakarta.

Apalagi, toko-toko India yang sejak masa kolonial dikenal sebagai penjual tekstil yang handal masih dapat ditemukan. Sampai-sampai, gambaran pedagang tekstil itu diabadikan oleh Moctar Lubis dalam beberapa penggalan di novelnya berjudul Senja di Jakarta (1963).

Dan Dahlia mengambil bungkusan batik yang di bawanya dari toko dapat berhutang,

Dan belum tahu dia bagaimana akan membayar utang-utang itu,

Atau disuruh bayar oleh Suryono atau juga oleh tuan toko muda langganannya,

Orang India di Pasar Baru,

Yang sudah lama mencoba-coba mendekatinya setiap kali dia datang berbelanja ke toko.

*Baca Informasi lain soal MASA PENJAJAHAN BELANDA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya