JAKARTA - Bagi Belanda, membangun sebuah istana sebagai pusat pemerintahan merupakan wujud kebesaran di tanah jajahan. Karenanya, sejak pertama menaklukkan Jayakarta dan menggantinya menjadi Batavia pada 1619, pembangunan Kasteel Batavia jadi yang utama bagi kompeni. Akan tetapi, eksistensi Kasteel Batavia di Oud Batavia (Batavia Lama) tak lama. Sebagai gantinya, kompeni membangun istana yang megah di Nieuw Batavia (Batavia Baru) bernama Het Witte Huis atau Istana Putih.
Pembangunan istana yang juga dikenal sebagai Grote Huis mengambil lokasi di Weltevreden, kawasan sekitar Lapangan Banteng. Lokasi tersebut secara sengaja dipilih oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1809-1811) sendiri. Menurutnya, lokasi tersebut cukup strategis dan jauh dari wabah penyakit. Apalagi, ambisi Deandels memindahkan pusat pemerintarahan dari Oud Batavia (Batavia Lama) ke Nieuw Batavia sedang meninggi.
Alih-alih memesan bahan bangunan baru, Daendels yang terkenal dengan julukan Marsekal Guntur memerintahkan penghancuran seluruh bangunan di Oud Batavia, termasuk Kasteel Batavia. Lalu, dari puing-puing bangunan di Oud Batavia, Daendels membangun kawasan Weltevreden. Dikutip Alwi Shahab dalam buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia (2013), meski terdapat banyak bangunan yang dibangun Daendels, perhatian khusus tempak lebih tercurahkan kepada Istana Putih.
“Daendels membangun gedung megah ini sebagai tempat tinggal para Gubernur Jeneral yang diberi nama De Witte Huis (Gedung Putih). Letaknya di depan Lapangan Banteng, lapangan kedua terluas di Batavia setelah Koningsplein (kini Monas),” ungkap salah satu tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta, Alwi Shahab.
Tak tanggung-tanggung, Daendels menunjuk Kolonel JC Schulze untuk menjadi arsitek dari Istana Putih. Penunjukan tersebut karena Daendels percaya betul Schulze merupakan salah satu arsitek kesohor di zamannya. Salah satu karya penting dari Schulze lainnya adalah Societeit de Harmonie. Lengkapnya pernah kami ulas dalam tulisan Societeit De Harmonie dan Gemerlap Eksklusivitas Sosialita Zaman Belanda.
Oleh Schulze, perihal merancang Istana Putih dijadikannya sebagai tantangan baru. Lewat keseriusannya, Sang Kolonel kemudian memahami kemauan Daendels dan menerjemahkannya dalam tiga bentuk bangunan besar berlantai dua. Ketiga bagunan tersebut antara lain, induk, sayap kanan, dan sayap kiri yang berdiri sejajar mengadap Lapangan Banteng.
Lantaran Daendels merupakan representasi dari Napoleon Bonaparte di Hindia Belanda, Schulze akhirnya mengadopsi gaya 'empire style', yang mana gaya itu sedang populer di Paris pada zamannya. Keputusan itu diambil Schulze karena sesuai dengan cita-cita Sang Marsekal Guntur yang ingin membangun kawasan Weltevreden serupa kawasan Istana Versailles di Paris.
Sayangnya, Daendels tak sempat menikmati hidup di dalam Istana Putih. Hal itu karena pembangunan Istana Putih yang juga dikenal sebagai Grote Huis memakan waktu yang lama. Alhasil, selama memerintah Hindia-Belanda, Daendels banyak menghabiskan waktu tinggal di Istana Bogor. Kalau pun turun ke Batavia, Daendels saat itu banyak tinggal di Istana Rijswijk (Istana Negara) yang kesohor dengan istilah Hotel van den Gouverneur-Generaal atau hotelnya para gubernur jenderal.
Sempat mandek
Pada akhirnya, Daendels meninggalkan Hindia-Belanda karena dipanggil kembali oleh Napoleon pada 1811. Kala itu Napoleon menjadikan Daendels sebagai komandan benteng Modlin di Polandia. Dampaknya, pembangunan Istana Putih menjadi mandek. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jan Willem Janssens, pengganti Daendels tampak tak serius membangun Istana Putih.
Begitupun saat tajuk pemerintahan berpindah tangan kepada Gubernur Jenderal, Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Raffles tampak nyaman memerintah Hindia-Belanda dari Buitenzorg (Bogor) dan sesekali mengunjungi Batavia dan tinggal sementara waktu ketika terdapat rapat besar di Istana Rijswijk. Jadinya, Raffles enggan melanjutkan proyek Istana Putih.
Kelak, pada 1826, semasa Gubernur Jenderal Leonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies (1826-1830) Istana Putih secara serius dibangun. Du Bus langsung mengaet Ir. Tromp sebagai arisitek baru. Berkat keseriusannya Du Bus. Proyek tersebut rampung hanya dalam waktu dua tahun saja setelah mandek 20 tahun lebih. Du Bus bahkan mematri papan bertulis –MDCCCIX-Condidit Daendels, MDCCCXXVIII-Erexit Du Bus– sebagai bentuk prasasti lahirnya Istana Putih.
Lantas, banyak orang kemudian menjadikan Istana Putih sebagai ikon baru Batavia. Setiap orang yang melihat langsung terkagum-kagum dengan bangunan kolonial berwarna putih tersebut. Salah satu yang kagum adalah serdadu Belanda, H.C.C. Clockener Brousson. Dalam bukunya berjudul Batavia Awal Abad 20 (2017), Clokener dengan semangat menjelaskan secara rinci apa saja isi dari Istana Putih.
BACA JUGA:
“Di dalamnya sekarang digunakan untuk kantor pemerintahan seperti Kementerian Urusan Perang, Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, dan Kementerian Industri. Sementara itu, terdapat juga sebuah ruang pertemuan besar Raad van Nederland Indie (Dewan Hindia-Belanda). Di lantai bawah dijumpai ruangan provost garnisun dan pasukan penembak. Bangunan ituma tempat penjagaan militer di sini diatur sedemikian rupa seperti Paleis op de Dam di Amsterdam,” ungkap Clockener.
Walaupun pembangunan memerlukan kerja keras dari dua orang arsitek, ide bangunan dengan Empire Style tampat begitu dipertahankan. Terlihat dari penggunaan lisplang di atas semua dinding. Barisan pilaster (tiang tempelan) pada dinding. Ukuran jendela sebesar pintu, dan simetri gedung yang ketat. Karena ciri khas itulah, Istana Putih erat dengan Empire Style.
“Kata Prancis empire berarti kekaisaran. Dimaksudkan zaman kekaisaran Napoleon I di Prancis (1804-1815). Bangunan megah dan mewah (Istana Putih) digunakan untuk memuliakan kebesaran kekaisaran. Hingga sekarang bangunan ini tetap berfungsi sebagai gedung pemerintahan yakni sebagai Kementerian Keuangan,” pungkas Olivier Johannes Raap dalam buku Kota di Djawa Tempo Doeloe (2017).