Bagikan:

JAKARTA - Pesona Batavia awab abad ke-18 begitu kesohor. Bahkan banyak seniman Belanda dibuat jatuh cinta dengan keindahan dan romantisme Batavia. Salah satu pengabadian paling dikenal adalah lukisan seniman Johannes Rach.

Lukisan jadi medium utama mengabadikan keelokan Batavia kala itu, selain sketsa dan litografi, hingga teknologi fotografi muncul pada 1850, setidaknya. Terkait Rach, ia adalah perwira artileri Vereenigde Oostindische Compagine (VOC).

Rach lahir di Copenhagen, Denmark pada 1720. Sejak kecil ia sudah menunjukkan bakat lukisnya lewat hobi menggambar. Namun, bakat itu dimatangkan saat Rach bertemu pelukis Istana Denmark, Peter Wichmann (1706-1769). Dari Wichmann, Rach mendalami seni lukis.

Singkat cerita, Rach kemudian pindah ke Belanda pada 1750. Rach kala itu mengikuti hasratnya untuk menjadi pelukis terkenal di Haarlem. Namun Rach tak puas dengan pencapaiannya. Ketidakpuasan itu membawa Rach menjadi seorang prajurit penembak di bawah panji kongsi dagang Belanda, VOC pada 1760. Sebagai prajurit, Rach ditempatkan selama dua tahun di Tanjung Harapan, Afrika Selatan, hingga kemudian dipindahkan ke Batavia, wilayah koloni Belanda lainnya.

Alwi Shahab dalam buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia (2013) menjelaskan kemampuan melukis Rach seketika membius para petinggi kompeni di Batavia. Rach mujur. Mimpinya menjadi pelukis kenamaan menemui kenyataan di Kota Kanal. Saking besarnya nama Rach, orang-orang tajir Eropa sampai harus mengisi daftar tunggu untuk meminjam kelihaian Rach.

Saat itu Rach hanya membuat lukisan basah karena kemampuannya melukis tanpa sketsa. Selanjutnya, Rach perlahan-lahan melukis tiap sudut kota yang didirikan oleh Jan Pieterszoon Coen dari kurun waktu 1762 hingga 1783. Objeknya macam-macam, mulai dari rumah peristirahatan gubernur jenderal VOC, balai kota, gereja, rumah sakit, hingga kehidupan sosial di Batavia.

Lukisan Rach (Sumber: Commons Wikimedia)

“Rach juga menggambarkan kehidupan sehari-hari di Batavia, seperti gereja dan kuil China. Para ulama Islam tengah bercakap-cakap, para pedang Arab di sisi Ciliwung, dan petani Jawa sedang membawa hasil-hasil panen. Seluruhnya terdapat 202 lukisan Rach yang disimpan oleh Perpustakaan Nasonal RI, bekerja sama dengan Rijkmuseum di Belanda,” ungkap Alwi yang merupakan salah satu toko penting dalam penulisan sejarah Jakarta.

Tak hanya itu. Rach juga turut melukis benteng, Pasar Meester Cornelis (Jatinegara), Pasar Senen yang masih beratap rumbia, serta pedati yang ketika itu merupakan transportasi utama di Batavia. Detailnya pernah kami tulis dalam tulisan Senin di Pasar Senen. Bahkan Rach juga sempat melukis kemeriahan pesta pora pelantikan gubernur jenderal serta eksistensi orang Tionghoa di Batavia.

“Sebuah lukisan karya Johannes Rach menunjukkan bahwa rumah-rumah China di daerah Senen terbuat dari kayu dengan dinding bambu. Atap biasanya ditutupi daun pohon kelapa. Rumah-rumah ini hanya satu lantai dan dibangun memanjang,” tulis buku Masa Lalu Dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia (2007).

Pada akhirnya, kecintaan Rach pada Kota Benteng memaksanya menetap di Batavia hingga ajal menjemput. Rach meninggal dunia di kediamannya di Jalan Roe Malaka, Batavia. Makam Rach hingga kini masih dapat dikunjungi di Museum Prasasti Jalan Tanah Abang I, Jakarta Pusat.

Karya lukis nan abadi

Lukisan Rach (Sumber: Commons Wikimedia)

Walau telah lama meninggal dunia, karya Rach bagai abadi. Banyak nostalgia yang dapat ditangkap dari lukisan-lukisan Rach. Bahkan, karya Rach dijadikan panduan dalam proyek restorasi Oud Batavia (Kota Tua). Proyek tersebut dijalankan untuk mengembalikan kekhasan megahnya suasana Kota Batavia.

“Berkat karya-karya Johanes Rach dan para asistennya yang menggambarkan secara terperinci seluruh sudut Batavia pada abad ke-18, kita misalnya bisa membayangkan bagaimana wujud asli bangunan-bangunan di daerah Kota (Oud Batavia) kini. Beberapa waktu lalu, misalnya. Sewaktu membuat terowongan di depan Stasiun Beos (Stasiun Kota), para tukang menemukan ada pagar di bawah tanah,” ungkap Seno Joyo Suyono dan Anton Septian dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Batavia Sebelum Kamera (2007).

Kala pemerintah DKI Jakarta melakukan pemugaran Taman Fatahillah pada 1990-an, lagi-lagi lukisan karya Rach berperan penting. Lukisannya tahun 1770 jadi rujukan. Lewat lukisan Rach, penggarap proyek mampu memastikan bagaimana bentuk pancuran air yang dulu berada di tengah alun-alun. Alhasil, dalam sebuah penggalian yang dilakukan, otoritas berhasil mengungkap dasar asli air mancur yang berada di depan Museum Sejarah Jakarta.

Lewat puing-puing yang ditemukan itu pula air mancur dibangun kembali. Sisa-sisa fondasi asli yang ditemukan kemudian dijadikan dasar membangun air mancur. Namun, tak semua bernasib sama. Sederet gedung tua yang telah dihancurkan pada masa pemerintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1807-1811), termasuk Kasteel Batavia tak dapat dibangun kembali.

Oleh sebab itu, akses generasi kekinian melihat sisa kejayaan Batavia pada abad ke-18 menjadi terbatas. Untungnya, di tengah keterbatasan itu, sederet lukisan dari Johannes Rach dapat menjawab rasa ingin tahu akan gambaran Batavia tempo dulu. Kalau pun lukisannya tak banyak berseliweran di internet, maka cara terbaik memuaskan rasa ingin tahu adalah mendatangi Perpustakaan Nasional Indonesia. Sebab, di sanalah terdapat seluruh dokumentasi lukisan karya Johannes Rach dari 1720 hingga 1783.