Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 383 tahun yang lalu, 6 Agustus 1640, Maskapai dagang Belanda, VOC melarang kaum bumiputra tinggal di dalam Kota Batavia. Kaum bumiputra hanya dibolehkan berkunjung saja, itupun harus dengan surat jalan.

Sebelumnya, hasrat Kompeni memonopoli perdagangan rempah tiada dunia. Empunya kuasa kemudian menaklukkan banyak wilayah di Nusantara. Jayakarta, salah satunya. Kompeni kemudian mengusir kaum bumiputra dan mengubah Jayakarta jadi Kota Batavia.

Jan Pieterszoon Coen adalah sosok penting dalam tumbuh kembang VOC. Ahli ekonomi itu telah berpikir jauh ke depan. Ia melihat Kompeni takkan besar jika tidak memiliki negeri koloni. Upaya itu kemudian diwujudkan Coen ketika ia menjadi Gubernur Jenderal VOC pada 1619.

Niat hati Coen ingin menjadikan Banten sebagai negeri koloni. Belakangan, Coen justru mengalihkan pilihan ke vasal Kesultanan Banten, Jayakarta. Wilayah Jayakarta dianggap Coen cocok sebagai negeri koloni karena lokasi yang strategis.

Coen pun memainkan peran. Ia mencoba menawarkan persahabatan dan kerja sama kepada penguasa setempat. Kompeni pun dibolehkan membangun gudang dan benteng. Fasilitas itu nyatanya menjadi senjata utama Kompeni menyerang empunya rumah.

Kompeni dan Coen dapat menang pada 1619. Sekalipun Coen sempat kabur ke Maluku untuk mengambil pasukan lebih banyak. Segala macam bangunan di Jayakarta dihancurkan Kompeni. Di atas puing-puing itulah Coen merencanakan negeri koloni. Kota Batavia, namanya.

Sketsa pemandangan rumah sakit dan gereja di Batavia karya Johannes Rach. (Wikimedia Commons)

Seluruh penduduk Jayakarta (kaum bumiputra) segera diusir. Coen ingin menjadikan Batavia sebagai pemukiman penting orang Eropa dengan laku hidup beradab. Pun sebagai bagian penting dari rencana monopoli rempah-rempah VOC.

“Hasrat untuk kemurnian yang kadang-kadang mirip kesucian mendorong Coen, atau siapa pun, untuk menegakkan hidup yang eksklusif. Pada 1619 ia menghancurkan Jayakarta (Jacatra). Dimusnahkannya dua bangunan yang jadi pusat kota: kabupaten dan masjid.”

“Di atas puing-puingnya ia dirikan ‘Kasteel Batavia’ yang segera jadi sebuah ruang isolasi. Penduduk asli sudah meninggalkannya, orang Jawa dilarang tinggal, dan di sekitarnya hutan berisi binatang buas,” cerita Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul JPC (3 Juli 2016).

Pembangunan Kota Batavia bukan hal yang mudah. Waktu yang digunakan untuk mambangun cukup lama. Pembangunannya pun tak bisa digodok Coen seorang. Gubernur Jenderal VOC pengganti Coen lalu ikut menyempurnakan Kota Batavia sebagai negeri koloni.

Alhasil, Kota Batavia pun jelas butuh banyak peraturan yang mengikat warganya. Semuanya demi kenyaman dan keamanan bersama. Kompeni pun membuat salah satu aturan penting. Aturan tak lain melarang kaum bumiputra untuk tinggal di dalam Kota Batavia pada 6 Agustus 1640.

Pelarangan itu dilanggengkan karena kehadiran kaum bumiputra yang kerap disebut mereka orang Jawa mengganggu stabiltas. Namun, kaum bumiputra hanya tak boleh tinggal saja. Barang siapa yang ingin berkunjung diperbolehkan, asalkan mendapatkan izin dari pemangku kuasa.

“VOC juga tidak bisa membedakan apakah orang yang datang ke Kota Batavia itu orang Banten, orang Mataram, atau orang Jawa dari kawasan lain. Di mata penguasa VOC itu, semuanya adalah orang Jawa yang mereka sebut: Javanen (kemudian langgeng dikenal sebagai kaum bumiputra).”

“Aturan yang dikeluarkan 6 Agustus 1640 melarang Javanen tinggal di Batavia. bahkan dilarang masuk ke areal kasteel Batavia, kecuali didampingi seorang pejabat yang mengurus izin masuk,” terang Sejarawan Moha Lohanda dalam buku Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (2007).