Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 399 tahun yang lalu, 3 Agustus 1624, maskapai dagang Belanda, VOC mengirim utasannya ke Kerajaan Mataram. Kedatangannya itu dengan maksud menjalin persahabatan dan kerja sama perdagangan beras.

VOC tak lupa membawa banyak hadiah untuk penguasa Mataram, Sultan Agung. Kuda Arab, salah satunya. Sebelumnya, penaklukkan Jayakarta oleh Kompeni membawa kehebohan di Pulau Jawa. Kerajaan Mataram pun mulai mencium gelagat tak baik dari kehadiran Kompeni.

Kuasa Kompeni melanggengkan monopoli perdagangan rempah di Nusantara tiada dua. Empunya kuasa memanfaatkan segala macam cara untuk mencapai mimpi itu. Jalan perang, salah satunya. Opsi itu dilanggengkan Kompeni kala merebut kuasa Jayakarta pada 1619.

Kompeni mati-matian ingin menguasai Jayakarta. Semuanya karena Jayakarta berada di lokasi yang stategis. Alias cocok dijadikan sebagai negeri koloni. Keinginan itu diwujudkan oleh Jan Pieterszoon Coen. Gubernur Jenderal itu membawa kompeni menang.

Seisi Jayakarta luluh lantak dan Kompeni membangun kota baru di atas reruntuhan vasal Kesultanan Banten. Kota Batavia, namanya. Berita VOC menjadi penguasa baru di salah satu wilayah Pulau Jawa cepat menyebar.

Penggambaran Sultan Agung yang diperankan aktor Ario Bayu dalam film "Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta. (Instagram)

Kerajaan Mataram yang dielu-elukan sebagai penguasa Pulau Jawa berang bukan main. Mereka menganggap tuan-tuan kulit putih memiliki niatan mengacaukan daerah kuasanya. Karenanya, kehadiran Kompeni harus diwaspadai.

Kehadiran Kompeni bahkan dianggap banyak mudarat ketimbang manfaat. Narasi itulah yang membuat kedua belah pihak sulit melanggengkan kerja sama. Kalaupun terjadi, maka kerjasama yang dilakukan tak sesuai keinginan kedua pihak.

“Penaklukan Coen atas Batavia pada tahun 1619 merupakan titik balik yang menentukan. Pihak Belanda kini telah melakukan apa yang telah diperingatkan oleh Sultan Agung untuk tidak mereka lakukan: mereka telah merebut suatu bagian Pulau Jawa yang ingin diperintahnya sendiri sebagai penguasa tunggal.”

“Selama 10 tahun, Sultan Agung memberikan prioritas pada usaha penaklukan lawan-lawannya yang bangsa Jawa yang lebih dekat dengan Mataram. Di pihaknya, Coen sempat mempertimbangkan dijalinnya sebuah persekutuan dengan Surabaya pada tahun 1619-1620, tetapi gagasan itu ditinggallkannya,” terang Sejarawan, M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).  

Kepentingan akan perdagangan beras akhirnya membuat Kompeni luluh. Mereka terpaksa mulai melanggengkan siasat supaya Kerajaan Mataram mau bersahabat dan bekerja sama dengan Kompeni. Niatan itu muncul dari pengganti Coen, Pieter de Carpentier.

Potret Penguasa Mataram, Sultan Agung Anyakrakusuma. (Wikimedia Commons)

Gubernur Jenderal itu lalu mengirim utusan Kompeni ke Mataram pada 3 Agustus 1624. Utusan Kompeni itu dipimpin oleh Jan Vos. Pengiriman Jan Vos membawa misi yang jelas. Kompeni ingin menjalin persahabatan dan kerja sama dengan Mataram.

Sederet hadiah pun dibawakan untuk penguasa Mataram, Sultan Agung. Hadiah yang paling mencolok adalah sebuah kuda arab. Hadiah kuda itu dianggap mampu meluluhkan hati Sultan Agung supaya mau bekerja sama, sekalipun hal itu tak pernah terjadi di era Sultan Agung. Sebab, Sultan Agung justru tertantang melawan VOC dikemudian hari.

“Namun, karena sangat membutuhkan beras, maka pada tanggal 3 Agustus 1624, VOC atau Kompeni Belanda mengirimkan utusan ke Kerajaan Mataram. Utusan VOC ini dipimpin oleh seorang opperkoopman (kepala pembelian) yang bernama Jan Vos. Utusan ini tidak lupa membawa hadiah-hadiah yang menyenangkan untuk Sultan Agung Anyakrakusuma, antara lain seekor kuda Arab yang bagus.”

“Seperti diketahui, memiliki dan memelihara kuda yang baik adalah salah satu kegemaran dan keutamaan bagi seorang bangsawan Jawa pada waktu itu. Rupanya orang-orang Belanda sudah mulai memperhatikan serta mengetahui apa-apa yang menjadi kegemaran dan keutamaan kaum bumiputra,” terang Sagimun M.D. dalam buku Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi (1988).