Resensi Buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia - Pesona Jakarta dari Kacamata Penulis Empat Zaman
Ilustrasi (VOI/Detha Arya Tifada)

Bagikan:

JAKARTA - Sejak zaman dulu Jakarta menjadi kota yang diperebutkan banyak negara, mulai dari Portugis, Inggris, Prancis, hingga Belanda. Kota itu bukan cuma menjadi sentra bisnis tapi juga pusat pemerintahan. Oleh karena itu, hikayat Jakarta tempo dulu bukan hanya membawa kita pada nostalgia, namun juga menjadi medium pembelajaran terkait arti penting Jakarta. 

Gagasan itulah yang dihadirkan oleh penulis sejarah Jakarta, Alwi Shahab dalam beberapa bukunya. Jakarta tempo dulu mendominasi topik buku-buku dari pria yang akrab disapa Abah Alwi ini. Salah satunya tertulis dalam bukunya yang berjudul Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia (2013).

Abah Alwi piawai dalam menulis sejarah Jakarta. Tulisan-tulisannya terasa begitu nyata. Tak mengherankan sebenarnya. Pasalnya, Alwi menjadi saksi hidup sejarah perkembangan Jakarta sejak zaman Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, hingga hari ini, era reformasi.

Abah Alwi menyebut Jakarta sejak zaman Batavia adalah monumen dari bangsa ini. Baginya, cerita-cerita yang digarapnya merupakan bagian yang dapat memperkaya pengetahuan akan sejarah Jakarta.

Dalam Belanda Mabuk Lahirlah Batavia (2013), Abah Alwi mengangkat topik beragam dari sejarah Jakarta. Mulai dari asal-usul nama Batavia, asal-usul kawasan Ragunan, cerita dari pelukis terkenal Johannes Rach, hingga kemegahan dari hotel legendaris yang pernah menjadi ikon Jakarta dalam waktu yang lama, Hotel Des Indes.

Semua itu Alwi tuturkan untuk menegaskan bahwa masa silam begitu penting, dan begitu bagus, sehingga tiap orang paling tidak punya keberanian untuk mencari tahu. Itulah yang membuat gambaran sejarah Jakarta tak cuma hitam putih, tapi berwarna.

Asal-usul Batavia

Tonggak kolonialisme di Indonesia dimulai dari ditaklukkannya Jakakarta pada 1619. Penaklukkan itulah yang membuat Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen ingin menamakan kota yang ia taklukkan dengan nama De Hoorn. Nama tersebut diambil dari kota kelahiran Coen di Belanda Utara.

Namun, sebelum Coen sempat mengusulkan nama itu, dalam sebuah pesta kemenangan atas Jayakarta, seorang serdadu VOC  yang tengah mabuk lalu meneriakkan kata-kata “Batavia,Batavia.” Singkat cerita disematkanlah nama Batavia pada sebuah kota yang dibangun dari puing-puing Jayakarta ini.

Melihat fakta itu, Coen kesal. Berulang kali dirinya coba mengubahnya. Kendati demikian Coen tak berhasil. Para pimpinan VOC di Belanda yang menyebut diri mereka Heeren Zeventien lebih menyetujui nama Batavia dibanding De Hoorn seperti usulan Coen.

Usut punya usut, nama Batavia adalah nama yang berasal dari nenek moyang bangsa Belanda, suku Batavier. Lebih lengkapnya kami telah mengulas dalam tulisan “Asal-usul Nama Batavia: Pesona Jakarta yang Memancing Perang Empat Kekuatan.” 

Asal-usul Ragunan

Selain asal-usul nama Batavia, Abah Alwi juga mengulas asal-usul Ragunan. Bagi awam, nama Ragunan sering dianggap sebagai sebuah kebun binatang yang berada di dalam Ibu Kota Jakarta. 

Namun, sesungguhnya ragunan adalah sebuah kawasan besar yang dimiliki oleh seorang Belanda bernama Hendrik Lucaasz Cardeel. Cardeel adalah sosok yang diberikan gelar Pangeran Wiraguna oleh Sultan Haji atas jasanya kepada Kerajaan Banten.

“Pada tahun 1675 terbetik berita, bahwa sebagian dari Keraton Surasowan Banten, tempat bertakhta Sultan Ageng Tirtayasa, terbakar. Dua bulan kemudian, datanglah Hendrik Lucaasz Cardeel, seorang Juru bangun, yang mengaku melarikan diri dari Batavia. kepada Sultan, selain menyatakan kesiapannya untuk membangun kembali keraton yang terbakar itu, ia juga menyatakan keinginannya untuk memeluk islam,” tertulis di halaman 15.

Detailnya telah kami ulas pada tulisan “Jejak Pangeran Wiraguna di Ragunan.” Singkat cerita, Cardeel pun kembali ke Batavia. Dalam beberapa waktu Cardeel sempat mengabdi kepada Kompeni sampai akhirnya ia meninggal dunia pada 1711. Nama Pangeran Wiraguna kemudian diabadikan sebagai nama kawasan Ragunan. Sang tuan tanah pertama abadi di kawasan itu.

Pelukis kondang

Alwi tak hanya membahas sejarah Jakarta dari segi geografis. Ia juga membahas salah seorang pelukis paling kesohor di Batavia, Johannes Rach.

Pada era kolonial Belanda, gambaran keindahan kota Batavia sukar dicari. Sebab, kala itu industri fotografi belum muncul. Untuk itu, orang-orang yang ingin melihat Batavia tempo dulu hanya dapat menyaksikan lukisan dari ragam pelukis yang tinggal di Batavia. salah satunya yang kesohor adalah Johannes Rach.

“Untunglah ada Johannes Rach yang memiliki keahlian melukis dalam bentuk sketsa yang diambil dengan tinta dan kuas. Sang perwira dengan keahliannya itu, selama bertugas di Batavia sejak 1762 telah melukis berbagai sudut kota Batavia yang kala itu merupakan kota berbenteng,” hadir di halaman 31.

Atas jasanya itulah, orang-orang dapat mengetahui keindahan dari kota yang berjuluk Ratu dari Timur. Kecintaannya Rach akan Batavia membawanya untuk terus menetap di kota yang dicintainya ini. 

Sampai-sampai, dirinya juga meninggal dunia di Batavia pada 4 Agustus 1783 di kediamannya di Jalan Roe Malaka. Bahkan, makamnya hingga kini masih bisa ditemui di Museum Prasasti Jalan Tanah Abang I, Jakarta Pusat. 

Kemegahan Des Indes

Selain itu, Abah Alwi juga membahas soal bangunan ikonik di zaman londo. Hotel Des Indes yang telah hadir sedari tahun 1829 tampak masuk dalam radar Abah Alwi. Baginya, Des Indes merupakan hotel paling penting dan menjadi ikon Batavia.

“Des Indes merupakan hotel yang plaing baik di Batavia. di belakangnya masih tampak atap tinggi dari gudang utama, sebuah gudang bertingkat. Sedangkan di depannya terdapat sebuah pohon beringin yang dianggap keramat oleh masyarakat,” tulisnya di halaman 227.

Sayangnya, kejayaan Des Indes berakhir di awal 1970-an. Hotel yang dulunya banyak ditempati korps diplomatik dan tamu asing itu dibongkar dan dijadikan pertokoan Duta Merlin. Hotel yang banyak diidamkan menjadi cagar budaya itu takluk dengan kebijakan pemerintah kala itu.

Kiranya, itulah beberapa bahasan yang ada di buku. Meski begitu, dalam buku ini masih terdapat banyak ulasan lainnya terkait Jakarta tempo dulu. Seperti sejarah kawasan Ancol, Toko Merah, Glodok dan lain sebagainya.

Kini Abah Alwi memang telah tiada, namun karya-karya tetap abadi. Untuk itu, kami pun sempat mengabadikan sosok Abah Alwi dalam tulisan “Mengenang Jurnalis Sekaligus Penulis Literasi Sejarah Jakarta Alwi Shahab.” 

Detail buku:

Judul Buku: Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia

Penulis: Alwi Shahab

Terbit Pertama Kali: 2013

Penerbit: Buku Republika

Jumlah Halaman: 268