Resensi Buku <i>Jakarta 1950-1970</i> – Gambaran Jakarta Tempo Dulu dari Kacamata Anak Menteng
Ilustrasi (Foto: VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Generasi kekinian boleh saja memandang Jakarta sebagai kota dengan 1001 masalah. Ruang hijau yang diserobot, rawa yang dibangun pusat perbelanjaan, macet, dan polusi menjadi sebagai masalah dari kota yang pernah berjuluk Ratu dari Timur. Oleh sebab itu, tiap generasi kekinian yang hendak keluar rumah, membuka kaca jendela mobil, atau mengunjungi kampung padat penduduk, mereka akan berjumpa dangan problema tersebut.

Akan tetapi, masalah-masalah di atas belum begitu akrab pada Jakarta di tahun 1950-an hingga 1970-an. Hal itu bahkan telah ditunjukkan lewat catatan harian Firman Lubis yang telah dibukukan berjudul Jakarta 1950-1970 (2018). Dalam buku tersebut, Firman mencoba menuangkap pengalamannya sehingga para pembaca dapat terbawa ke Jakarta tempo dulu, terlebih lagi masalahnya.

Pada awalnya, buku itu memang telah diterbitkan secara terpisah menjadi tiga buku. Yakni, Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja dan Jakarta 1960-an: Kenangan Semasa Mahasiswa diterbitkan pada 2008. Buku ketiga adalah Jakarta 1970-an: Kenangan Sebagai Dosen yang diterbitkan pada 2010. Kendati demikian, Berdasarkan pertimbangan penerbit, Masup Jakarta, ketiga buku kemudian sunting kembali menjadi satu supaya dapat menyasar pembaca golongan milenial.

Strategi tersebut terbilang ampuh. Catatan harian yang awalnya ingin disebut autobiografi, justru tampil memikat terkait lantaran penceritaan yang detail nan rapi. Firman yang seorang dokter kesehatan ilmu lingkungan secara perlahan-lahan menceritakan lingkungannya, keluarganya, tetangganya, sekolahnya, hingga sejarah kehidupan sehari-hari orang Jakarta pada era 1950-1970an.

Sebagai seorang anak kampung yang tinggal di pinggiran Menteng, Jakarta Pusat, Firman tak hanya mengulas ragam peristiwa bersejarah saja. melainkan lebih mengangkat terkait sejarah kehidupan orang Jakarta. Mulai dari sejarah Jakarta sebagai kota multikultural, tentang becak sebagai raja jalanan, tentang loji setan yang dikenal sebagai Gedung Bappenas, hingga ragam monumen-monumen yang di bangun Bung Karno untuk membangkitkan nasionalisme bangsa Indonesia.

Jakarta Kota Multikultural

Senada dengan yang pernah diungkap oleh peneliti asal Australia, Lance Castle yang menyebut Jakarta sebagai panci pelebur identitas warga nusantara. Maka, Firman pun berucap begitu. Menurutnya, sudah sejak lama Jakarta menjadi tempat bermukimnya bermacam-macam etnis dari seluruh nusantara.

Untuk menguatkan pandangannya, empunya tulisan mengadirkan kembali lembaran sejarah Jakarta semasa masih bernama Batavia dan dipimpin oleh Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen. Setelah Batavia didirikan oleh Coen pada 1619, beragam suku nusantara didatangkan olehnya. Beberapa di antaranya ada yang datang sendiri, serta banyak pula yang dapat sebagai pekerja atau budak.

“Sejarah kedatangan penduduk dari luar Jakarta itu terbukti dari munculnya berbagai daerah atau kampung yang menggunakan nama asal etnis itu di Jakarta, seperti Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar, Kampyng Bugis, Matraman, Kampung Bali dan sebagainya, yang banyak penduduknya kemudian melebur menjadi orang Betawi,” tulisnya di halaman 31.

Becak Si Raja Jalanan

Jauh sebelum adanya Bus TransJakarta, yang menjadi moda transfortasi favorit warga Jakarta ialah becak. Kala tahun 1950-an, becak menjadi salah satu transportasi umum yang banyak sekali digunakan oleh masyarakat Jakarta untuk berpergian. Saking populernya, jumlah becak sempat menyentuh angka 25 ribu pada tahun 1051. Itulah mengapa becak hampir dapat ditemukan pada tiap sudut Jakarta sehingga dijuluki raja jalanan.

“Harga sewanya pun relatif murah, sehingga becak menjadi kendaraan rakyat. Untuk menaikinya, kita harus tawar-menawar dengan si abang penarik becak. Kalau waktu hujan, harga sewanya menjadi lebih mahal, dua atau tiga kali dari biasa,” ungkapnya di Halaman 75.

Namun, kehidupan abang becak tak selaras dengan meningkatnya angka pertumbuhan becak di Jakarta. kebanyakkan, nasib mereka terperangkap dalam pusaran kemiskinan. Apalagi umumnya, abang becak bukanlah si empunya becak karena hanya menyewa becak dari pengusaha.

Loji Setan Atau Gedung Bappenas

Selain berfungsi sebagai gedung pertemuan anggota Freemason Hindia-Belanda, Gedung Adhuc Stat atau yang kini dikenal sebagai Gedung Bappenas juga berfungsi volksbibliothek atau perpustakaan rakyat. Oleh Firman, diceritakan terkait adanya sebuah ruangan besar di Gedung Adhuc Stat paruh pertama dekade 1950-an, yang digunakan sebagai sebuah perpustakaan.

“Rupanya kebiasaan membuka perpustakaan ini merupakan sisa dari zaman kolonial oleh organisasi swasta. Karena saya memang senang membaca dan perpustakaan ini tak jauh dari rumah saya, saya masuk menjadi anggotanya dan sering pergi ke perpustakaan ini untuk membaca dan meminjang buku ke rumah,” ujar Firman pada halaman 151.

Firman turut menjelaskan sebuah aturan, bahwa peminjaman buku tak boleh berjumlah lebih dari tiga dalam satu kali peminjaman. Sehabis meminjam, Firman kemudian membaca sebagian buku di Taman Suropati. Sisanya dilanjutkan di rumah.  Lebih lanjut lagi soal perpustakaan kami telah mengulasnya lebih dalam lewat tulisan “Loji Setan: Gedung Bappenas dalam Sejarah Freemason Nusantara.” (https://voi.id/memori/15601/loji-setan-gedung-bapenas-dalam-sejarah-freemason-nusantara )

Monumen-monumen di Jakarta Era Bung Karno

Saat awal Indonesia merdeka, Presiden Soekarno tak hanya fokus dalam membangun infrastruktur. Sebab, dirinya pula turut terjun dalam membangun identitas baru Jakarta dengan membuat patung dan monumen. Beberapa di antaranya Monumen Nasional (Monas), Patung Selamat Datang, Patung Dirgantara, dan Monumen Pembebasan Irian Barat.

“Monumen yang paling spektakuler tentulah Monumen Nasional atau Monas di Jalan Medan Merdeka. Gagasan membangun monumen ini dicetuskan Bung Karno pada akhir 1956 karena terinspirasi Monumen Nasional di Washington ketika dia berkunjung ke Amerika pada yang sama,” hadir di halaman 217.

Kiranya, itulah beberapa hal yang telah kami ulas dari buku ini. Meski begitu, banyak hal lainnya yang menarik tak sempat kami ulas seperti program Keluarga Berencana (KB), Orang Kaya Baru (OKB) masa awal kemerdekaan di Jakarta, Hotel Des Indes, Perploncoan di UI zaman dulu, pelacuran di Jakarta, dan lain sebagainya.

Terakhir, untuk mengenang empunya buku, maka pendapat Firman terkait menulis sejarah dapat menjadi penutup yang menarik. kata Firman, sejarah tentu tak selalu harus dituliskan para sejarawan saja. “Sejarah dapat ditulis juga oleh siapa pun yang memang tertarik dan berminat menuliskannya menurut sudut pandangnya. Sejarah juga tak selalu harus mengenai raja, ratu, negarawan, atau peperangan saja, tetapi juga penting ihwal kehidupan masyarakat biasa.”

Detail:

Judul Buku: Jakarta 1950-1970

Penulis: Firman Lubis

Terbit Pertama Kali: 2018

Penerbit: Masup Jakarta

Jumlah Halaman: 472