Bagikan:

JAKARTA - Jauh sebelum Indonesia merdeka, perkumpulan Freemason sempat menjadi organisasi paling kesohor di Hindia-Belanda. Hal itu dilihat dari pertemuan rutin yang dilangsungkan oleh anggotanya. Mereka pun menyebut tempat pertemuan itu sebagai loji. Uniknya, masyarakat lokal sering menyebut loji sebagai rumah setan. Salah satu rumah setan yang paling terkenal kala itu adalah Gedung Bappenas di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.

Berdasar sejarah, Gedung Bappenas atau Gedung Adhuc Stat merupakan salah satu dari 25 loji yang tercatat hadir di Jakarta hingga 1930-an. Gedung Adhuc Stat sungguh istimewa. Gedung ini dibangun oleh arsitek Ir. F.J.L Ghisel dengan nama biro arsitek dan kontraktor Algemeen Ingenieurs en Architecten Bureau (AIA) pada 1925.

“Inilah bekas logegebouw, posisi istimewa balai perkumpulan loji dalam lay-out Menteng menampakkan posisi penting para vrijmetselaar (anggota Freemason), suatu organisasi internasional yang merahasiakan sebagian kegiatannya supaya memperoleh pengaruh besar,” ungkap Adolf Heuken SJ dan Grace Pamungkas dalam buku Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia (2001).

Secara arsitektur, Adhuc Stat menampakkan arsitektur tegas. Bagian tengahnya yang memanjang dan mengimbangi arah vertikal itu diapit oleh kedua menara solid yang kekar. “Kesan tegap-kuat di garis bawahi oleh atap memanjang yang kurang tinggi. Penyusunan jendela berderet yang semuanya bersegi bersegi empat, sedikit meringankan tampak muka,” kata Adolf.

Pendirian Loji yang bertempat di dekat Burgemeester Bisschopplein –-Taman Suropati sekarang-- merupakan keistimewaan lain. Nama Bisschop sendiri diambil dari nama salah seorang anggota Freemason Hindia-Belanda yang juga walikota pertama Batavia (1916-1920). Selain itu, taman ini bahkan telah menjadi tempat di mana warga Batavia menghabiskan waktu berlibur.

Rimbunnya pepohonan serta sejuknya udara membuat kawasan ini selalu ramai. Mau tak mau banyak orang yang sedang belibur di taman penasaran dengan apa saja aktivitas dari anggota Freemason Hindia-Belanda. Terkait Burgemeester Bisschopplein, kami sempat mengulasnya dalam tulisan “Mengenal Taman Suropati, Paru-Paru Jakarta Sejak Zaman Kompeni”.

Alhasil, desas desus mulai muncul di antara masyarakat, bahwa di bangunan tersebut sering kali dilakukan sebuah ritual. Salah ritual yang santer dibicarakan adalah pemanggilan arwah. Dari situlah tertanam di benak masyarakat bahwa loji adalah rumah setan.

Padahal, kegiatan anggota Freemason tak melulu bersifat ritual. Dalam tiap pertemuan yang bersifat religius, para anggota sering membahas filsafat, problem masyarakat, serta ekonomi-sosial. Sebagaimana diungkap Dr. Th. Stevens dalam buku Tarekat Mason Bebas di Hindia-Belanda dan Indonesia 1764-1962 (2004), perkumpulan tersebut dapat menjadi titik tolak dari pemikiran yang meyakini tak ada satu pun manusia yang sempurna.

“Dengan mengolah dirinya sendiri, manusia dapat menjadi manusia yang lebih baik cita-citanya, kubus yang murni, tersembunyi dalam wujud dirinya sendiri dan hanya menunggu untuk dibebaskan,” tutur Stevens.

Sebagai perpustakaan

Selain berfungsi sebagai gedung pertemuan, loji juga berfungsi sebagai volksbibliothek atau perpustakaan rakyat. Dikutip Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018), sebuah ruangan besar di Gedung Adhuc Stat paruh pertama dekade 1950-an itu digunakan sebagai sebuah perpustakaan.

“Rupanya kebiasaan membuka perpustakaan ini merupakan sisa dari zaman kolonial oleh organisasi swasta. Karena saya memang senang membaca dan perpustakaan ini tak jauh dari rumah saya, saya masuk menjadi anggotanya dan sering pergi ke perpustakaan ini untuk membaca dan meminjang buku ke rumah,” ujar Firman Lubis.

Firman turut menjelaskan sebuah aturan, bahwa peminjaman buku tak boleh berjumlah lebih dari tiga dalam satu kali peminjaman. Sehabis meminjam, Firman kemudian membaca sebagian buku di Taman Suropati. Sisanya dilanjutkan di rumah.  Seingatnya, buku-buku yang tersedia di perpustakaan Adhuc Stat cukup lengkap dan bagus. Rata-rata berasal dari penerbit Balai Pustaka atau penerbit Belanda yang masih beroperasi di Indonesia, J.B. Wolter.

“Misalnya buku-buku karangan Sutan Takdir Alsjahbana, Nur Sutan Iskandar, Abdul Muis, Sanusi Pane, Armijn Pane, Selasih, dan lain-lain. Juga buku-buku terjemahan ke dalam bahasa Indonesia seperti karya-karya Shakespeare, Moliere, Mark Twain, Karl Mat, Alexandre Dumas, Cervantes, buku-buku karangan Tolstoy, Chekov, BebVuyk, dan banyak lagi pengarang beken lainnya,” Firman.

Perpustakaan tersebut cukup populer dan digandrungi oleh anak muda masa itu, sebab sekolah-sekolah di Jakarta belum ada yang memiliki perpustakaan. Lantas, dengan hadirnya perpustakaan di Adhuc Stat, setiap orang bisa menjadi anggota dan mengakses banyak bacaan yang dapat membuka cakrawala berpikir.

Jadi Gedung Bappenas

Gedung Adhuc Stat akhirnya beralih fungsi, seperti banyak gedung bersejarah lain di Menteng. Sebut saja, Gedung Kunstkring dan Gedung Boplo, yang masing-masing pernah kami ulas di “Memori Gedung Kunstkring sebagai Istana Seni di Zaman Hindia-Belanda” dan “Gedung Boplo, Bangunan Milik Belanda yang Kini Menjelma Jadi Masjid Cut Meutia"

Perlahan, perkumpulan Freemason di Indonesia menghilang. Titik puncaknya diyakini tahun 1961. Perkumpulan tersebut tercatat sudah 200 tahun hadir di Nusantara. Soekarno yang kala itu berkuasa merasa perkumpulan tersebut tak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan.

Pelarangan tersebut berimbas pada beralih fungsinya Gedung Adhus Stat menjadi Kantor Dewan Perencanaan Nasional. Lalu, sempat menjadi mahkamah militer yang mengadili tokoh-tokoh Gerakan 30 September (G30S) pada 1966. Barulah, pada tahun 1967 gedung tersebut secara paripurna menjadi kantor Bappenas sampai sekarang.

Bagi mereka yang ingin mengenang betapa jayanya perkumpulan Freemason di Indonesia, maka mereka dapat bertandang langsung ke Taman Suropati untuk melihat dari dekat Gedung Bappenas. Bersamaan dengan itu, Anda dapat menikmati sejuknya “Eksklusivitas Menteng sebagai Kawasan Hunian Modern Pertama di Indonesia”.

Selebihnya, orang-orang dapat mengenang betapa berpengaruhnya perkumpulan Freemason pada pergerakan nasional Indonesia. Hal itu dapat dimaknai lewat puisi dari salah seorang anggota Freemason, Rudyard Kipling berjudul The Ballad of East and West (1889). Lewat puisi itu, orang-orang menjadi paham bahwa perkumpulan ini menjadi salah satu organisasi yang berani merangkul seluruh kelas sosial, tanpa membedakan warna kulit, lalu belajar, dan berdiskusi bersama.

O, Timur tetaplah Timur, dan Barat tetaplah Barat,

Tak pernah keduanya mungkin bertemu,

Sampai tiba hari di mana Bumi dan Langit menghadap

Kursi Pengadilan Allah,

Tapi tidak ada artinya Timur ataupun Barat,

Batas, asal ataupun usul

Kalau dua lelaki kuat berdiri saling berhadapan

Walaupun mereka datang dari ujung dunia yang bertentangan.

(penggalan puisi The Ballad of East and West).