Bagikan:

JAKARTA - Menstruasi adalah siklus kehidupan bagi perempuan, namun kadang untuk beberapa kalangan, membahas hal ini adalah hal yang tabu. Ini juga terjadi saat zaman Holocaust di Eropa pada pertengahan abad 20.

Kala itu, menstruasi tidak terlalu diperbincangkan karena dianggap memalukan. Ini yang membuat perempuan yang ada di camp Holocaustcast sering telat menstruasi karena stres dan tertekan.

Namun, di sisi lain, masalah menstruasi bisa menolong mereka dari pelecehan karena haid adalah hal yang menjijikan saat itu.

Pada masa itu, menstruasi juga menjadi penyambung pertemanan antara perempuan karena mereka akan saling membantu untuk menangani siklus bulanan ini.

Melansir historiatoday.com, Erna Rubinstein (17), seorang Yahudi Polandia, bercerita dalam memoarnya, The Survivor in Us All: Four Young Sisters in the Holocaust (1986), saat masuk ke kamp (Auschwitz, Jerman), ​​para tahanan (perempuan) diberi pakaian tak berbentuk dan kepalanya dicukur. Mereka kehilangan berat badan, termasuk dari pinggul dan payudara, dua area yang umumnya dikaitkan dengan feminitas.

"Apa itu perempuan tanpa kemuliaan di kepalanya, tanpa rambut? Dan, seorang perempuan yang tidak menstruasi?" kata dia.

 

Sementara, Trude Levi (20), seorang Yahudi-Hungaria yang berprofesi sebagai guru perawat, juga mengenang, "Kami tidak punya air untuk mencuci diri, kami tidak punya pakaian dalam. Kita tidak bisa ke mana-mana. Semuanya menempel pada kami, dan bagi saya, itu mungkin hal yang paling tidak manusiawi dari segalanya". Kala itu, banyak perempuan menjalankan masa menstruasi yang tidak manusiawi. 

Cerita lain berasal dari Julia Lentini (17), dia seorang Romani yang menghabiskan waktu di bagian dapur saat di kamp konsentrasi di Auschwitz, menceritakan soal cara dia bertahan hidup saat menstruasi. 

"Kamu merobek slip pakaian dalam yang diberikan kepadamu, lalu dibuat kain lap kecil, dan lap itu kamu jaga seolah-olah emas. Kamu akan mencucinya, meletakannya di bawah kasur dan mengeringkannya. Kamu harus menjaganya, kalau tidak itu akan dicuri," kata dia.

Selain itu, seringkali juga ada eksperimen yang disuntikkan ke rahim perempuan, tapi kalau perempuan tersebut sedang menstruasi dokter akan membatalkan eksperimen. 

Suatu hari, seorang perempuan bernama Elizabeth Feldman, mendapatkan jadwal untuk menjadi bahan eksperimen. Dia yang tak ingin menjadi bahan eksperimen, lalu meminjam pakaian adiknya yang bekas menstruasi dan bilang kalau dia lagi menstruasi. Percobaan eksperimen ini pun dibatalkan.

Cerita lain berasal dari, Tania Kauppila, saat berusia 13 tahun, dia menstruasi untuk pertama kali. Dia tidak tahu apa yang terjadi dan meneteskan air mata. Dia takut mati dan tidak tahu harus berbuat apa. Lalu, beberapa perempuan lain di kamp mengajari tentang menstruasi. Gadis-gadis muda itu diajari cara menanganinya dan apa yang perlu mereka lakukan untuk mengatasi aliran darah menstruasi tadi sebelum mereka mengalami amenorea, suatu kondisi ketika perempuan tidak mengalami menstruasi atau datang bulan.