Bagikan:

JAKARTA - Ada ikatan istimewa antara Belanda dengan etnis Tionghoa. Sejak awal kompeni menaklukkan Jayakarta pada 1619, dua bangsa ini selalu menjalin hubungan harmonis. Terlebih di mata Gubernur Jenderal VOC Jan Poeterszoon Coen. Orang Tionghoa adalah anak emas.

Bagi Coen yang menjabat pada 1619-1623 dan 1627-1629, sifat pekerja keras orang Tionghoa adalah berkah. Mereka bisa memberi Belanda banyak keuntungan. Berbagai hak istimewa diberikan Coen pada orang-orang Tionghoa.

Salah satunya adalah pembangunan rumah sakit khusus orang Tionghoa, Yangju Yuan pada 1640. Rumah sakit yang dibangun di Batavia itu, dalam terjemahan dapat bermakna rumah sakit untuk orang miskin.

Denys Lombard, dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya Volume II (2005), menjelaskan pendirian rumah sakit itu adalah sedikit dari beberapa bentuk kemakmuran yang didapat orang Tionghoa di Batavia. Ini adalah cara Belanda membelai warga kelas dua yang berperan penting dalam pergerakan ekonomi di Batavia.

“Kita tahu bahwa dalam tahun 1640, masyarakat China di Batavia memiliki rumah sakitnya sendiri. Dan berkat bermacam-macam kekayaan, rumah sakit itu bertahan hingga abad ke-18,” tulis Lombard.

Kapitan China ke-2, Phoa Bing Gam adalah sosok yang berjasa di balik pembangunan rumah sakit. Ia adalah inisiator pendirian rumah sakit yang berlokasi di Jalan Tiang Bendera I, Kota Tua (Oud Batavia).

Alwi Shahab, dalam buku Batavia Kota Hantu (2009) memperkuat penjelasan itu. Katanya, berkat kapitan China kaya raya tersebut seluruh orang China kemudian tergerak dan bahu-membahu mendirikan rumah sakit China untuk membantu kaum miskin kota.

Orang Tionghoa di Batavia (Sumber: Wikimedia Commons)

Biaya keperluan rumah sakit itu diambil dari beberapa persen pungutan pajak yang dikenakan kepada seluruh orang China, termasuk biaya pajak kepala yang diberlakukan sejak 9 Oktober 1620. Empat tahun sejak diinisiasi, rumah sakit China itu berdiri.

Bangunan berdiri dalam bentuk yang amat sederhana. Bangunannya terbuat dari struktur bambu berpadu tembok batu. Beberapa waktu setelahnya, sekitar 1661 hingga 1667, renovasi dilakukan. Orang-orang China dengan soliditas luar biasa bahu membahu memperbaiki struktur bangunan rumah sakit menggunakan dinding batu bata.

Tahun 1729, bangunan bahkan diperluas. “Rumah Sakit China ini sangat lengkap. Bahkan dikatakan lebih baik dari rumah sakit yang dibangun Belanda,” kata Alwi Shahab.

Namun, bentuk bangunan memang bukan perkara penting. Rumah sakit itu dikenal sial. Seperti rumah sakit Belanda --kini Museum Bank Indonesia-- yang memiliki bangunan lebih baik, kedua rumah sakit itu kerap dijuluki lubang kubur. Sebab, pasien yang datang berobat kerap kali tak mendapat sehat, melainkan kematian.

Bahkan, dibanding rumah sakit milik Belanda yang terlihat lebih bagus, rumah sakit China justru diisi oleh dokter-dokter yang lebih berpengalaman. Selain itu, rumah sakit China juga dilengkapi fasilitas yang lebih baik.

“Di antara mereka terdapat para dokter Cina yang sungguh baik, yang terutama memahami denyut nadi dan analisis dalam mendiagnosa penyakit pasien dan menyembuhkannya,” ungkap seorang pegawai VOC yang bermukim di Batavia pada akhir abad ke-17, Johann Wilhelm Vogel dalam jurnal Leben und Schicksale des berühmten Reisebeschreibers Johann Wilhelm Vogel (1912).

Cerita kelam

Sayang, rumah sakit China tak berumur panjang. Peristiwa pembantaian orang China yang dikenal dengan peristiwa "chinezenmoord" tahun 1740 turut jadi akhir hayat rumah sakit. Kala itu, semua orang yang berobat di rumah sakit ikut menjadi korban balas dendam VOC, yang sehari sebelumnya melawan pemberontakan Etnis China.

Para pasien rumah sakit dibantai oleh VOC, tak peduli wanita, orang tua ataupun anak-anak. Gambaran rinci terkait peristiwa itu diungkap G.B Schwarzen dalam buku Reise in Oost-Indien (1751). Ia menulis pengalamannya terjebak dalam peristiwa yang juga dikenal dengan istilah geger pacinan.

“Siang hari pukul satu, kota mulai terbakar karena ulah orang China. Sebab, mereka hendak membakar diri sendiri daripada jatuh ke tangan VOC. Sering kali sampai lima orang menggantung diri pada balok-balok rumah mereka. Parahnya lagi, pembantaian berlanjut kepada rumah sakit yang dimiliki oleh orang China. Kami disuruh membunuh semua pasien selain orang buta,” ungkap Schwarzen.

Tercatat, sepuluh ribu orang China menjadi korban pembantaian dalam peristiwa tersebut. Seisi kota Batavia banjir darah. Jalanan penuh mayat dan beberapa di antara mayat dibuang di kali sehingga air kali berubah menjadi merah.

Permukiman warga Tionghoa di Batavia (Sumber: Wikimedia Commons)

Selepas pembantaian itu, rumah sakit China dibiarkan kosong untuk beberapa dekade. Namun, pada akhirnya rumah sakit itu dibongkar oleh gementee (pemerintah daerah) sesaat setelah Belanda mendirikan rumah sakit besar yang bernama Centrale Burgelijke Ziekenhuis (CBZ). Pascakemerdekaan, rumah sakit itu berganti nama menjadi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusomo.

Belakangan, diketahui alasan pemerintah kolonial Belanda membongkar bangunan rumah sakit itu karena empunya bangunan memiliki utang verponding yang telah berjalan puluhan tahun. Akan tetapi, generasi sekarang masih tetap dapat melihat jejak kebesaran Rumah Sakit China meski tak lagi dalam bentuk bangunan.

Lukisan Johannes Rach (1720-1783) jadi pengabadian rumah sakit itu. Dalam sketsa yang bertajuk Het gezigt van het Spinhuys met het Seneese Hospitaal staande op de Spinhauys Gragt af te zien van de hoek aan de terse Straat, kita dapat melihat bentuk rumah sakit China pada abad ke-18. Bersamaan dengan itu, mereka juga dapat melihat rupa rumah pembinaan bagi wanita jalang yang berada tepat di sebelahnya.

Lukisan Johannes Rach rumah sakit China (Sumber: Perpusnas RI)