JAKARTA - Cerita "Geger Pacinan 1740: Banjir Darah Tionghoa di Batavia" tak bisa dilepaskan dari jejak sejarah Ibu Kota Indonesia. Dalam perkembangan, Kota Batavia yang berjuluk Ratu dari Timur pernah jadi saksi kekejaman Belanda yang diskriminatif kepada orang China. Pemberontakan pun meletus. Namun, kompeni enggan takluk. Mereka justru melakukan serangan balik yang membuat lebih dari sepuluh ribu orang China kehilangan nyawa.
Tragedi menyerupai genosida itu berawal dari kongsi dagang Belanda, VOC yang kalah saing dengan kongsi dagang inggris, East India Company (EIC). Hal itu kemudian berimbas pada krisis di perkebunan gula milik orang China di Batavia. Belanda mengambil tindakan segera membatasi produksi gula. Akibatnya, pengangguran dari warga China meningkat.
Atas inisiasi dari Dewan Hindia kala itu, Gustaaf Willem Baron van Imhoff, kompeni kemudian mencoba mendeportasi orang China ke perkebunan Sri Lanka untuk alasan keamanan. Langkah itu kemudian disambut dengan kabar angin yang menyebut para pengangguran sengaja dikirim untuk dibunuh di tengah lautan dengan cara ditenggelamkan.
Mendengar hal itu, orang China langsung menyingkir ke hutan, menghimpun kekuatan, lalu gigih menggelorakan pemberontakan melawan Belanda. Pemberontakan itu membuat kompeni berang. Tepat 9 Oktober 1740, pukul 11.00, Belanda menumpas semua orang China di Batavia dengan Brutal. Tak pandang usia dan kelamin, semua dibantai. Bahkan, banyak anak yang disembelih.
Surat kabar Selompret Melajoe, dalam tulisan berjudul Boenoe di Taon 1740 menggambarkan betapa kekejian kompeni telah melewati batas paling brutal. “Tua-muda, orang perempuan, anak-anak tiada satu dapat ampun. Maka dalam seketika saja air kali sudah penuh darah. Terus tiga hari lamanya, rakyat China di Betawi sudah dibunuh, delapan hari lamanya dari tanggal 11 hingga 19 Oktober mayat mereka itu dilempar dalam Kali CIliwung, sebagian dimakan buaya terus hanyut ke laut,” tertulis dalam edisi 2 November 1992.
Dari banyaknya yang terlibat pembantaian, satu nama muncul sebagai sosok paling bertanggung jawab. Ia adalah Gubernur Jenderal VOC Adriaan Valckenier. Ia yang memerintah dari 1737–1741 memberi restu untuk pembantaian tersebut.
Siapa Adriaan Valckenier
Adriaan Valckenier lahir di Amsterdam, Belanda pada 6 Juni 1695. Adriaan lahir di tengah keluarga pejabat. Ayah Adriaan bekerja sebagai anggota Dewan Kota sekaligus pejabat VOC di Belanda. Maka, setelah lelah merintis karier di kota kelahirannya, Adriaan mencari tantangan baru dengan menetap di Hindia (Indonesia).
Hal itu langsung ia wujudkan saat menginjakkan kaki pertama kali di Batavia pada 21 Juni 1715. Berkat relasi dari orang tuanya, Adriaan bekerja dan mengabdi untuk VOC di Batavia. Seperti yang sudah banyak ditebak oleh petinggi di Belanda, karier Adriaan di Hindia berjalan dengan begitu mulus. Selain kekuatan relasi, Adriaan juga memiliki kecerdasan istimewa.
Pada 1739, Adriaan diangkat menjadi anggota Dewan Hindia atau yang dikenal sebagai parlemen luar biasa VOC. Saking lihainya Adriaan memainkan mesin politik, dalam waktu tiga tahun ia berhasil menjadi anggota dewan secara penuh.
Kariernya terus menanjak, hingga di usia 41 tahun, Adriaan bergabung dalam tim penasihat Gubernur Jenderal VOC saat itu, Abraham Patras (1735–1737). Jalannnya menjadi penasihat membuka jalan buru untuk Adriaan meraih posisi lebih tinggi.
Tanggal 3 Mei 1737, Abraham Patras yang tua meninggal dunia. Momentum itulah yang dimanfaatkan secara maksimal oleh Adriaan untuk naik jabatan menjadi Gubernur Jenderal VOC ke-25. Adriaan pun jadi penguasa tertinggi di Hindia.
Sosok sembrono
Kecakapan Adriaan dalam berpolitik entah tertinggal di mana. Di posisi gubernur jenderal, Adriaan malah gagap. Kala meletusnya pemberontakan, Adriaan penuh ragu. Ia tak memiliki ketegasan. Argumentasi dan keputusannya selalu mentah di hadapan anggota Dewan hindia. Adriaan pun diserang. Ia dianggap sembrono dan ceroboh.
Dikutip dari buku Tionghoa di Batavia dan Huru Hara 1740 (2010), yang ditulis Johannes Theodorus Vermeulen. Dijelaskan sejumlah indikasi yang menunjukkan bahwa Adriaan tak mampu mengendalikan warga Batavia pada saat pembantaian berlangsung.
“Hal ini terlihat dari tindakan pasukan pengawal yang bergerak ke dalam kota tanpa diperintah, pasukan kavaleri yang tampak memberontak di bawah pimpinan Weerman dan upaya sia-sia untuk menghentikan perusakan dan perampokan,” cerita Vermeulen.
Dalam tuduhan lainnya, Adriaan konon malah secara sadar dan tegas dianggap mendukung terjadinya pembantaian. Dalam hal itu, Adriaan dituduh telah mengusulkan pembersihan semua warga China dan menggeledah rumah mereka. Adriaan berkelakar bahwa semua warga di dalam kota memang bersekongkol dengan pemberontak.
Padahal, pembantaian yang terjadi di dalam Kota Batavia justru memakan korban dari warga China yang tak ada sangkut-pautnya dengan pemberontak. “Hal itu terjadi akibat lemahnya pemerintah. Kelemahan ini terjadi akibat perpecahan internal. Pemerintahan yang ragu-ragu dan kurang berhati-hati serta tidak mampu memberikan arahan dalam situasi mencekam itu.”
Pada akhirnya, dalam sidang Dewan Hindia, mosi tidak percaya diajukan kepada Adriaan pada 16 Oktober 1740. Ia pun langsung mengundurkan diri dan berencana kembali ke Belanda. Namun, karena sakit Adriaan turun di Cape Town, Afrika Selatan untuk beristirahat sampai pulih guna melanjutkan kembali perjalanan ke Belanda.
BACA JUGA:
Sementara itu, Gustaaf Willem Baron van Imhoff kembali ke negeri Belanda untuk menghadapi tuntutan hukum yang diajukan oleh Adriaan kepadanya. Sebagaimana yang diungkap oleh Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik (2003), hasil sidang malah sebaliknya. Heeren XVII –pemilik VOC— pun menganggap seteru abadi Adriaan, Van Imhoof sebagai Gubernur Jenderal baru VOC menggantikan diirnya.
“Sidang juga mengirim perintah ke Cape Town agar segera menangkap mantan Gubernur Jenderal Adriaan Valckeiner untuk dikembalikan ke Batavia guna diperiksa dan dimasukkan ke penjara yang sama, tempat dia menahan Kapitan China, Ni Hoe Kong di atas kubu Robin di benteng Batavia (1742-1751),” ungkap Benny.
Kendati demikian, pemeriksaan terkait Adriaan berlangsung berbelit-belit nan berkepanjangan, bahkan, hampir mencapai angka 10 tahun lamanya. Adriaan pun telah mengajukan dokumen pembelaan yang demikian tebalnya sehingga tak ada satu orang pun yang sanggup memperlajarinya. “Akhirnya, pada 20 Juni 1751, Adriaan meninggal dunia dan pemeriksaan terhadap dirinya ditangguhkan.”