Jatuh Bangun Pasar Tanah Abang
Suasana Pasar Tanah Abang tempo dulu (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Geliat perputaran uang hingga Rp200 Miliar per hari menjadikan Pasar Tanah Abang sebagai pusat grosir tekstil terbesar di Asia Tenggara. Namun, uang bukan satu-satunya faktor. Tanah Abang yang jaya, yang mampu mendatangkan banyak orang dari pelosok Nusantara, nyatanya sudah berlangsung sejak masa kolonial Belanda.

Cerita Pasar Tanah Abang bermula dari dibangunnya sebuah kanal oleh Kapitan China, Phoa Bing Ham pada 1648. Kanal tersebut dibuatnya dengan cara menyodet Sungai Ciliwung. Menariknya, kala kanal bernama Molenvliet selesai dibangun, kehadirannya cukup berguna untuk memperlancar angkutan hasil hutan serta mempercepat perkembangan daerah tersebut.

Oleh sebab itu, tertariklah seorang pejabat VOC nan kaya raya bernama Justinus Vinck untuk membeli tanah di Pusat Batavia dari tuan tanah terkenal Cornelis Chastelein. Setelah melakukan perundingan, Chastelein akhirnya melepas tanah tersebut dengan harga yang disepakati sebesar 39.000 ringgit pada 1733.

Setelah memiliki tanah, tak lama kemudian insting bisnis Vinck kemudian bermain. Oleh karenanya, terpikirlah untuk membuat dua buah pasar: Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang. Keduanya dibangun atas izin dari Gubernur VOC Abraham Patras yang memerintah tahun 1735 hingga 1737.

Dikutip dari buku Alwi Shahab, Saudagar Baghdad dari Betawi (2004), dijelaskan: Berkat karya Phoa Bing Ham inilah, Justinus Vinck membangun Pasar Tanah Abang. Petinggi VOC ini memiliki tanah bejibun di Batavia, sekaligus membangun dua buah pasar Pasar Tanah Abang diresmikan bersamaan dengan saudara kembarnya Pasar Senen, 30 Agustus 1735.

Walau belum sebesar sekarang, Pasar Tanah Abang yang hanya buka pada hari Sabtu, awalnya dibangun secara sederhana oleh Vinck. Beratap rumbia dan berdinding gedek atau anyaman bambu. Pun aktivitas jual beli yang dilakukan kala itu masih hanya sebatas menjual tekstil dan kelontong.

Pedagang di Pasar Tanah Abang (Wikimedia Commons)

“Dahulu, di depan pasar ini terdapat toko-toko milik Tionghoa dengan arsitektur China. Sementara, para pedagang Betawi banyak berjualan sate kambing, sop, gulai, dan nasi uduk. Di tempat parkir sekarang ini, dulunya terdapat tukang kue putu yang kesohor di seluruh Jakarta. Karena di Tanah Abang banyak terdapat pemakaman, para peziarah sering membeli bunga yang banyak terdapat di depan pasar sekarang ini,” tulis Alwi Shahab.

Meski begitu, kehadiran Pasar Tanah Abang terhitung cukup spesial. Perkembangan pasar berperan besar dalam terbangunnya peradaban kecil di Kampung Tanah Abang. Oleh G.J. Nawi, penulis buku Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi (2016), dijelaskan bahwa pembangunan pasar tak lain untuk menampung segala limpahan hasil perkebunan di daerah itu. seperti dari Kebon Kacang, Kebon Melati, Kebon Pala, yang kini telah menjadi nama kampung.

Jatuh bangun

Selama lima tahun berdiri, Pasar Tanah Abang tak henti-hentinya menghadapi kemalangan. Salah satunya adalah saat peristiwa serangan atas perintah dari Gubernur Jenderal VOC Adriaan Valckenier (1731 - 1741) pada 8 oktober 1740 ke wilayah itu.

Serangan tersebut merupakan jawaban atas perilaku agresif orang-orang Tionghoa di Tanah Abang terhadap pos jaga VOC sehari sebelumnya. Atas peristiwa itulah orang-orang mengenalnya dengan istilah "Chinezenmoord", yang berarti "pembunuhan orang Tionghoa". Atau yang lebih dikenal dengan istilah “geger pacinan.”

Rekaman akan geger pacinan sempat digambarkan oleh Iksaka Banu dalam cerpennya yang berjudul Bintang Jatuh (2012). Pada penggalan cerpennya, Iksana menulis kepanikan orang China yang kala itu ketakutan karena diburu oleh pemerintah kolonial.

“Orang Belanda, lebih dari seratus jumlahnya, bersama para kelasi dan kuli bumiputra, berlari di belakang gerombolan besar orang Tionghoa tadi. Tidak, bukan berlari beriringan. Mereka memburu, seperti sekawanan singa gunung menggiring gerombolan bison di padang prairie,” tulis Iksaka.

“Dalam hitungan menit, di kiri-kanan jalan, di selokan, serta terutama di sungai, berjejal lapis demi lapis tubuh kuning pucat. Luluh-lantak,” tambahnya.

Suasana Tanah Abang tempo dulu (Wikimedia Commons)

Kejadian itu pun menjalar ke Pasar Tanah Abang, sebab di sanalah tempat dari orang China banyak berdagang dan bertempat tinggal. Mau tak mau, mereka menjadi bulan-bulanan serangan pasukan VOC yang menggunakan meriam sebagai senjata utama untuk memukul mundur gerombolan orang China.

Alhasil, tembakan meriam tak hanya merusak sejumlah bangunan di Pasar Tanah Abang, melainkan beberapa bangunan lainnya hancur dan ludes terbakar. “Baru lima tahun berdiri, Pasar Tenabang terkena bencana, porak-poranda, dan terbakar ludes,” tulis Abdul Chaer dalam bukunya berjudul Tenabang Tempo Doeloe (2017).

Akibatnya, huru-hara ini melumpuhkan Pasar Tanah Abang dalam waktu yang sangat lama. Bagaimana tidak, baru pada 1801 pasar tersebut dibangun kembali. Meski begitu, sampai akhir abad ke-19, Pasar Tanah Abang belum memiliki bangunan permanen, tapi lantai bawahnya mulai dikeraskan dengan fondasi adukan.

Pada akhirnya, geliat Pasar Tanah Abang sebagai pusat perniagaan kiranya baru kembali bergairah saat Gemeente (Kota Praja) Batavia melakukan perombakan pasar secara permanen. Sebab, dari niatan itulah Pasar Tanah Abang bisa eksis sampai hari ini dan menghidupi pedagang-pedangan yang berjualan di dalamnya.

Pasar Tanah Abang hari ini (Angga Nugraha/VOI)