JAKARTA - Penaklukkan Jayakarta (Jakarta) oleh kongsi dagang Belanda, VOC pada 1619 adalah tonggak kolonialisme di Indonesia. Seribu pasukan di bawah Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen kala itu membuat Jayakarta porak-poranda. Seketika Jayakarta dibumihanguskan. Di atas puing-puing kehancuran itulah Coen membangun Kota Baru dengan sebuah Kasteel Batavia. Oleh sejarah, bangunan itu dicatat sebagai penanda kekuasaan Belanda di Indonesia.
Pada awalnya, Kasteel Batavia dibangun karena benteng Belanda sebelumnya terlalu kecil. Problema inilah yang membuat Coen harus memilih antara dua pilihan, memperbaiki atau membangun kembali. Lantas, dengan semangat penaklukkan yang mengebu-gedu, Coen memilih opsi kedua, yakni membangun Kasteel Batavia tak jauh dari Galangan Kapal VOC dekat Museum Bahari.
Tak main-main, kompeni menugaskan Kapten Willem Ysbrandszoon Bontekoe (1587-1657) untuk mendatangkan material dari Kepulauan Seribu. Dalam catatan perjalanannya berjudul Journael Ofte Gedenckwaerdige Beschrijvinghe Van De Oost-Indische Reyse Van Willem Ysbrantsz Bonte-Koe Van Hoorn (1648), Bontokoe menceritakan detail perintah yang didapatkan dari kompeni.
Berdasarkan penuturannya, kompeni memberinya 40 laskar untuk mengangkut dan mengikat batu-batu dengan tambang supaya dapat masuk ke dalam perahu. Setelahnya, batu-batu yang didapat dari Kepulauan Seribu langsung dijadikan bahan bangunan utama untuk membangun rumah benteng berlindung.
Dikutip Alwi Shahab dalam buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia (2013), Kasteel Batavia dilengkapi empat bastion yang memiliki nama-nama dari batu mulia. Searah jarum jam, bastion berawal dari barat laut, yaitu Parel, Saphir, Robijn, dan Diamant. Oleh sebab itu, penduduk Batavia pada saat itu mengenalnya kawasan itu sebagai Kota Intan.
“Dalam kastil, berdiri bangunan seperti istana Gubernur Jenderal VOC, rumah dewan penasihat Hindia, kepala seksi akomodasi, pemegang pembukuan, para saudagar utama, kantor para pegawai, rumah wali kota, kantor pengacara, dan para kapten. Juga terdapat dapur dan tempat pembuatan roti, gereja, rumah untuk bersenang-senang, rumah tabib, dan apotek,” tulis salah satu tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta itu.
Untuk keamanan kasteel, kompeni membangun tembok lingkar serta parit-parit lebar sebagai garis pertahanan. Tembok antar bastion disebut Courtineatau Gording. Di tengah-tengah tembok lingkar sebelah kanan terdapat juga sebuah pintu gerbang menghadap laut lepas yang disebut Water Poort vant Castell.
“Sementara, di tengah-tengah tembok lingkar selatan tedapat juga pintu gerbang yang disebut Land Poort vant Casteel yang menghadap ke selatan (daratan). Kedua gerbang ini merupakan pintu utama keluar masuk Kasteel Batavia,” tambahnya.
Penegakan agama di dalam kasteel
Hadirnya Kasteel Batavia membuat Coen yang terkenal dengan slogan “Jangan patah harapan, jangan ampuni lawan, sebab tuhan bersama kita,” itu kemudian menjadikan lingkungan kasteel sebagai medium menjalankan ajaran Calvinisme.
Coen yang terhitung cukup fanatik dengan agama membuat seisi kasteel menjadi ruang isolasi, di mana di dalamnya hanya dihuni orang Eropa. Sementara, penduduk asli sudah meninggalkan Batavia, orang Jawa dilarang tinggal, dan di sekitar hutan hanya berisi binatang buas.
Sastrawan Goenawan Mohamad, dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul JPC (2016) menjelaskan, sebagai bentuk penegakan agama, pada 1642 Coen bahkan menuliskan larangan bagi perempuan untuk ke luar gerbang kasteel.
Setali dengan itu, para budak belian tak boleh dijual kepada orang Yahudi, Islam, atau orang-orang yang tak ber-Tuhan. Gambaran itu semakin diperkokoh dengan dominasi yang boleh berkembang di dalam kastel hanya ajaran Calvinisme.
Alhasil, kebaktian rutin diselenggarakan di Balai Kota. Doa pagi dan malam berlaku di Kasteel Batavia, dan para pejabat serta pegawai VOC diwajibkan berpuasa menjelang kapal niaga mereka berangkat.
"Tak ada yang lebih mampu menyatukan hati orang ketimbang kesatuan iman dan dijalaninya agama secara benar," tulis Coen dalam suratnya kepada para pembesar VOC, Heeren Zeventien di Amsterdam.
Keteguhan iman Coen dalam menegakkan Calvinisme juga sempat berulang kali diuji. Ujian terbesar Coen tak lain saat mengetahui skandal perzinahan di Kasteel Batavia. Tak main-main, perzinahan itu datang dari anak angkatnya sendiri, Sara Specx yang sedang memadu kasih bersama serdadu rendahan Pieter Cortenhoeff di Kasteel Batavia pada tahun 1629.
“Suatu malam, pasangan muda yang sedang dimabuk asmara itu tidak menyadari akibat dari perbuatan mereka. Gadis malang yang mungkin baru saja mendapat menstruasinya itu in flagrante delicto (tertangkap basah) bermesraan dengan kekasihnya di rumah Coen. Dan kasus pelanggaran seksual di Kastel Batavia tersebut menjadi skandal hangat pada masa itu,” tulis Achmad Sunjayadi dalam buku berjudul (Bukan) Tabu di Nusantara (2018).
Kisah ini pernah kami ulas dalam artikel Kepala yang Dipenggal dan Tragedi Percintaan di Balik Istilah Hidung Belang. Singkat cerita, Coen yang mendengar informasi itu langsung marah. Apalagi karena peristiwa itu rekam jejaknya sebagai teladan masyarakat Eropa di Batavia tercoreng.
Nama Coen memang dikenal harum sebagai orang yang memerangi sifat-sifat buruk. Hukuman berat pun dijatuhkan pada kedua pezina itu pada 6 Juni 1629. Keduanya dieksekusi tepat di depan halaman Balai Kota (Stadhuisplein) di kawasan Kota Tua yang kini dikenal dengan nama Taman Fatahillah.
Si pemuda dipancung. Sementara, sang gadis dihukum dengan cara diseret ke arah pintu gerbang Stadhuisplein untuk menyaksikan hukuman kekasihnya.
BACA JUGA:
Kendati demikian, sekuat apapun Coen menganggap Tuhan selalu bersamanya, akan tetapi Tuhan malah menunjukkan kehendak lain. Batavia yang dielu-elukannya menjadi tak lebih dari proyek yang gagal.
Meminjam kata Goenawan Mohammad: la (Batavia) dibangun sebagai transplantasi kota Belanda, ia diharapkan akan memenangkan ajaran Calvinis yang lurus. Tapi kelembapan kota, berjangkitnya malaria, dan keinginan manusia untuk hidup tanpa merasa takut dosa membongkar desain itu. Kastil ditinggalkan.
Kelak, Kasteel Batavia ikut dihancurkan bersama bangunan lainnya di Oud Batavia (Kota Tua) oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Herman Willem Daendels (1809-1811) pada tahun 1809. Menurut Daendels, Oud Batavia sudah tak layak huni karena berkembangnya wabah penyakit.
Untuk itu, Daendels memindahkan pusat pemerintah Kompeni ke kawasan Nieuw Batavia (Batavia Baru). Sebagai gantinya, kompeni membangun istana yang megah) bernama Het Witte Huis atau Istana Putih di Weltevreden, kawasan sekitar Lapangan Banteng.