Bagikan:

JAKARTA - Penjajah Belanda pernah mendaulat orang China sebagai warga istimewa di Batavia (kini: Jakarta). Sikap orang China yang rajin, ulet, dan cerdik jadi muaranya. Apalagi orang China adalah penggerak utama roda ekonomi Batavia. Mereka bebas berbisnis apa saja. Mencari kesenangan apalagi.

Perjudian, misalnya. Rumah judi muncul di mana-mana. Empunya kuasa tak kuasa menolak hiburan kesohor milik orang China. Malahan difasilitasi. Semua karena keuntungan yang menjanjikan dari pajak perjudian di Batavia.

Batavia bak ladang emas. Setidaknya begitu pandangan orang China pada masa awal penjajahan Belanda. Sikap ulet dan rajinnya orang China dipandang penguasa Belanda tiada dua. Maskapai dagang Belanda VOC kepincut. Mereka meyakini Batavia takkan bisa dibangun jika tanpa kehadiran orang China. Demikian pula sebaliknya.

Orang China meyakini hajat hidup di Batavia bakal membawa cuan yang besar. Simbiosis mutualisme itu membuat keduanya cukup dekat. Belanda memberlakukan orang China dengan sebaik-baiknya. Sedang orang China menjadi warga yang taat dipajaki oleh Belanda.

Aktivitas judi yang dilakukan orang-orang bumiputra pada masa penjajahan Belanda. Salah satunya adalah permainan kartu ceki, yang menurut sejarah dibawa ke Asia Tenggara oleh pendatang dari Cina Selatan. (Repro foto: Olivier J Raap/Soeka-doeka di Djawa Tempo Doeloe)

Spekulasi Belanda menjadikan orang China warga istimewa akhirnya terjawab. Orang China mampu menguasai segala lini roda ekonomi di Batavia. Sekalipun beberapa di antaranya ada yang memilih keluar dari Batavia. Mayoritas orang China yang kerasan menikmati hak istimewa hidup di Batavia.

Segala macam peluang dapat dijelajahi. Alias orang China dapat menjelma menjadi segalanya. Antara lain menjadi tukang kayu, tukang kredit, pedagang, dan lain sebagainya. Bahkan, hak istimewa itu -- sekalipun sempat tengganggu-- bertahan hingga VOC runtuh dan digantikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.     

“Orang China, kata dr. Strehler (dokter pemerintah Hindia-belanda), terkenal rajin, cerdik, cerdas, dan hemat. Tampaknya mereka mereka hidup untuk berwiraswasta dan menjual jasa dalam masyarakat dengan usaha-usaha lain yang berguna. Mereka yang tidak berdagang bekerja sebagai tukang mebel, pandai besi, tukang kunci, pembuat kereta kuda, tukang kayu, tukang arloji, penjahit, tukang sepatu, penenun katun dan sutera, perajin porselen, keramik, dan gerabah.”   

“Mereka bekerja sepanjang hari, bahkan pada saat matahari sedang panas-panasnya membakar Batavia! Barangkali mereka kuat bekerja pada saat orang lain kepanasan karena mereka hanya bercelana pendek yang tipis ketika bekerja siang-siang bolong! Pada saat Kota Batavia lengang karena semua orang beristirahat di dalam rumah, di jalan masih saja terdengar pedagang China yang membunyikan klontong (semacam bel). Banyak di antara mereka menjadi penyewa tanah, pemberi kredit, pedagang, dan hampir semuanya pandai mencari peluang,” ungkap Frieda Amran dalam buku Batavia: Kisah Kapten Woodes Rogers & dr. Strehler (2012).

Rumah Judi

Eksistensi orang China di Batavia penuh dinamika. Alih-alih hanya menggerakkan ekonomi, mayoritas orang China turut serta membawa kebiasaan buruk. Perjudian namanya. Alhasil judi dan orang China jadi citra yang tidak bisa dilepaskan.

Kegemaran akan perjudian membuat rumah judi milik orang China menjamur di Batavia. Jejak rumah judi bahkan telah hadir sedari 1620. Konon, rumah judi lebih banyak dibanding rumah ibadah, sekolah, hingga panti asuhan di Batavia.

Permainan-permainan judi dari tanah lelulurnya diborong semua ke Batavia. Ajaibnya permainan itu tetap populer. Digemari pula. Orang-orang di Batavia pun mengenal ragam permainan judi. Antara lain dadu, kartu, po, hingga posing.

Mereka yang menyaksikan langsung orang China berjudi akan berpendapat sama. Kegemaran orang China terhadap judi tiada dua. Mereka dianggap penjudi paling tekun oleh pelancong dari Eropa. Segala hal mampu dipertaruhkan di atas meja judi. Uang, barang, budak, istri, bahkan anak-anak mereka.

Penjajah Belanda sendiri tak kuasa memutus mata rantai perilaku buruk itu. Revolusi moral ala peletak dasar kolonialisme Belanda di tanah Nusantara, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen tak mau mengganggu gugat urusan orang China – jika tak bisa dikatakan bodoh amat.

Aktivitas perjudian di kalangan orang-orang China tempo dulu. (Wikimedia Commons)

Stategi kuno dimainkan oleh Belanda. Yang mana, ketika penegakan tak mampu dilakukan, maka Belanda memilih untuk masuk dan mengatur perjudian. Orang China yang ingin membuka rumah judi diperbolehkan dengan syarat.Sebuah syarat yang melulu hanya berhubungan dengan apa saja keuntungan yang mampu didapatkan Belanda.

Orang China dapat memperoleh izin mendirikan rumah judi jika berani menawarkan sejumlah uang yang besar kepada Belanda. Uang itu jadi semacam ‘pelumas’ supaya izin dapat diproses dengan segera. Empunya kuasa hanya berpesan untuk menutup pintu rumah judi kepada seluruh orang Eropa di Batavia. Semuanya supaya moral orang Eropa tak anjlok dengan keburukan.   

“Kendati terjadi banyak tindak kekerasan dan kegaduhan, perjudian di Batavia tetap marak karena tidak mampu diberantas sehingga lebih baik dimanfaatkan dengan memungut pajak. Dari catatan Kasteel Batavia dapat dibaca betapa pada hari pertama setiap tahun baru, izin perjudian dijual kepada warga China yang memberi penawaran paling tinggi.”

“Lelang izin judi dilakukan di ruang utama Kasteel Batavia di hadapan jaksa daerah dan para hakim Pengadilan Golongan Swasta. Catatan bulanan menunjukkan bahwa uang sewa perjudian merupakan pendapatan nomor dua sesudah pajak kepala dan jauh melebihi uang sewa pasar dan toko: jumlahnnya berkisar antara 700 dan 1.200 real per bulan,” tutur Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).