Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 81 tahun yang lalu, 8 Desember 1942, penjajah Jepang resmi mengubah nama Batavia jadi Jakarta. Pergantian nama itu merujuk kepada keinginan Jepang menghapus segala macam pengaruh penjajahan Belanda di Nusantara.

Sebelumnya, Kota Batavia sengaja didirikan untuk jadi pusat kekuasaan dari kongsi dagang Belanda, VOC. Narasi itu membuat Batavia jadi kota termaju di Nusantara. Alih-alih hanya sebagai pusat ekonomi, Batavia juga bak kota impian.

Kompeni dan Kota Batavia adalah dua hal yang tak dapat dilepaskan. Kompeni membangun Batavia di atas reruntuhan wilayah Jayakarta sedari 1619. Empunya kuasa membangun Batavia dan menjadikannya sebagai pusat kekuasaan.

Narasi itu membuat tumbuh kembang Batavia cepat melejit. Segala macam proyek pembangunan dilanggengkan. Sarana dan prasarana terus dibangun. Orang-orang Belanda pun mulai banyak melirik Batavia untuk mencari penghidupan baru.

Ragam suku bangsa juga berdatangan ke Batavia. Semuanya karena Batavia dianggap mampu menjanjikan pekerjaan dan kemapanan. Apalagi, kala Kompeni mulai digantikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pesona Batavia kian terangkat.

Balai Kota Batavia pada masa kolonial Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Batavia kerap jadi pionir dalam segala hal. Utamanya, dalam pembangunan, perekonomian, dan transportasi massal. Kesuksesaan itu membuat Batavia bak jadi rumah kedua bagi orang Eropa. Ragam perkumpulan orang Belanda pun dihadirkan di Batavia.

Hiburan ala Eropa mulai menjamur di Batavia. Jejak peradaban orang Belanda di Nusantara mulai dibangun lewat banyak monumen. Narasi itu jadi bukti bahwa kekuasaan Belanda di Nusantara mampu disentralisasikan di Batavia.

Eksistensi itu berlangsung lama. Sekalipun pusat pemerintahan sempat digeser dari Oud Batavia (Batavia Lama: Kota Tua) ke Weltevreden (kini: kawasan sekitar Lapangan Banteng).

“Perkembangan ekonomi pertanian di sekitar Batavia mengubah wilayah ini dari hutan yang tak terjamah menjadi area perkebunan yang dihuni oleh berbagai kelompok etnis. Komersialisasi aktivitas pertanian tersebut menjadikan ekonomi subsisten perdesaan menjadi kawasan produksi yang berorientasi pasar. Tanaman komersial ditanam untuk memenuhi permintaan Kompeni.”

“Khususnya lada, tebu, dan kopi. Ekspansi produksi pertanian berskala komersial ini menawarkan pekerjaan bagi ribuan orang Jawa, sekaligus menjadi daya tarik bagi pengusaha dan buruh Tionghoa. Namun demikian, tidak semua pendatang dan pemukim baru memperoleh penghidupannya dari aktivitas ekonomi pedalaman,” ungkap Sejarawan Bondan Kanumoyoso dalam buku Ommelanden: Perkembangan Masyarakat dan Ekonomi di Luar Tembok Kota Batavia (2023).

Pasukan Jepang berparade di Batavia pada 8 Maret 1942 setelah Belanda menyatakan secara resmi menyerah. (Nationaal Archieved/Spaarnestad Photo)

Kejayaan Kota Batavia pun mulai digoyang kala penjajah Jepang menancapkan kuasanya di Nusantara. Kedatangan Jepang membuat Belanda lari tunggang-langgang. Belanda sibuk menyelamat dirinya. Penjajah Jepang kemudian menguasai seisi Nusantara.

Mereka kemudian mulai mereduksi segala macam hal berbau Eropa. Siasat itu dilanggengkan untuk mendapatkan simpati dari kaum bumiputra. Ajian itu termasuk mengubah nama Kota Batavia jadi Jakarta pada 8 Desember 1942. Hadirnya kembali nama Jakarta disambut dengan gegap gempita oleh kaum bumiputra.

Pada 1942 nama Batavia berubah menjadi 'Djakarta' sebagai akronim 'Djajakarta'. Menurut Lasmijah Hardi dalam 'Jakartaku, Jakartamu, Jakarta Kita' (1987), pergantian nama itu bertepatan dengan perayaan Hari Perang Asia Timur Raya pada 8 Desember 1942. Nama lengkap kota itu ialah 'Jakarta Tokubetsu Shi'

“Pemerintah pusat dipimpin oleh Gunseireikan, yang kelak jadi Saikoo Sekikan. Di bawahnya ada Gunseikan penguasa pemerintahan militer. Undang-Undang (UU) tertinggi dikeluarkan oleh Gunseireikan, disebut Osamu Seirei. Misalnya Osamu Seirei nomor 16 yang mulai berlaku 8 Desember 1942. UU itu adalah yang mengganti nama Batavia menjadi Jakarta. Diambilnya tanggal itu, sesuai dengan tanggal mulainya Kooai Sai (Hari Perang Asia Timur Raya), bertepatan dengan hari serangan pertama Pearl Harbor.”

“Sistem pemerintahan bersifat hirarki autokratis. Misainya di pusat diadakan larangan berbicara dengan bahasa Belanda atau Inggris lewat telepon. Larangan itu di daerah menjadi larangan berbicara dengan bahasa itu walaupun dengan keluarga sendiri. Semuanya harus berbicara dengan bahaa Jepang atau Indonesia. Kekuasaan legislatif dipegang dalam satu tangan dengan kekusaan eksekutif, sejak Gunseireikan sampai ke Syuucookan (Residen),” terang Kohar Hari Sumarno dalam tulisannya Majalah Mimbar Kekayaan ABRI berjudul Sistem Ketatanegaraan Berdasarkan UUD 1945 Mampu Mendukung Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional (1984).