Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah, melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menunjuk pemenang dalam sayembara pembangunan ibu kota negara di Kalimantan Timur. Jakarta semakin dekat berpisah dengan gelar sebagai ibu kota negara.

Selain karena letaknya yang strategis, Jakarta sebagai ibu kota negara memiliki rekam sejarah penting. Sejak zaman kerajaan, kota yang berulang kali ganti nama ini sudah menjadi jantung dalam pemerintahan dari zaman ke zaman.

Dalam sejarah, Jakarta mulanya bernama Sunda Kelapa. Nama itu tersemat sejak Jakarta berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda atau Galuh-Pakuan pada abad ke-12 seperti dikutip indonesia.go.id. Namun, versi lain yang tercatat dalam Prasasti Kebon Kopi tahun 942, nama Sunda Kelapa sudah ada sejak memasuki abad sepuluh di bawah Kerajaan Tarumanegara.

Catatan lengkap tentang keberadaan Kerajaan Tarumanegara baru tersusun dalam naskah Wangsakerta oleh Pangeran Wangsakerta dari tahun 1677-1698. Walhasil banyak kontroversi dan polemik soal kebenarannya. Namun, setidaknya dalam penafsiran Naskah Wangsakerta itu wilayah Sunda Kelapa memang sudah menjadi kawasan penting.

Pasalnya, dalam naskah tersebut dijelaskan, Sunda Kelapa sudah menjadi ibu kota dari Kerajaan Salakanegara --cikal bakal kerajaan Tarumanegara-- yang kemudian menjadi kerajaan sunda atau kerajaan pajajaran yang eksis hingga 1579 masehi. Ibu kota itu berkedudukan di kawasan Ciondet yang kini dikenal Condet yang berada di wilayah Jakarta Timur. 

Pentingnya Sunda Kelapa

Sunda kelapa yang merupakan sebuah kota pelabuhan punya peranan penting dalam sejarah perkembangan manusia. Seperti ditulis Santoso Sugondo dalam Sunda Kelapa Menjelang Masa Sejarah (1995), kota yang juga dikenal sebagai Bandar Jakarta itu telah digunakan sebagai bandar persinggahan dan kota perdagangan rempah-rempah bagi bangsa-bangsa Arab, Eropa dan India serta Cina, dengan pedagang dan penduduk Nusantara. 

Perdagangan antara bangsa-bangsa dari mancanegara dengan pedagang dan penduduk Nusantara ini sering dihubungkan dengan perdagangan Sutera yang jalurnya banyak dilakukan melalui jalur pelayaran laut. Oleh sebab itu, Sunda Kelapa tentu akan ikut juga berperang secara aktif.

Selain itu, daerah Sunda Kelapa, secara fisik merupakan daerah pelabuhan yang menjadi tempat pertemuan antara kawasan lautan dan daratan. Seperti dijelaskan dalam tulisan Supratikno Raharjo yang bertajuk Pelabuhan Sunda Kelapa Sebagai Pusat Interaksi:Sebuah Pendekatan Geografi (1995) ada kelebihan dari sisi sosial dan budaya. 

Salah satu kelebihan tersebut yaitu karena wilayah Sunda Kelapa menjadi pusat bertemunya orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang lingkungan budaya yang berbeda. Oleh karena itu setiap bentuk interaksi sosial yang terjadi, memiliki potensi untuk mendorong terciptanya budaya masyarakat majemuk. 

Pernah jadi rebutan

Sanusi, dalam Sedjarah Indonesia (1955) menuliskan, Kota Sunda Kelapa pada masa kerajaan Pajajaran sudah dikenal sebagai kota pelabuhan internasional. Tak ayal, kota itu pernah diperebutkan. Pada 1522, misalnya. Ketika itu, Pajajaran berselisih dengan tiga kerajaan, Islam yakni Cirebon, Demak, dan Banten.

Pertempuran itu kemudian dimenangkan oleh pasukan gabungan kerajaan Islam yang dipimpin Fatahillah. Sejak berada di bawah kekuasaan kerajaan Islam, kota Sunda Kelapa berubah nama menjadi Jayakarta. Orang barat yang singgah menyebut kota ini dengan nama ‘Jacatra’. Sampai 1619 orang Belanda masih menyebut dengan nama itu.

Kota Bandar dagang ini menjadi tempat bertemunya kaum saudagar dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Eropa dan Timur Tengah. Selain itu, para pedagang dari berbagai negeri juga kerap singgah di sini. 

Akan tetapi, sejak Jan Pieterszoon Coen dengan membawa seribu pasukan menyerang Kerajaan Banten dan menghancurkan Jayakarta pada 1619, praktis kota ini dikuasai Belanda. Melalui kesepakatan De Heeren Zeventien (Dewan 17) dari VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), maka pada 4 Maret 1621 namanya diubah menjadi ‘Batavia’.

Seperti dicatat indonesia.go.id, nama Batavia berasal dari nama etnis Jermanik yang bermukim di tepi Sungai Rhein, dan dianggap sebagai nenek moyang bangsa Belanda dan Jerman, Bataf. Bangsa Belanda sangat mengagungkan nenek moyangnya sehingga mereka merasa perlu mengabadikan nama Batavia di negeri jajahannya, termasuk Nusantara atau Indonesia. 

Setelah sekian lama dikuasai Belanda, Batavia akhirnya jatuh ke tangan Jepang pada tahun 1940-an. Sejalan dengan kebijakan de-Nederlandisasi oleh Pemerintah Jepang, nama kota sengaja diganti dengan bahasa Indonesia atau Jepang. Praktis, pada 1942 nama Batavia berubah menjadi Djakarta.

Menurut Lasmijah Hardi dalam Jakartaku, Jakartamu, Jakarta Kita (1987), pergantian nama itu bertepatan dengan perayaan Hari Perang Asia Timur Raya pada 8 Desember 1942. Nama lengkap kota itu ialah ‘Jakarta Tokubetsu Shi’.

Singkat cerita, nama Jakarta terus diberlakukan sampai Indonesia merdeka. Pasca merdeka, Menteri Penerangan RIS (Republik Indonesia Serikat) pada waktu itu, Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu, pada hari ini pada hari ini 30 Desember 70 tahun lalu atau pada tahun 1949, menegaskan tak ada lagi sebutan Batavia bagi kota ini.

Pemberian nama Jakarta ini kembali dikukuhkan pada 22 Juni 1956 oleh Wali Kota Jakarta Sudiro (1953-1960). Saat itu, sebelum 1959, posisi Jakarta masih merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada 1959, status Jakarta mengalami perubahan dari sebuah kota praja di bawah wali kota ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat Satu yang dipimpin oleh gubernur.

Gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo. Pada 1961, status Jakarta diubah kembali, dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) sampai sekarang.