Bagikan:

JAKARTA - Dalam beberapa pekan terakhir, nama Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso sering kali terdengar. Alasannya, RSPI Sulianti Saroso adalah salah satu rumah sakit pertama yang menampung pasien kasus COVID-19 nomor satu dan dua. Hingga hari ini, RSPI Sulianti Saroso masih jadi rumah sakit rujukan terdepan.

Nama Sulianti Saroso mungkin tak senyaring Tjipto Mangoenkoesoemo, sosok di balik nama RSCM. Padahal, Sulianti Saroso adalah sosok yang amat berpengaruh pada masanya. Sulianti Saroso akrab disapa Sul. Seperti Tjipto Mangoenkoesoemo, selain di bidang kesehatan, Sul juga aktif berpolitik. Ia lahir pada 10 Mei 1917 di Karangasem (Bali) dan menikmati masa kecilnya dengan berpindah-pindah.

Sul yang lahir di Bali menempuh pendidikan dasar berbahasa Belanda di Europeesche Lagere School (ELS), sebelum melanjutkan studinya ke Gymnasium di Bandung. Tamat dari sana, Sul mendaftar ke Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoge School) di Batavia. Tahun 1942, Sul tamatkan pendidikan sebagai dokter. Sul resmi mengikuti jejak sang ayah, Dokter Sulaiman, yang juga dikenal sebagai priayi tinggi di Bagelen-Banyumas.

Kiprah Sul sebagai mahasiswa kedokteran sempat direkam Rosihan Anwar dalam obituari Sulianti Saroso di harian Kompas (1991). Sul, oleh Rosihan digambarkan sebagai mahasiswa yang menonjol. ”Di zaman penjajahan, tidak banyak jumlah dokter wanita Indonesia. Dan Sul termasuk yang menonjol. Sebagai mahasiswa kedokteran, ia menarik perhatian karena cantik, lincah dalam pergaulan, dan karena dia sportgirl, gemar bermain tenis,” tulis Rosihan.

Pada masa pendudukan Jepang, Sul memilih bekerja di bagian penyakit dalam di Centrale Burgelijke Ziekenhuis (cikal bakal RSCM). Ia bertahan di tempat itu hingga awal kemerdekaan. Tepat setelah ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta, Sul pun ikut bergeser. Di Yogyakarta, ia bekerja di RS Bethesda. Saat perang berkecamuk di Yogyakarta, Sul yang kala itu masih dokter muda tak tinggal diam.

Sul memiliki inisiatif tinggi. Ia cekatan menolong pejuang di garda terdepan perlawanan. Bahkan, Sul turun langsung untuk mengirim obat-obatan ke kantong-kantong gerilyawan republik. Selain itu, Sul juga mengorganisir dapur umum untuk memenuhi kebutuhan gerilyawan di medan tempur. Nyali Sul digambarkan melampaui berbagai hal, termasuk kepedulian terhadap nyawanya sendiri. Sul tak gentar dengan desing peluru atau pun ledakan meriam.

Tak cuma senjata, Sul juga sempat menghadapi hukum pemerintah kolonial Belanda. Di Yogyakarta juga, Sul sempat ditahan selama dua bulan. Peran Sul teramat besar. Ia tak hanya mendukung pasukan berperang di Yogyakarta, tapi juga ke front Tambun di Jawa Barat, ke Gresik, hingga Demak. Tak hanya keberanian dan kepiawaiannya di bidang medis, Sul juga dikenal sebagai salah satu politikus ulung. Langkah politik Sul dimentori oleh Soebadio Sastrosatomo, anggota KNIP.

Dalam politik, Sul sempat mencicip suasana Kongres Pemuda Republik Indonesia sebagai Pemuda Putri Indonesia (PPI). Selanjutnya, bersama kawan-kawannya, Sul membentuk laskar wanita yang diberi nama Wanita Pembantu Perjuangan (WAPP). Selain itu, Sul juga termasuk dalam delegasi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) dalam ajang Inter Asian Women Conference di India pada tahun 1947.

Pelopor Keluarga Berencana

“Dengan penuh semangat dia meminta pemerintah untuk membuat keputusan-keputusan yang mendukung penggunaan kontrasepsi melalui sistem kesehatan masyarakat.”

Begitulah tulis Terence H. Hull dalam buku berjudul People, Population, and Policy in Indonesia (2005). Selepas masa revolusi, Sulianti Saroso mulai memfokuskan diri kembali pada dunia yang dicintainya, dunia kedokteran. Sul yang saat itu bekerja di Kementerian Kesehatan mulai menelurkan banyak prestasi. Sul bahkan mendapat beasiswa dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Saat itu, Sul mengambil fokus mempelajari perihal sistem kesehatan ibu dan anak di negara-negara Eropa. Maka, Sul paham betul, contoh kesejahteraan Eropa tak lain berbentuk komitmen terhadap pendidikan seks dan pengendalian terhadap kehamilan. Tepat setelah kembali ke Indonesia, Sul membawa ide mengenai kesehatan ibu dan anak, yang didalamnya termasuk pengendalian angka kelahiran melalui pendidikan seks dan gerakan Keluarga Berencana.

Upaya menggalang dukungan terhadap gagasan itu dilakukan Sul lewat RRI Yogyakarta. Kala itu, aksi Sul mengundang kemarahan Wakil Presiden Republik Indonesia Mohammad Hatta. Respons Hatta digambarkan oleh H. Hull. "Walaupun gagasan-gagasan ekonominya sangat maju, Bung Hatta menganggap diskusi mengenai hal itu kurang tepat dan kurang wajar untuk digunakan dalam komunikasi massa dan merupakan urusan kehidupan keluarga masyarakat Indonesia.

Dalam salah satu wawancara dengan media Pikiran Rakyat, Sul juga menyuarakan berbagai kondisi untuk mendorong pemberlakuan keluarga berencana. Salah satunya, tentang banyaknya masyarakat yang pergi ke dukun karena minimnya tenaga bidan. Hasilnya, angka kematian bayi amat tinggi kala itu. Di sisi lain, jumlah penduduk Indonesia meningkat. “Sebaiknya para ibu harus berani dan mau melakukan pembatasan kelahiran,” kata Sul.

Gelombang penolakan kemudian kembali menghampiri pergerakan Sul. Reaksi penolakan paling besar disampaikan Gabungan Organisasi Wanita Yogyakarta (GOWY) yang terdiri dari para pemuka agama, dokter, dan bidan. Semuanya menganggap ide dari Sul cenderung melanggar hak asasi manusia, pembunuhan bibit-bibit bayi, dan bahkan melanggengkan pelacuran.

Saking banyaknya reaksi penolakan, Sul sempat ditegur untuk tak membicarakan idenya lagi ke muka khalayak. Namun, Sul menolak. Upaya demi upaya terus dilakukan. hingga akhirnya apa yang dipelopori oleh Sul mulai mendapatkan tempat di masa Orde Baru lewat program Keluarga Berencana.

Atas dasar konsistensi dan dedikasinya di bidang kedokteran, namanya harum di seantero Tanah Air. Organisasi sekelas WHO pun mengangkatnya menjadi anggota badan eksekutif. Sul juga pernah mengemban jabatan sebagai Ketua Health Assembly atau Majelis Kesehatan, yang memiliki hak menetapkan Dirjen WHO.

Dalam sejarah WHO, Sul jadi perempuan kedua yang pernah memimpin Majelis Kesehatan Dunia tahun 1973, setelah dokter Rajkumari Amrit Kaur dari India di tahun 1950. Sosok penuh dedikasi itu meninggal pada 29 April 1991 di malam hari. Keesokkan harinya, Sul dimakamkan di pemakaman Karet, Jakarta. Empat tahun kemudian, namanya diangkat sebagai nama rumah sakit khusus penyakit infeksi di Tanjung Priok, Jakarta Utara.