Bagikan:

JAKARTA - Kaum buruh adalah elemen penting dalam sejarah bangsa. Keberanian mereka pasang badan atas kegagalan sengketa Irian Barat di Konferensi Meja Bundar (KMB) jadi salah satu yang paling diingat. Mereka bergerak menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.

Nasionalisasi dilakukan lewat sejumlah gerakan, termasuk aksi mogok. Mereka menyebutnya "nasionalisme." Buruh tak sudi bekerja di perusahaan milik penjajah. Peranan buruh membuat dominasi perusahaan besar Belanda berjuluk “The Big Five” hancur tak bersisa.

Sikap Soekarno atas Irian Barat tak pernah berubah. Bung Besar mengungkap Indonesia memang dikaruniai Tuhan wilayah yang membentang dari Sumatra hingga Papua. Narasi itu langgeng dipopulerkan Soekarno dengan sebutan: dari Sabang sampai Merauke.

Bagi Bung Karno, Irian Barat harus direbut dari tangan Belanda. Apapun caranya, Indonesia harus menang. Masalah Irian Barat jadi urusan personal nan krusial. Perundingan jadi jurus utama Indonesia meski berkali-kali perundingan Indonesia-Belanda gagal menemui kata sepakat.

Belanda bersikukuh tak akan menyerahkan Irian Barat ke Indonesia. Bahkan di KMB Den Haag pada 1949, sikap Belanda tak berubah. Delegasi Indonesia geram oleh tingkah Belanda. Hatta tak tahan sehingga mengecam langsung tindakan Belanda. Ia menegaskan Indonesia akan merebut Irian barat bagaimanapun caranya, termasuk jalan pedang (perang).

"Saya setuju dengan pendapat saudara-saudara. Saya juga ingin agar Irian Barat segera diserahkan kepada kita. Nyatanya Belanda tetap menolak. Kalau kita tetap pada pendirian kita, maka akibatnya harus kita pikul bersama."

"Akibatnya ialah, KMB akan gagal. Kalau KMB gagal, perang akan berkobar kembali. Kita semuanya harus kembali ke Indonesia. Kita akan melanjutkan perang. Saya minta supaya saudara-saudara juga ikut berperang sampai Irian Barat diserahkan kepada kita" terang Hatta sebagaimana ditulis Rohmat dalam Biografi Singkat Mohammad Hatta (2019).

Bung Karno dan Bung Hatta (Sumber: Wikimedia Commons)

Indonesia tak menyerah. Jalur diplomasi lagi-lagi diusahakan. Di tengah diplomasi, Indonesia menyadari hasilnya selalu jauh dari kata memuaskan. PBB tampak tak pernah menganggap penting masalah sengketa irian Barat yang diajukan oleh Indonesia. Belanda seakaan-akan diberikan karpet merah untuk menang dalam sengketa Irian barat.

Rakyat Indonesia mulai hilang kesabaran. Sentimen anti Belanda muncul di seluruh pelosok negeri. Perusahaan Belanda di Indonesia mulai dirusak hingga dicoret dengan narasi provokatif. Beberapa di antaranya ada yang menulis “Usir Belanda” hingga “Usir Belanda dari Irian Barat.” Alhasil, gelombang pemulangan orang-orang Belanda dari Indonesia jadi meningkat.

“Gelombang pemulangan orang-orang Belanda semakin meningkat dengan munculnya kebijakan pemerintah agar orang-orang Belanda diusir dari Indonesia. Pengusiran besar-besaran orang Belanda dari Surabaya telah mengurangi jumlah penduduk Eropa di kota itu.”

“Tetapi pada saat yang sama gelombang migrasi orang-orang Bumiputra dari luar kota meningkat tajam, yang mengakibatkan jumlah penduduk kota Surabaya naik sangat signifikan. Lonjakan jumlah penduduk membawa konsekuensi pada sektor lain, terutama menyangkut kebutuhan ruang hidup untuk para pendatang baru,” ungkap Purnawan Basundoro dalam buku Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960-an (2013).

Pergerakan buruh

Buruh di Hindia Belanda (Sumber: Wikimedia Commons)

Kekecewaan atas kegagalan diplomasi sengketa Irian Barat dengan Belanda mulai dirasakan oleh tokoh-tokoh nasional. Menteri Penerangan Sudibjo salah satunya. Selaku Ketua Aksi Pembebasan Irian Barat, Sudibjo tak melihat lagi peluang Indonesia memenangi sengketa lewat diplomasi. Karena itu Indonesia mulai menekan Belanda lewat kaum buruh pada 1 Desember 1957.

“Dalam menyikapi kegagalan resolusi Indonesia di PBB, pada tanggal 1 Desember, pemerintah mengumumkan adanya aksi mogok selama 24 jam terhadap semua perusahaan Belanda. Menteri Penerangan Sudibjo selaku ketua panitia Aksi Pembebasan Irian Barat, dengan pengesahan kabinet, telah memberikan instruksi tersebut melalui RRI."

"Akibat aksi mogok selama 24 jam tersebut, diperkirakan perusahaan-perusahaan Bealnda mengalami kerugian kurang lebih Rp100 juta lebih,” tulis Bondan Kanumoyoso dalam buku Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia (2001).

Kaum buruh menyambut baik upaya pemerintah menekan Belanda. Sebab, sedari awal kaum buruh, terutama lewat jejaring serikatnya telah mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil alih perusahaan Belanda. Namun, saran itu baru kesampaian saat pemerintah mulai menginstruksikan mogok massal.

Setelahnya, kaum buruh mulai mengambil alih satu demi satu perusahaan Belanda. Mereka memilih maskapai pelayaran Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij --cikal bakal PELNI-- sebagai inisiatif pengambilalihan perusahaan Belanda yang pertama.

Buruh di Hindia-Belanda (Sumber: Wikimedia Commons)

Tindakan itu pelopori oleh serikat buruh pelabuhan secara damai tanpa kekerasan. Mereka menduduki kantor KPM pada 3 Desember 1957. “Pagi tanggal 3 Desember 1957 sekelompok pimpinan serikat buruh Konsentrasi Buruh Kerakyatan Indonesia (KBKI) memaksa masuk ke dalam ruangan manajer di Kantor Pusat, Jakarta, dan memproklamirkan pengambilalihan KPM.”

"Menghadapi situasi itu pihak manajemen menyatakan bahwa mereka harus membicarakan persoalan terlebih dulu dengan pemerintah, dan dijawab oleh pimpinan mereka: kami dan kaum buruh adalah pemerintah,” tertulis dalam laporan yang dikutip H.W. Dick dalam buku Industri Pelayaran Indonesia: Kompetisi dan Regulasi (1985).

Nasionalisasi perusahaan belanda berlanjut. Kaum buruh mulai mengambil alih perusahaan belanda lainnya. Salah satunya adalah pengambilalihan perusahan besar Belanda yang dikenal sebagai “The Big Five” (Jacobson & van den Berg, Internatio, Borneo-Sumatra Maatschappij: Borsumij, Lindeteves, dan Geo Wehry).

Kaum buruh jadi tambah percaya diri karena di belakang mereka terdapat pemerintah yang mendukung. Lantaran itu segenap buruh menyambut nasionalisasi dengan penuh suka cita. Di mata kaum buruh, upaya nasionalisasi nantinya akan mampu menyejahterakan mereka.

Pandagangan itu mengingat majikan kaum buruh sudah bukan lagi Belanda, tetapi bangsa Indonesia sendiri. Lebih lagi, mereka mengadakan acara selamatan (pesta tradisional Jawa) sebagai simbol kemenangan kaum buruh atas perusahaan Belanda.

“Bung Karno terus memimpin Perjuangan Pembebasan Nasional. Ketika resolusi Indonesia tentang Irian Barat ditolak sidang PBB tahun 1957, mulailah diadakan nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda oleh serikat-serikat buruh, termasuk mengusir tenaga kerja Belanda yang masih ada di Indonesia. Pengambilalihan modal perusahaan milik Belanda tersebut sepenuhnya didukung oleh Bung Karno, yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1958,” tegas Agus Jabo Priyono dalam kata pengantar buku Bung Karno: Nasionalisme, Demokrasi dan Revolusi (2013).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya